Sedang Membaca
Gelar-Gelar Geografis Ulama Nusantara: Fansuri hingga Minangkabawi
Arivaie Rahman
Penulis Kolom

Arivaie Rahman, M.A. Akademisi dan peneliti tafsir nusantara, lulusan Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Meminati studi Alquran, tafsir, hermeneutika, pemikiran Islam klasik dan kontemporer.

Gelar-Gelar Geografis Ulama Nusantara: Fansuri hingga Minangkabawi

Telah menjadi tradisi bagi masyarakat Timur-Tengah untuk memberikan nama sandang (baca: gelar) sesuai tempat asal kelahiran, tempat menetap, dan daerah berkiprah seseorang. Misalnya gelar al-Makki dinisbatkan pada seseorang yang berasal dari Mekkah, begitu pula dengan al-Madani (Madinah), al-Bashri (Basrah), al-Yamani (Yaman), al-Mishri (Mesir), al-Baghdadi (Baghdad), al-Iraqi (Iraq), dan masih banyak lagi yang lainnya.

Kebiasaan orang Timur-Tengah tersebut agaknya diadaptasi dan ditransformasi oleh pelajar-pelajar Nusantara yang menuntut ilmu, berhaji, dan bermukim di Hijaz (Mekkah dan Madinah). Sebab itu, sangat beralasan bila kelompok pelajar yang berasal dari Palembang disebut “al-Falimbani”, Banjar (al-Banjari), Minangkabau (al-Mingkabawi), al-Bantani (Banten), dan seterusnya.

Pada awalnya, gelar tersebut murni merupakan identitas geografis, namun belakangan mengalami pergeseran pemaknaan. Terutama ketika mereka telah kembali dan menetap di Nusantara.

Gelar-gelar tersebut tampaknya hanya berhak disandang oleh tokoh ulama yang telah malang-melintang di dunia keagamaan. Pada sisi yang berbeda, gelar itu hanya diwariskan dalam satu garis keturunan tertentu, sehingga tidak semua orang boleh menyandangnya.

Tulisan ini akan menyebutkan beberapa gelar geografis ulama Nusantara yang terkenal beserta nama-nama tokohnya. Penulis akan mengurutkan gelar-gelar tersebut secara kronologis sesuai rentetan sejarah.

Pertama, al-Fansuri. Al-Fansuri adalah gelar yang disematkan untuk ulama yang berasal dari Fansur atau Barus, sebuah kota tua di ujung pulau Sumatera. Ulama Nusantara yang terkenal berasal dari daerah ini adalah Hamzah al-Fansuri. Ia dituding sebagai seorang sufi berpaham wahdatul wujud sekaligus seorang sastrawan ulung yang mahir mengarang syair pada awal abad ke- 17 M.

Baca juga:  In Memoriam Kiai Ahmad Muzammil, Pengasuh PP Rohmatul Umam Bantul Yogyakarta

Selain Hamzah Fansuri, ulama yang bergelar serupa adalah Abdul Rauf al-Sinkili (w. 1693). Tetapi gelar “al-Sinkili” (Singkel) lebih akrab dan familiar dibanding gelar “al-Fansuri”.

panjimasyarakat.com

Kedua, al-Sumaterani. Al-Sumaterani pada abad ke 17 M lebih tertuju pada sebuah daerah di Pasai (Aceh), bukan pulau Sumatera secara keseluruhan. Satu-satunya ulama yang berpredikat sebagai “al-Sumaterani” dalam sejarah Islam di Nusantara tidak lain merupakan murid Hamzah Fansuri, yakni Syamsuddin al-Sumaterani (w. 1630). Ia merupakan mufti kerajaan Aceh sebelum Nuruddin al-Raniri (w. 1658).

Ketiga, al-Falimbani. Al-Falimbani adalah gelar geografis yang dilekatkan pada ulama yang berasal dari Palembang, Sumatera Selatan. Tokoh yang terkenal dari daerah ini adalah Abdul Samad al-Falimbani (w. 1789). Ia lebih menonjol di bidang tasawuf, dua karya fenomenalnya dan merupakan saduran dari karya al-Ghazali (w. 1111) adalah “Siyar al-Salikin” dan “Hidayat al-Salikin”. Masing-masing saduran dari “Ihya Ulumuddin” dan “Bidayat al-Hidayah”.

Tokoh lain yang juga digelari sebagai “al-Falimbani” antara lain: Hasanuddin bin Ja’far al-Falimbani, Kemas Muhammad bin Ahmad al-Falimbani, Kemas Haji Muhammad Azhari al-Falimbani, Muhammad bin Kanan al-Falimbani, Muhammad Aqib bin Hasanuddin al-Falimbani, Muhyiddin bin Syihabuddin al-Falimbani, dan Muhammad Thaib bin Ja’far al-Falimbani.

Keempat, al-Banjari. Al-Banjari dilekatkan untuk mereka yang berasal dari daerah Banjar, Kalimantan Selatan. Tokoh yang paling awal dan terkenal dilabeli gelar ini adalah Muhammad Arsyad al-Banjari (w. 1812). Ia pernah menuntut ilmu di Mekkah selama 30 tahun dan berguru kepada Sulaiman al-Kurdi dan Samman al-Madani seorang pendiri tarekat Sammaniyah. Meski merupakan ‘khalifah’ tarekat Sammaniyah, namun ia lebih dikenal sebagai ahli fikih mazhab Syafi’i.

Baca juga:  Kajian yang Keren: Belut dalam Pemikiran Hukum Islam

Kepakaran Arsyad al-Banjari di bidang fikih ini dibuktikan dengan karyanya yang menjadi acuan di Asia Tenggara hingga hari ini, “Sabil al-Muhtadin”. Sebuah kitab fikih yang melanjutkan dan memperjelas kitab “Shirath al-Mustaqim” karya Nuruddin al-Raniri.

Ulama lainnya yang juga bergelar al-Banjari antara lain: Muhammad Nafis al-Banjari (w. 1812), Abdurrahman Siddiq al-Banjari (w. 1939), Yusuf Saigon al-Banjari (w. 1942), Ali bin Abdullah al-Banjari (w. 1951), Syarwani Abdan al-Banjari (w. 1989), dan Zaini Ghani al-Banjari (w. 2005). Gelar “al-Banjari” lebih menjadi gelar turun-temurun dari keluarga besar Arsyad al-Banjari.

Kelima, al-Bantani. Gelar ini melekat pada Muhammad Nawawi al-Bantani (w. 1897) seorang ulama kelahiran Tanara, Serang, Banten, makanya kadangkala ia juga digelari “al-Tanari”. Keahlian, kealiman, dan kemasyhuran namanya membuat ia mendapat julukan sebagai “Sayyid Ulama al-Hijaz”.

Nawawi al-Bantani juga sangat produktif dalam dunia kepenulisan, diperkirakan karyanya tidak kurang dari 115 buah meliputi beragam spesifikasi ilmu, sehingga pantas bila ia disebut pula sebagai “Bapak Kitab Kuning Nusantara”. Ulama lain yang juga digelari al-Bantani antara lain, Arsyad Thawil al-Bantani (w. 1934) dan Muhammad Asnawi al-Bantani (w. 1937).

Keenam, al-Minangkabawi. Gelar al-Minangkabawi baru tenar setelah Ahmad Khatib al-Minangkabawi (w.1916) diangkat menjadi imam mazhab Syafi’i di Masjid al-Haram. Ia dikenal sebagai ulama reformis yang menolak praktek pembagian waris yang matriliniar di Masyarakat Minang.

Baca juga:  Mengenal Tahar Haddad, Ulama Tunisa yang Dibuang Jauh
merahputih.com

Khatib al-Minangkabawi juga menentang keras ajaran tarekat Naqsyabandiyah. Ia pernah pula terlibat perdebatan dan polemik dengan Sayid Usman al-Batawi. Sikapnya yang demikian itu membuat namanya semakin tersohor dan menginspirasi banyak orang.

Di antara murid-murid yang pernah belajar kepadanya adalah dua pendiri organisasi Islam terbesar di Nusantara, KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) dan KH. Hasyim Asy’ari (pendiri Nahdlatul Ulama). Selain Ahmad Khatib, tokoh sebelumnya yang terlebih dahulu dilabeli “al-Minangkabawi” adalah Ismail al-Khalidi al-Minangkabawi (w. 1844), dan keturunannya Abdul Hamid Khatib al-Minangkabawi.

Ketujuh, al-Tarmasi. Tokoh ulama yang bergelar “al-Tarmasi” (Tremas, Pacitan, Jawa Timur) adalah Mahfuzh al-Termasi (w. 1920). Mahfuzh al-Termasi dikenal sebagai pakar hadis, karena ia memiliki banyak jalur sanad dan karya yang ditulis hampir separuhnya berhubungan dengan hadis. Ia juga dikenal sebagai pakar qira’at sab’ah. Sedangkan ulama lain yang juga berasal dari Tremas adalah adiknya sendiri, Muhammad Dimyathi al-Termasi.

Selain yang diuraikan di atas, sebenarnya ada banyak gelar-gelar geografis yang dinisbatkan pada ulama Nusantara, misalnya Faqih Jalaluddin al-Asyi dan Muhammad Zain al-Asyi (asal Aceh) dan Abdul Qadir al-Mandili (Mandailing, Sumatera Utara).

Ada pula Muhammad Yasin al-Fadani (Padang), Mukhtar Atharid al-Bughuri (Bogor), Khalil al-Bankalani (Bangkalan), Usman al-Batawi (Betawi/Batavia), dan Shaleh Darat al-Samarani (Semarang).

Gelar-gelar tersebut, sifatnya lebih khusus, sedangkan gelar geografis ulama Nusantara secara umum adalah “al-Jawi” bukan dimaknakan pulau atau suku Jawa, tetapi wilayah Nusantara pada masa Hindia-Belanda.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top