Pada masa novel-novel terbitan Balai Poestaka “berkuasa” dan terpilih oleh pembaca sastra, ada pengarang bernama Semaoen (1899-1971). Ia telanjur dimengerti sebagai orang pergerakan politik ketimbang penggerak sastra. Semaoen memberi suguhan cerita ke pembaca dengan Hikajat Kadiroen (1920). Novel jauh dari selera Balai Poestaka. Sekian orang menuduh gubahan sastra itu propaganda kiri dan bermutu rendahan.
Di buku-buku sejarah sastra “modern” di Indonesia, Hikajat Kadiroen sering sengaka tiada. Pengarang itu diabsenkan dari daftar para tokoh memberi asupan ke arus sastra di masa kolonial. Semaoen mungkin salah membuat judul. Ia tak semahir Mas Marco Kartodikromo membuat judul untuk dua novel: Mata Gelap dan Student Hidjo. Istilah “hikajat” mengajak orang mundur jauh ke sastra lama, sulit mendapat pengakuan “baroe” atau modern.
Novel terlalu lama telantar. Hikajat Kadiroen berbeda nasib dari Salah Asoehan, Sitti Noerbaja, Salah Pilih, dan Lajar Terkembang. Puluhan tahun, Hikajat Kadiroen cuma memiliki sedikit pembaca. Semaoen “ditakdirkan” mustahil masuk dalam buku pelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Di ensiklopedia dan kamus sastra, nama itu dilupakan. Penerbitan buku-buku sejarah atau kritik sastra terus meninggalkan Hikajat Kadiroen di masa lalu. Buku belum untung. Pengarang belum menemukan jalan ingatan.
Kita ingin “mencari” novel dan nama dari masa lalu dalam buku berjudul Sastra dan Religiositas (1982). Buku berisi esai-esai garapan YB Mangunwijaya. Buku itu dikerjakan dengan pandangan pembaca menaruh minat pada kesusastraan dan kadar religiositas dalam teks-teks sastra. Pilihan bacaan di situ: Belenggu (Armijn Pane), Telegram (Putu Wijaya), Godlob (Danarto),Kemarau (AA Navis), Surabaya (Idrus), Keluarga Gerilja (Pramoedya Ananta Toer), Jalan Tak Ada Udjung (Mochtar Lubis), dan lain-lain. Hikajat Kadiroen tak dipilih untuk dibaca dan ditafsirkan di kadar religius. Buku telanjur terlupa lama, agak sulit jadi referensi atau perbincangan di masa Orde Baru. Ketiadaan Hikajat Kadiroen di situ mungkin mengikuti anggapan bahwa gubahan Semaoen melulu berisi politik-kiri. Orang berhak menduga dalam Hikajat Kadiroen sulit berjumpa agama atau religiositas. Anggapan-anggapan itu wajib diralat menjelang peringatan seratus tahun penerbitan Hikajat Kadiroen.
Kita mendingan membaca ulang: perlahan dan cermat. Kita bisa memulai dengan mengenali biografi Semaoen selama bergabung di Sarekat Islam dan berperan di PKI masa awal. Di alur pergerakan politik, Semaoen mengerti dan bersinggungan dengan Islam di tatapan mata-kolonialisme atau mata-kapitalisme. Semaoen mafhum Islam, berhak mengisahkan dalam gubahan sastra secara gamblang atau simbolik. Hikajat Kadiroen terbit saat gerakan politik di Semarang semakin membara dan mendapat ganjaran-ganjaran kejam dari pemerintah kolonial.
Pada suatu sidang akbar atau rapat umum diselenggarakan Partai Komunis, tampil tokoh Tjitro menjelaskan nasib kaum kromo di Hindia Belanda. Tokoh ciptaan Semaoen itu mengajak orang-orang sadar dan bangkit mengatasi penderitaan, kemiskinan, penindasan, diskriminasi, dan kebodohan. Pidato panjang sering mendapat tepuk tangan dan seruan lantang: “sepakat”. Di akhir pidato, orang-orang diajak membantah, mendebat, atau bermufakat. Semaoen mengajukan tokoh Kiai Noeridin dari Pesantren Sendang membantah seruan Tjitro: “Saya ada pikiran lain dengan Tuan Tjitro. Kalau benar semua yang tadi ia katakana, maka pergerakan PK (Partai Komunis) mau memakmurkan manusia dalam urusan lahir, yakni dalam hal duniawi atau harta benda dunia. Dalam pikiran saya, hal itu justru sangat berbahaya bagi manusia. Karena urusan batin atau masalah agama serta kepercayaan kepada Gusti Allah lalu menjadi rusak. Sebab manusia lalu hanya memperhatikan urusan lahir lebih dahulu.”
Kita menduga perkataan itu berlanjut ke sejenis dakwah atau petuah-petuah. Si tokoh agak lama bicara tapi Semaoen memberi kemungkinan pesan tak terlalu menasihati. Kehadiran tokoh berlatar agama itu siasat Semaoen mengabarkan ke pembaca masa lalu bahwa Islam itu berseru “kemadjoean” dan pijakan melawan kolonialisme mulai menemukan bentuk-gerakan dan ungkapan. Semaoen bukan membuat si tokoh cuma “pemanis” dalam cerita. Kita lanjutkan kutipan berkaitan agama: “Untuk memperbaiki akal budi manusia, maka yang pertama-tama harus diutamakan urusan batin terlebih dahulu. Jadi nomor satu haruslah agama dimasukkan dalam hati sanubari manusia. Karena masuknya agama ke dalam jiwanya, manusia akan dengan sendirinya menjadi baik dan bersih. Maka tentulah akal budi dan urusan lahiriah akan menjadi baik dengan sendirinya. Oleh karena itu, saya sepakat bila semua pemuda harus dibikin alim dahulu di langgar dan pesantren, di mana semua guru agama akan bisa menunjukkan jalan bagi kebaikan batin, agar supaya bisa mulia lahir dan batin. Dalam hal ini saya memandang kurang perlunya adanya pergerakan ini.” Kita diingatkan lakon Sarekat Islam di Semarang mengalami konflik gara-gara perbedaan mengartikan politik dan agama. Sarekat Islam memang membesar tapi mengandung “sengketa” haluan dalam memajukan gerakan dan bersikap ke pemerintah kolonial. Pada saat mendapat bantahan dengan acuan agama, Tjitro tak tersinggung atau marah. Ia mengerti ada keinginan bersama demi kebaikan dan kemajuan.
Sariman, teman Tjitro sejak kecil, pernah mengalami dilema. Ia pengurus PK mendapat amanah membawa duit. Ia sedang dilanda miskin. Ibu sedang sakit memerlukan obat. Duit di kantong tak mencukupi. Minta ke teman-teman tak mungkin. Mereka juga miskin, Menggunakan atau meminjam dulu duit organisasi, ia tak berani gara-gara berjanji ingin amanah. Dilema sulit mendapat jawab. Ia sempat mau bunuh diri. Pengakuan Sariman: “Lebih baik saya mati sendiri daripada seolah-olah saya ‘membunuh ibu’ atau ‘membunuh kewajibanku sebagai penningmeester.” Pisau belati sudah siap menusuk badan. Batal!
Waktu semakin mepet untuk mendapatkan obat. Sariman memutuskan mengemis berdalih itu cara halal ketimbang mencuri, menipu, atau merampok. Ia mengemis, mengumpulkan duit demi membeli obat bagi ibu. Obat itu berupa buah anggur. Ia memerlukan uang sejumlah f 1 tapi sulit didapatkan. Peristiwa dialami Sariman seperti diceritakan Semaoen: “Hati saya mulai bingung lagi. Tetapi lalu saya ingat kepada Tuhan Allah dan di situ lantas saya duduk di terpi jalan, serta beberapa menit berdoa dengan sungguh-sungguh meminta pertolongan Tuhan Allah Yang Mahakuasa.” Keberanian pun muncul. Sariman mendatangi rumah seorang haji. Di hadapan si haji, ia mengemis didahului menerangkan situasi diri. Haji itu cuma lama menatap, tak lekas memberi duit. Semaoen memberi kejutan melalui tokoh haji. Tokoh itu mengenali Sariman dan mengaku anggot PK. Sariman diminta bercerita panjang kenekatan jadi pengemis.
Sariman berhasil mengumpulkan duit untuk membeli obat: “Pada saat itu maka hati saya menjadi bahagia dan senangnya sebesar Gunung Himalaya. Doa saya kepada Tuhan Allah sepertinya didengar Gusti Yang Mahakuasa itu, sedangkan saudara haji tersebut oleh Gusti Kita dijadikan alat untuk menolong saya. Sesungguhnya seorang yang dipilih oleh Tuhan Allah menjadi wakilnya untuk menolong si susah tentu akan mendapar rahmat Tuhan Allah pada waktunya nanti.” Cerita agak panjang itu disampaikan Semaoen untuk membuktikan tokoh memegang janji dalam berbakti ke ibu dan partai. Ia pantang berlaku curang. Iman menjadi patokan. Doa pun terkabulkan.
Kita sengaja memilih penggalan-penggalan cerita memiliki kadar agama atau religius untuk mengingat masa lalu pergerakan dan nasib para tokoh. Semaoen memberikan cerita mengacu ke pengalaman dan dokumentasi zaman. Kita mungkin telat mengusulkan Hikajat Kadiroen masuk dalam perbincangan sastra dan religiositas. Kita tergesa “pesimis” dan menganggap novel itu berlumuran politik saja. Semaoen turut berdakwah dengan cerita meski sulit mendapat pengakuan dari kritikus sastra atau penceramah-penceramah di pelbagai pengajian. Kita mengandaikan Hikajat Kadiroen itu jadi referensi. Begitu.