Sedang Membaca
Menanggapi Problem Pluralitas di Indonesia
Faiq El Meida
Penulis Kolom

Santri PP Al-Ishlah Paciran Lamongan. Pria yang gemar meminum kopi ini memiliki hobi menulis fiksi maupun non fiksi sejak duduk di bangku SMP. Finalis delegasi Santri Writer Summit 2017

Menanggapi Problem Pluralitas di Indonesia

Pengantar: Sejak 21 Januari 2019, kami menurunkan 20 esai terbaik hasil Sayembara Esai Tingkat SMA/Sederajat 2018. Setelah pemuatan lima besar, 15 esai berikutnya dimuat berdasarkan urutan abjad nama penulis. 

——-
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan budaya (suku, ras, bahasa, kearifan lokal, busana, kuliner, dan lain-lain) yang heterogen. Selain itu, Indonesia telah meresmikan enam agama besar dunia yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghuchu. Oleh karena itu, masyarakat Indonesia acapkali disebut sebagai masyarakat plural atau majemuk.

Namun keberagaman itu kerap menimbulkan persengketaan. Hal ini disebabkan oleh kurangnya kebijakan dan kesadaran dalam mengatasi perbedan. Sebagai contohnya ialah konflik antara umat Nasrani dan Islam di Ambon pada tahun 1999, konfik Tolikara Papua yang dipicu oleh pembakaran sebuah masjid oleh jamaat geraja injil Indonesia, dan konflik Aceh di daerah Singkil oleh Islam dan Kristen.

Konflik lain terjadi di Situbondo pada 10 oktober 1996 antara Islam dengan Kristen yang dipicu oleh  ketidakpuasan atas hukuman yang diterima oleh seorang penghina Islam. Lalu konflik Sunni dan Syi’ah di desa Karang Gayam, Omben, Sampang, Madura pada tahun 2012, sampai-sampai terjadi pembakaran rumah ketua Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia  (IJABI) dan dua rumah Syi’ah serta sebuah musala yang biasa digunakan kaum Sunni.

Mencermati banyaknya aksi persengketaan di Indonesia, sejumlah aktivis menekankan pluralisme sebagai kerangka yang dirujuk bagi terwujudnya toleransi antarumat beragama. Namun hal tersebut kontra dengan dengan fatwa MUI Nomor 7/MUNAS VII/MUI/11/2005 yang berkenaan tentang pluralisme.

Makna Pluralisme

Lantas apa yang dimaksud dengan pluralisme? Dan mengapa MUI menolak adanya paham pluralisme di Indonesia. Secara etimologi pluralism berasal dari kata plural yang artinya jamak, lebih dari satu (more than one). Sedangkan dari sisi terminologi, pluralisme memiliki dua makna.

Baca juga:  Bila Gus Dur Menulis Habib Kwitang

Pertama, pengakuan terhadap keragaman kelompok, baik yang bercorak ras, agama, suku, aliran, maupun partai dengan tetap menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan yang sangat karakteristik di antara kelompok-kelompok tersebut.

Kedua, doktrin yang menegaskan bahwa semua kebenaran bersifat relatif dan semua mempunyai nilai yang sama. Atau doktrin yang memandang bahwa tidak ada pendapat yang benar atau semua pendapat adalah sama benarnya. Istilah ini telah menjadi terminologi khusus yang sudah baku (technical term).

Jadi, paham pluralisme memiliki dua makna yaitu toleransi dan relativisme. Pendapat yang menyatakan bahwa pluralisme itu hanya berarti toleransi saja adalah pendapat yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara akademis. Sebab paham pluralisme di Barat dikaitkan dengan dua pengertian tersebut, yaitu terkait dengan toleransi dan teologis. Dapat disimpulkan bahwa pluralisme agama adalah sebuah paham atau cara pandang terhadap pluralitas agama, di mana paham ini memandang semua agama sebanding atau setara dengan agama-agama lainnya.

Paham pluralisme sendiri berasal dari pemikiran liberal Barat yang merupakan bentuk inovasi teologis dan bentuk final dari pemikiran yang dibawa oleh agamawan liberal. Perkembangan pluralisme agama di Barat sebenarnya bisa ditelusuri dari pemikiran dua tokoh ternama yang berkecimpung di dalamnya, John Hick dan Frithjof Schuon.

Hick dikenal dengan pahamnya, teologi global (global theology), sementara Schuon menggagas paham kesatuan transenden agama-agama (transcendent unity of religions). Sehingga kedua aliran ini telah membangun gagasan, konsep dan prinsip masing-masing yang akhirnya menjadi paham yang sistemik.

Baca juga:  Pengalaman Spiritual Bersama Gus Dur

Apabila paham ini diimplementasikan pada ideologi Indonesia, hal ini akan membahayakan kaidah ajaran semua agama sekaligus merusak makna sila pertama dan bhinneka tunggal ika. Sebab pemaknaaan bhinneka tunggal ika bukanlah mengimplikasikan seluruh ras, budaya, atau agama yang ada, melainkan menjaga keutuhan dan keselarasan tanpa mengurangi jati diri budaya, atau agama antara satu denagan lain.

Paham pluralisme agama juga memberi dampak negatif pada kehidupan sosial. Karena pada dasarnya, pluralisme agama merupakan problem bagi semua umat beragama. Pendeta Stevri Indra Lumintang menyatakan bahwa pluralisme adalah suatu tantangan sekaligus bahaya yang sangat serius bagi kekristenan. Anis Malik Thoha juga menjelaskan bahwa pluralisme agama adalah “agama baru” oleh karena itu konsep ini sangat berbahaya, dan perlu mendapat perhatian serta kewaspadaan yang ekstra ketat dari seluruh pemeluk agama-agama. Di kalangan umat Hindu juga melakukan perlawanan dan menyatakan bahwa pluralisme agama adalah paham ‘universalisme radikal’ yang intinya menyatakan bahwa “semua agama adalah sama”.

Oleh sebab itu, MUI melarang dan menolak keras adanya paham pluralisme di Indonesia. Selain itu, Paham pluralisme akan menjadikan seseorang bersikap liberal dan sekuler terhadap agama, karena dalam prespektifnya semua agama adalah sama mutlaknya, sehingga tidak ada batasan dalam menganut keyakinan.

Menyikapi Perbedaan Agama

Lantas jika paham pluralisme tidak memberikan jalan alternatif toleransi antar umat agama, lalu bagaimana solusi dalam menyikapi perbedaan agama di Indonesia?

Dalam menyikapi problem dari pluralitas agama, sebernanya ajaran Islam telah menawarkan solusi sejak 14 abad yang lalu. Salah satunya ialah kandunga Q.S Al Kafirun. Dalam surat ini Buya Hamka (1908-1981) memberi penjelasan yang meringkas keseluruhan surah al-Kafirun.

Baca juga:  Alay, Masih Zaman?

Surah itu memberi pedoman yang tegas bagi kita pengikut Nabi Muhammad Saw, bahwa akidah tidaklah dapat diperdamaikan. Tauhid dan syirik tidak dapat dipertemukan. Kalau yang hak hendak dipersatukan dengan yang batil, mata yang batil jualah yang menang. Oleh sebab itu maka akidah tauhid itu tidaklah mengenal sinkritisme, yang berarti menyesuaikan-menyesuaikan.

Begitu juga dengan Quraish Shihab (1944 -ekarang) yang memahami dengan berbeda terhadap ayat, Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku merupakan pengakuan eksistensi secara timbal-balik, sehingga masing-masing pihak dapat melaksanakan apa yang dianggapnya benar dan baik, tanpa memutlakkan pendapat orang lain sekaligus tanpa mengabaikan keyakinan masing-masing.

Bagaimana rumusan di atas bisa diterima, sedang kita yakin sepenuhnya dan secara mutlak bahwa ajaran agama kita yang benar?Jawabannya kemutlakan agama adalah sikap jiwa ke dalam, tidak menuntut pernyataan atau kenyataan di luar bagi yang tidak menyakini.

Selain itu, Muhammad Abduh  juga memberikan maksud yang jelas terhadp surat al-Kafirun itu, yaitu penolakan adanya pencampuran dalam bentuk apa pun, seperti yang dinyatakan secara keliru oleh sebagian orang. Oleh sebab itu, di negara yang mayoritas beragama Islam ini, tentu umat Islam memiliki tanggung-jawab besar dalam menjaga keutuhan NKRI.

Tidak ada istilah perbedaan keyakinan akan menjadikan perpecahan. Yang ada ialah menuju perdamaian dan persahabatan antar sesama manusia, sehingga terciptalah kerukunan antarumat beragama. Dengan demikian, berdasarkan perintah surah al-Kafirun tersebut, jika di masyarakat terdapat beberapa aliran keagamaan, maka tugas dari juru dakwah Islam menyampaikan salam perdamaian yang dilandasi oleh sikap toleransi yang tinggi, bukan membuat ketegangan sosial keagamaan.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
5
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top