Sedang Membaca
Cadar dan Retorika Anti-Radikal Islam
Hasan Basri Marwah
Penulis Kolom

Pengurus Lesbumi PBNU, penulis, Pengajar di Pesantren Kaliopak Jogjakarta, serta pegiat dan pemerhati budaya. S2 Cultural Studies di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Berasal dari Mataram Nusa Tenggara Barat dan kini menetap di Yogyakarta

Cadar dan Retorika Anti-Radikal Islam

Menurut para pakar, entah pakar keislaman, antropologi, dan pakar-pakar lain, keputusan perempuan mengenakan jilbab (termasuk cadar) sangatlah kompleks dan beragam. Keputusan itu tidak bisa dibatasi semata sebagai beban agama dan tekanan politik tertentu, walaupun keduanya menjadi tolok ukur penting dalam memahami gelombang jilbab dan atau cadar dalam masyarakat Islam.

Alasan agama dan politik baru sebagian cerita saja dari satu pertunjukan yang lebih kompleks. Terdapat alasan historis, geografis, sosial, ekonomi, gender, pribadi, dan kultural yang juga akan membantu kita memahami alasan kaum perempuan memutuskan memakai jilbab atau cadar.

Pertimbangan umur yang mulai surut, latar belakang keluarga, kelas sosial, mode, tekanan sosial, pilihan pribadi, dan aktivisme-Islam bisa saja menjadi pertimbangan yang sangat signifikan.

Saya mengutip itu semua dari kesimpulan Sahar Amer yang menulis secara luas soal hijab dalam What Is Veiling yang diterbitkan oleh Universitas North Carolina Press (2014). Amer menelisik kompoleksitas persoalan ‘veiling’ atau berhijab dengan sangat runut dan hampir dari segala sisi: teks suci Islam; hijab, kolonialisme dan bentuk mutakhirnya; pandangan progresif muslim soal hijab; hijab dan seni; serta hijab dan persoalan sosial-politik.

Satu yang paling disorotinya adalah bagaimana bentuk retorika politik kontemporer yang masih menempatkan persoalan cadar dalam dua abstraksi: emansipasi versus penindasan. Keduanya, tegas Amer, adalah resonansi saja dari kolonialisme abad ke-19 Masehi. Di mana bentuk-bentuk baru dari kolonialisme (colonial present) bersepakat pada hal tadi: simplikasi masalah.

Sulit membembedakan retorika Lord Cromer, pejabat kolonial Inggris di Mesir abad ke-19 Masehi, dengan retorika pejabat Amerika Serikat hari ini, yang sama-sama mengkampanyekan pembebasan muslimat dari penindasan kaum dan agamanya.

Baca juga:  Tujuh Catatan Penting Terkait Perdebatan Kata Kafir dan Non-Muslim

Pendapat hampir seragam

Beda lagi dengan di Indonesia. Tulisan atau omongan tentang cadar atau jilbab sungguh sulit dibedakan satu sama dengan lainnya karena keseragamannya, walaupun mereka memposisikan dirinya berbeda satu sama lainnya. Sebut saja kiai, intelektual, dosen perguruan tinggi Islam, antropolog, dan aktivis perempuan.

Seorang Indonesia yang mengaku spesialis dalam antropologi mungkin sama saja dengan seorang ulama tradisional yang dikenal mumpuni dalam penafsiran teks-teks agama Islam ketika membicarakan cadar atau jilbab, yaitu sama-sama hanya mengatakan bahwa cadar dan jilbab itu bukan beban (taklif) agama Islam, dan itu lebih tepat dilihat sebagai produksi kebudayaan.

Dua hal ini biasanya dibumbui dengan menjelekkan kelompok Islam yang mereka sebut terbelakang, bebal, dan sebagainya. Tidak pernah lebih dari itu, seingat saya.

Satu aspek saja yang seringkali diremehkan oleh kalangan muslim anti-cadar, yakni tentang kelompok yang mereka sebut radikal atau fundamentalis, yaitu mereka yang mengkampanyekan dan mendorong penggunaan cadar. Ada pengandaian bahwa kelompok radikal itu selain terbelakang juga tidak dinamis.

Albert Hourani, sejarawan Arab terkenal itu, dalam tulisannya tahun 1956, The Vanishing Veil, dengan sangat meyakinkan memprediksi bahwa jilbab ataupun cadar akan segera dilibas oleh perkembangan zaman. Suara Hourani, selain resonan dari suara kolonial dan pujaan kepada pendidikan Barat di Arab, juga kutukan kepada keterbelakangan masyarakat karena beban agamanya.

Modernitas yang ditanamkan dan dibiakkan melalui sistem pendidikan modern akan melibas cadar dan jilbab dari kehidupan umat Islam.
Leila Ahmad, antropolog yang sekarang mengajar di Universitas Harvard, mengutip tulisan Hourani tersebut dalam karyanya paling akhir A Quiet Revolution: The Veil’s Resurgence From Middle East to America. Menurut Leila, dugaan Hourani meleset. Justru gelombang baru pemakian jilbab atau cadar tidak saja di negeri-negeri berpenduduk muslim, tetapi menerobos wilayah ‘sekular’ seperti Amerika dan Eropa.

Baca juga:  Khutbah Idul Adha: Hari Raya Kurban di Tengah Pandemi Covid-19

Seperti halnya para anti-Islam radikal di Indonesia, Hourani gagal melihat dinamika kalangan Islam yang terbelakang, Islam fundamentalis atau radikal. Terlebih dengan terjadinya keterpurukan hidup (waking life) akibat perang para Jinggo di Timur Tengah dan Afghanistan, pemahaman agama mereka yang literal distimulir oleh keputusasaan dan ketidakmenentuan akan harapan hidup sehingga memadatkan keteguhan mereka pada paham Islam yang mereka yakini.

Seperti dikatakan Leila, kita tidak mengamini dan menjadi pendukung pemahaman sempit keagamaan, tetapi dengan melihat kukuh dan dinamisnya “aktivisme” Islam yang radikal itu kita akan dapat melihat persoalan ini secara lebih luas, dan bisa mendapatkan arah dari dampak yang mungkin ditimbulkannya.

Apa yang ditulis Leila merupakan teguran pedas kepada kelompok anti-Islam radikal di Indonesia. Mereka merasa menang karena pemahaman mereka atas Islam lebih maju, tetapi mereka tertinggal jauh dalam pergerakan.

Cara-cara fanatisme (taassubiyah) menerobos sendi-sendi publik di Indonesia seperti dibiarkan begitu saja. Mereka masih saja berdalih bahwa itu kelompok kecil yang tidak perlu dikhawatirkan. Kelompok muslim moderat jauh lebih besar, danm retorika lainnya.

Tak meremehkan wahabisme

Kita bisa napak tilas awal pergerakan nasional melawan penjajahan di Indonesia, ketika kaum muslimin ingin mempertahankan warisan keislaman di negerinya dengan berlandaskan kepada asas-asas dasar Islam, Alquran dan Sunnah Nabi SAW.

Baca juga:  Search di Youtube Munculnya Salafi-Wahabi, NU dan Muhammadiyah Gaib 

Mereka tidak menganggap remeh gelombang wahabisme atau penganut paham Wahabi yang baru saja muncul di Tanah Suci Mekah.
Para ulama sadar bahwa wahabisme adalah kombinasi dari kejumuduan paham dan ciptaan (invensi) kolonial.

Walaupun mutu paham mereka sangat biasa-biasa saja, tetapi gelombang wahabisme berbarengan dengan gelombang pembaharuan Islam yang mau tidak mau akan bersenyawa dengan gelombang liberalisme yang dicekokkan kaum kolonialis kepada pribumi di tanah air. Kombinasi ini akan menghasilkan suatu persenyawaan aneh: membenci pribumisasi Islam.

Dalam konteks semacam itu, ulama tradisional memahamai gejala fundametalisme agama sebagai sebuah diskursus yang harus dilawan secara simultan, yakni dengan pemikiran dan gerakan sistematik.

Dua hal ini menjadi teladan penting dalam menghadapi apa yang kita sebut begitu saja sebagai “fundamentalis” atau ‘radikal’ Islam.

Cadar di UIN

Saya membayangkan bahwa kontroversi akibat pelarangan cadar kepada civitas akademika UIN Sunan Kali Jaga, Yogyakarta merupakan peringatan bagi kaum anti-radikal Islam untuk melihat persoalan cadar dalam kaitannya dengan dinamika aktivisme Islam (harakah islamiyah) secara lebih kompleks.

Gelombang cadar ini dipicu oleh beragam sebab, dan perguruan tinggi Islam pun tidak kebal dari gelombang ini. Apalagi UIN adalah perguruan tinggi Islam yang baru saja menjalankan transisinya sebagai universitas, tanpa persiapan basis keilmuan apa pun.

Kampus yang baru saja mengenal abstrak rumpun keilmuan yang interdisipliner (interkonektivitas) dikepung oleh managerialisme pendidikan zaman pasar, maka otomatis daya saringnya lumpuh, dan virus apapun bisa menerobos tembok-temboknya yang rapuh.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top