Sedang Membaca
Ngaji Alquran di Zaman Edan: Mempertanyakan Otoritas dalam Penafsiran Alquran
Fuji Nur Iman
Penulis Kolom

Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, minat kajian Aqidah dan Filsafat Islam Konsentrasi Studi Alquran dan Hadis.

Ngaji Alquran di Zaman Edan: Mempertanyakan Otoritas dalam Penafsiran Alquran

al-qur'an

Ngaji Alquran di Zaman Edan merupakan terjamah karya Ziauddin Sardar Reading The Quran: The Contemporary Relevance of The Sacred Text of Islam. Diterbitkan pertama kali (edisi Bahasa Inggis) oleh Oxford University Press pada tahun 2011. PT Serambi Ilmu Semesta mengambil hak terjemah dalam bahasa Indonesia dan menerbitkannya pada tahun 2014 silam.

Sardar merupakan seorang Muslim kelahiran Punjab, Pakistan. Tak lama di Pakistan, Sardar hijrah ke Clapton Pond di Hackney, London, ketika usianya sembilan tahun. Ditempat bermukim yang baru inilah, Sardar tercatat terlibat dengan Federation of Student Islamic Societies dan The Muslim, salah satu majalah yang menerbitkan secara berkala tafsir karya Sayid Qutb, Fi Zhilal Alquran.

Keterlibatannya dengan The Muslim membuat Sardar yakin bahwa Alquran merupakan teks yang senantiasa menganjurkan berfikir dan bertindak. Alquran adalah teks dinamis yang relevansi dan implikasinya bagi zaman harus ditemukan seutuhnya. Alquran merupakan teks yang berupaya mencapai perubahan bukan melalui revolusi. Melainkan melalui perbaikan dan perkembangan pemikiran serta perbuatan. Selain itu, Alquran juga merupakan teks yang menyucikan jiwa setiap orang sehingga hakikat kemanusiaannya bersinar.  

Mempertanyakan otoritas penafsiran Alquran sebenarnya merupakan secuil bagian dari buku Reading The Quran: The Contemporary Relevance of The Sacred Text of Islam. Terilhami oleh setidaknya beberapa alasan, Q.S. Fushilat ayat 44, dan Q.S. An-Nahl ayat 103, Sardar tampak cukup geram dengan melihat persoalan otoritas dalam penafsiran Alquran. Sardar menohok tradisi otoritas penafsiran Alquran dengan berbagai argumen khas kaum akademisi.

Para ulama (ahli agama) bagi Sardar secara de facto tak ubahnya seperti para pendeta. Meski fakta bahwa Islam tak mengenal hierarki kependetaan telah menjadi kebanggaan umum setiap Muslim. Dengan mempertahankan otoritas tafsir terhadap Alquran, ulama berperan bak sebagai perantara kaum beriman dengan firman Tuhan layaknya seorang pendeta. Bahkan lebih buruk lagi, pada beberapa kasus, tafsir ulama madzhab tertentu benar-benar ditempatkan sejajar dengan Alquran itu sendiri.

Baca juga:  Ngaji Kepada Gus Baha: Ayat Alquran yang Bikin Janggal Orang Jawa

Sardar menilai, bahwa untuk mempertahankan dominasi atas kelompok lain yang berseberangan, para ulama mereduksi konsep Alquran tentang ‘ilm. Konsep yang pada dasarnya merujuk kepada semua jenis pengetahuan, menjadi hanya berarti pengetahuan agama. Lebih parah lagi, para ulama kemudian menyatakan bahwa orang yang memiliki pengetahuan agama lebih mulia daripada orang yang tak memilikinya.

Selain itu, menurut Sardar, para ulama juga mereduksi konsep Islam tentang ijma’. Konsep ijma’ yang berarti kesepakatan semua orang, menjadi kesepakatan segelintir ulama pemilik hak istimewa, yang dicapai melalui proses panjang dan berat. Tak berhenti sampai di situ, para ulama bahkan menghentikan percetakan di dunia Islam. Selama berabad-abad, percetakan diharamkan hanya karena kekhawatiran jika salinan Alquran tersebar luas akan mendorong kamu Muslim awam tidak hanya membaca, tetapi juga menafsirkan Alquran.

Selain menohok ahli agama yang memiliki hak istimewa atas Alquran, Sardar juga menyuguhkan bahwa secara tradisional dua pengahalang utama untuk terlibat langsung dengan Alquran adalah pengetahuan khusus dan Bahasa Arab.

Pengetahuan khusus menurut para ulama merupakan syarat untuk membuka dan membaca Alquran. Menurut Sardar, banyak dari pengetahuan khusus terlalu sangat bergantung pada ingatan yang tak lagi relevan dengan zaman edan. Seperti misalnya, seseorang harus tahu di mana, kapan, dan mengapa ayat-ayat Alquran diturunkan, akrab dengan tafsir klasik, hafal lebih dari 2000 hadis, dan mampu mengutip dengan baik kitab-kitab induk hukum dan yuresprudensi Islam.

Baca juga:  Tafsir Udkhulu fis Silmi Kaafah

Jika ingin melahirkan tafsir ilmiah atas Alquran, mungkin saja merupakan ide yang baik untuk memiliki latar belakang seperti demikian. Tetapi bagaimana jika Alquran memang ditujukan kepada semua orang. Awam maupun alim, mengapa dibutuhkan begitu banyak syarat untuk terlibat langsung dengan firman Tuhan.

Penghalang itu bagi Sardar kini sudah lagi tak relevan. Semua syarat yang hebat itu diciptakan pada zaman ketika buku masih jarang, ingatan memainkan peran penting dalam belajar, dan pendidikan belum tersebar luas. Kini, hadis ataupun teks-teks hukum tak perlu lagi dihafal. Seluruh bahan yang dibutuhkan dapat diperoleh dengan mudah dalam bentuk cetakan, digital atau online. Bahkan tersedia pula peran khusus semisal Maktabah Syamilah.

Pada saat yang sama, para ulama juga menetapkan penguasaan Bahasa Arab sebagai syarat mutlak untuk menafsirkan Alquran, seperti tata bahasa bahasa, fonetik, semantik, sintaksis, dan juga sejarah serta perkembangannya. Seorang mufasir harus pandai Bahasa Arab. Sardar tak mengelak, bahwa gagasan kuasailah Bahasa Arab jika ingin meraih prestasi dalam keilmuan.

Namun, bagi Sardar ada kebenaran tak terbantahkan. Apa jaminan jika dengan menguasai bahasa berarti mampu atau dapat memahami Alquran secara lebih baik?. Bukankah Bahasa Arab Alquran bukanlah bahasa Arab yang digunakan dalam sekitar 80 dialek di dunia Arab saat ini. Oleh sebab itulah, bagi Sardar, Alquran merupakan teks yang bersifat terbuka bagi semua. Baik bagi orang yang berbahasa Arab atau tidak. Bahkan, kemampuan berbahasa Arab pun tidak mendatangkan keuntungan.

Baca juga:  Perbedaan Khalaqa, Fathara dan Ja'ala

Sardar mengutip sedikitnya dua ayat Alquran terkait dengan persoalan ini. Pertama adalah Q.S. Al-Fushilat ayat 44. Sedang kedua adalah Q.S. An-Nahl 103. Pada ayat yang terakhir, bagi Sardar, Alquran menyatakan kepada orang Arab bahwa mereka buta terhadap bahasa Alquran meskipun mereka berbahasa Arab.

Secara keseluruhan, Sardar menegaskan bahwa orang tidak butuh syarat apapun untuk mengkaji Alquran. Bahkan tak butuh saran dari seorang ulama atau pemilik otoritas ilmu tertentu.

Berbanding terbalik, Sardar justru meyakini bahwa hambatan yang diciptakan para ulama tradisional menjadi persoalan paling serius yang dihadapi kaum Muslim saat ini dan pada masa mendatang. Syarat-syarat itu mematikan kaum Muslim yang peduli, berpikir, dan berdedikasi untuk terlibat dalam perdebatan penting dengan Alquran.

Lebih dari itu, persyaratan-persyaratan itu melumpuhkan sistem pendidikan Islam sehingga lembaga pendidikan melahirkan ulama berpikiran sempit yang hanya punya sedikit pengetahuan tentang kompleksitas masalah di zaman modern. Para ulama yang berpegang teguh pada pendapat usang sebenarnya berada dalam kapsul agama dan budaya yang tersumbat.

Bagi Sardar, mengikuti ajaran kelompok elite semacam itu, berarti menutup kemungkinan untuk berubah dan berkembang. Oleh sebab itulah, tantangan besar Muslim kontemporer adalah justru membebaskan diri dari genggaman dan dominasi-dominasi pendapat yang telah usang.

Sardar, seperti beberapa akademisi Muslim modern, berusaha untuk mengdongkrak pemikiran kaum Muslim. Terutama dalam memahami kitab suci Alquran. Tafsir-tafsir klasik sudah tak lagi relevan. Pun dengan segudang syarat yang seringkali kali diajukan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top