Murid-murid SMA masa Orde Baru dolan ke pepustakaan kadang menemukan buku-buku di rak sastra ditulis oleh pengarang kondang. Sekian buku diterbitkan Pustaka Jaya. Buku-buku edisi sampul tebal dan tipis. Buku-buku memiliki cap negara. Ribuan eksemplar dikirim ke perpustakaan-perpustakaan di seantero Indonesia. Nama di buku itu terbaca: Mochtar Lubis.
Sekian judul novel menggoda. Murid berpikir sejanak untuk menentukan pilihan buku mau dipinjam. Novel agak menghibur bagi murid tersiksa pelajaran-pelajaran setiap hari. Novel pinjaman dari perpustakaan belum tentu novel terjemahan dari pengarang-pengarang dunia. Pilihan membaca novel gubahan pengarang Indonesia memerlukan pengharapan dan ketabahan. Berpikir sejenak menghasilkan keputusan: meminjam novel berjudul Harimau! Harimau! Judul agar bikin penasaran ketimbang Tak Ada Esok, Jalan Tak Ada Ujung, atau Senja di Jakarta, Maut dan Cinta, dan Tanah Gersang.
Novel terbit 1975, sering cetak ulang sampai edisi terbitan oleh YOI pada abad XXI. Sinopsis diperlukan murid cuma memiliki waktu pendek demi menikmati novel. Hidup keseharian sudah dihabisi masalah-masalah sekolah. Sinopsis agak memicu gairah bertahan sebagai pembaca sekian hari: “Harimau! Harimau! adalah sebuah roman yang mengisahkan enam orang pencari damar yang diburu-buru harimau di tengah hutan lebat. Dalam cekaman ketakutan, mereka harus membunuh harimau dengan parang atau harus berkhianat antara sesamanya demi keselamatan diri? Buku ini telah mendapat hadiah sebagai buku terbaik tahun 1975 dari Yayasan Buku Utama.”
Murid itu mengangguk. Novel pasti seru. Pada masa dan suasana berbeda, murid mungkin membandingkan dulu dengan pukau imajinasi bila telah selesai membaca novel gubahan Rudyad Kipling dan Yann Martel. Murid teringat hutan dan binatang. Godaan imajinasi dari dua pengarang tenar bisa disingkirkan dulu demi menghormati kemahiran bercerita Mochtar Lubis.
Halaman demi halaman terbaca. Berhenti sejenak di peristiwa para tokoh masuk hutan: “Dari Air Jernih ke hutan damar, ada seminggu jauhnya berjalan kaki. Mereka membawa beras, cabai yang ditumbuk di dalam bambu, sedikit asam dan garam, dan panci tempat menanak nasi dan memasak air, kopi dan gula.” Murid turut berimajinasi menempuhi perjalanan dan melihat pemandangan. Tubuh bergerak dengan gairah dan lelah. Imajinasi memungkinkan pengalaman masuk hutan itu mendebarkan. Murid mungkin memilih bergerak ke hutan ketimbang ratusan jam berdiam di kelas dengan pemandangan membosankan.
Mochtar Lubis tak sedang menghidupkan lama sastra lama sering berlatar hutan atau bercerita hutan. Pengarang dan wartawan itu sengaja bermain sindiran peradaban melalui manusia, hutan, dan harimau. Bacaan agak ringan tapi membekali pembaca berani melihat Indonesia dan mengajukan sindiran-sindiran. Novel memiliki kegunaan selain menghibur. Murid-murid SMA membaca Harimau! Harimau! tak terlalu sulit. Novel berhikmah dalam acuan mempertimbangkan pelbagai hal.
Konon, novel itu mula-mula berjudul Hutan, sebelum muncul sebagai Harimau! Harimau! Para kritikus menganggap Mochtar Lubis berkhotbah moral dalam novel. Moralitas terlalu terungkap bagi pembaca meski awam. Maman S Mahayana, Oyon Sofyan, dan Achmad Dian dalam buku berjudul Ringkasan dan Ulasan Novel Indonesia Modern (1992) memberi ulasan: “Memang, masalah moral orang per orang dalam novel ini tampak dengan sengaja ditekankan untuk mempertegas pesan yang hendak disampaikan pengarangnya. Sungguhpun begitu, bagi masyarakat yang masih kuat terikat pada kepercayaan takhayul – baik mantra maupun jimat-jimat – novel ini terasa hendak menyodorkan kesadaran bahwa yang penting dalam hidup ini adalah kepercayaan terhadap Tuhan dan keyakinan terhadap kemampuan pada diri sendiri. Dengan cara itulah, manusia akan bebas dari ketakutan yang tak beralasan.”
Novel itu masuk koleksi perpustakaan di sekolah-sekolah sudah tepat. Sejak puluhan tahun lalu, guru-guru memberi tugas dalam pengajaran sastra sering menginginkan murid menemukan pesan moral. Murid beruntung bila memilih membuat sinopsis dan mengulas Harimau! Harimau! Tugas tak terlalu sulit dikerjakan asal memiliki imbuhan pengertian tentang hutan dan binatang. Pengetahuan tentang manusia pasti wajib.
Murid menduga tokoh-tokoh dalam novel representasi dari manusia Indonesia. Mereka memang mudah dikenali pembaca, cocok dengan watak-watak biasa dijumpai dalam keseharian. Beragam cerita pernah terbaca makin menguatkan anggapan Mochtar Lubis bercerita keutamaan dan kelemahan manusia Indonesia. Novel menjadi sodoran renungan untuk mengetahui derajat, gejolak, dan identitas manusia Indonesia, dari masa ke masa.
Pembaca merenung: “Pak Haji membiarkan Buyung berjalan dahulu dan dia berpikir. Aneh, aneh pikirnya, ada juga orang yang serupa itu, yang bersedia menolong orang lain, tanpa memikirkan bahaya untuk dirinya sendiri. Dan tak pula dia mengharapkan balas jasa. Ah, katanya kemudian, mungkin karena Buyung masih terlalu muda, belum banyak makan pahit-garam penghidupan, karena itu dia berbuat demikian. Akan tetapi, pikiran Pak Haji tidak pula dapat menghapuskan kenyataan yang telah terjadi bahwa Buyung telah cepat dan tanpa berpikir panjang-panjang datang menolongnya, mengelakkan dia dari bahaya maut yang tak dilihatnya. Kenyataan itu tetap ada, tak dapat dihilangkan dengan berbagai dalil-dalil yang dibuat.”
Sifat-sifat para tokoh disampaikan Mochtar Lubis. Murid membaca novel kadang jeda berpikir atau merenung. Tokoh-tokoh dalam cerita mungkin cerminan manusia-manusia Indonesia. Pada masa bertumbuh diasuh oleh bacaan, film, lagu, dan nasihat orangtua, murid belajar mengenali manusia. Murid perlahan membuat perbedaan beragam sifat, berikhtiar menjadi manusia memenuhi ketentuan jujur, baik, luhur, tulus, ikhlas, berani, sopan, dan lain-lain. Di novel berjudul Harimau! Harimau! pengetahuan dan pengalaman digunakan turut memberi penilain atas penokohan.
Kita simak pengakuan Mochtar Lubis (1992) membenarkan dugaan pembaca saat menikmati novel: “Saya selalu menulis sebuah kisah fiksi berdasarkan pengalaman-pengalaman saya. Sastra saya adalah kisah nyata. Berdasarkan kisah masyarakat, kehidupan yang nyata. Bromocorah, Harimau! Harimau!, Kuli Kontrak, Si Djamal, semuanya adalah berdasarkan kisah nyata.” Pembaca novel mengaku mendapat hikmah, terhindar dari membaca sia-sia. Begitu.