Perjalanan pangan Indonesia memberi petunjuk bagaimana persilangan dan perjumpaan budaya berlangsung dinamis. Lakon temu dan jumpa budaya itu tersaji dalam wajah dan etalase keseharian Indonesia hari ini. Sifat masyarakat Indonesia yang terbuka, lentur terhadap nilai-nilai baru, serta toleran terhadap budaya lain, seperti pengaruh Hindu, Buddha, Islam/Arab, India, Tiongkok, serta Barat, dapat dilihat dari ragam ekspresi budaya, salah satunya adalah kekayaan kuliner Indonesia.
Sardar dalam buku Balti Britain: A Journey Through the British Asian Experiences (2008) menyampaikan bagaimana sepiring kari di restoran Birmingham, Inggris, dapat menyingkap asimilasi dan laku budaya para imigran Asia Selatan di Inggris. Perspektif Sardar menajamkan pemikiran bahwa wujud makanan dapat menjadi petunjuk bagaimana relasi sosial dan budaya yang berbeda dibentuk, dinegosiasikan, dan diproyeksikan.
Jika ditarik dalam konteks Indonesia, sepiring Cap Go Meh, Ketoprak, Nasi Kapau, Gence Ruan, Tinutuan mendeskripsikan bagaimana rupa dan aroma Indonesia yang beragam diracik di sana. Pendeknya, pembentukan dan proyeksi relasi sosial dan budaya dapat diidentifikasi melalui makanan.
Perjumpaan, perkawinan, dan persilangan budaya yang diwujudkan dalam gastronomi Indonesia, membuktikan bahwa masyarakat Indonesia memiliki kemampuan mempraktikkan laku dan pola hidup harmonis sekaligus adaptif. Gastronomi adalah studi tentang relasi antara makanan dan budaya.
Gastronomi dapat menjadi petunjuk bagaimana para leluhur mewariskan pola pikir, tata nilai, pengetahuan lokal, kebajikan lokal, teknologi, serta ekspresi budaya, yang jejaknya bisa kita identifikasi hari ini.
Kemampuan membudidayakan, mengolah, serta menyajikan aneka makanan dan masakan yang kita konsumsi hari ini adalah buah dari pohon literasi pangan yang ditanam leluhur kita di masa lalu. Salah satu literasi pangan yang bisa kita jejaki hari ini, sebagai warisan masa lalu adalah narasi yang berisi tentang pemuliaan pangan.
Pemuliaan pangan berisi catatan tentang seperangkat pengetahuan, kebajikan dan kebijaksanaan lokal yang dimiliki leluhur kita untuk membentuk peradaban dan menyiasati kehidupan. Literasi pangan merupakan kemahiran mengidentifikasi bahan makanan, mengolah, menyajikan, serta memanfaatkan pengetahuan tentang bahan makanan hingga menjadi makanan siap saji.
Bentangan literasi pangan relatif panjang. Pangan tidak hanya menjadi perkara petani, akademisi pertanian, peternakan, perikanan, ahli gizi, dan atau Negara semata, tetapi juga perkara orang banyak, pun disiplin ilmu, termasuk Bahasa. Pada Juni 2019, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengonfirmasi temuan bahwa Gabus Pucung, salah satu masakan khas Betawi yang terbuat dari ikan gabus (Channa Striata) dan buah pucung (keluwek), mulai hilang dari meja makan orang Betawi.
Fakta itu mengungkapkan bahwa ikan gabus yang merupakan bahan utama masakan gabus pucung mulai langka dan sulit ditemukan akibat rusaknya ekosistem sungai Ciliwung, yang disebabkan oleh penggundulan hutan di wilayah hulu sungai, pencemaran limbah industri dan rumah tangga, penyetruman, serta penebaran racun dalam menangkap ikan sungai.
Pangan juga melampaui perkara mitigasi bencana alam. Masyarakat Simeulue, Daerah Istimewa Aceh, menjadikan Memek sebagai makanan yang dikonsumsi untuk bertahan hidup pasca Tsunami 2004 lalu. Memek terbuat dari beras ketan dan pisang yang diolah serupa bubur.
Pada Agustus 2019, Memek ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud RI). Memek adalah representasi kebijakan dan pengetahuan lokal masyarakat Simeulue sebagai penyintas tsunami. Pangan kemudian menentukan gerak masyarakat dalam menyikapi kondisi bentang alam yang rawan gempa dan tsunami.
Masyarakat Badui dalam di Banten sudah memiliki strategi distribusi padi yang bagus untuk kepentingan mitigasi bencana. Dalam buku Nusantara dalam Piringku (Ambarwati, 2019) menyebutkan bahwa daya dukung leuit (lumbung) padi masyarakat Badui dalam untuk mengelola kebutuhan pangan pokok korban bencana alam, sudah teruji baik.
Pangan menjadi penanda identitas masyarakat. Masyarakat adat Badui mengajarkan nilai luhur untuk memperhitungkan betul makanan yang akan dikonsumsi agar tidak membuang nasi dengan cara memantang hari-hari tertentu untuk mengambil persediaan gabah di leuit (lumbung). Upacara memuliakan pangan pokok dalam ritual Bersih Desa atau Seren Taun meneguhkan identitas nenek moyang Indonesia sebagai pemulia pangan pokok.
Literasi Pangan dan Ketahanan Budaya
Ada satu bahaya mengerikan dari aktivitas pergeseran konsumsi beragam pangan pokok menjadi beras/nasi saja maupun punahnya satu jenis makanan, yakni hilangnya kosa kata tersebut. Sebagai salah satu produk budaya, Bahasa memfasilitasi dan menyediakan kosa kata untuk mengidentifikasi jenis pangan atau makanan tertentu.
Jika suatu bahan pangan atau makanan tidak lagi dikonsumsi, artinya pangan tersebut tidak lagi dibudidayakan dan diolah, maka kosa kata pangan atau makanan itu juga tidak lagi digunakan, sehingga dapat dipastikan kosa kata itu akan punah dan mati. Realitas ini mengancam pemertahanan bahasa daerah dan bahasa Indonesia.
Kepunahan bahasa sebagai identitas sebuah bangsa, punahnya pengetahuan dan teknologi tradisional dalam membudidayakan dan mengolah pangan tertentu, dan kerusakan ekosistem, akibat pengabaian literasi pangan, membuktikan bahwa pangan dan budaya berkelindan erat.
Tak akan ada perbincangan tentang pangan tanpa diiringi pengetahuan tentang budaya yang melingkupinya. Perilaku dan aktivitas konsumsi pangan pokok, pada akhirnya memengaruhi banyak dimensi kehidupan. Pangan memengaruhi gaya hidup orang, kesehatan dan kebiasaan masyarakat.
Komite Sosial dan Ekonomi Parlemen Uni Eropa pada tahun 2014 menelurkan resolusi parlemen Eropa terhadap warisan gastronomi benua biru itu, yang meliputi aspek edukasi dan kultural. Resolusi itu membuktikan pentingnya pangan dan gastronomi sebagai ekspresi budaya dan artistik, sekaligus pilar utama bagi keluarga dan relasi sosial. Dalam konteks Indonesia yang majemuk, edukasi terhadap warisan gastronomi adalah hal mendesak yang segera kita lakukan.
Penguatan literasi pangan, khususnya warisan gastronomi Indonesia adalah materi yang dapat menjadi bahan baca untuk kegiatan Gerakan Literasi Sekolah (GLS), yang sudah dicanangkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sejak 2015, melalui Permendikbud No. 23 tahun 2015 mengenai penumbuhan budi pekerti.
Penguatan literasi pangan dilaksanakan dengan tujuan untuk merawat keberagaman budaya Indonesia. Pangan pokok Indonesia yang beragam, misalnya dapat dinarasikan ulang untuk menunjukkan bagaimana leluhur kita menjalankan laku dan praktik memuliakan padi, jagung, sagu, sorgum, dan lainnya melalui beberapa Objek Pemajuan Kebudayaan (OPK), seperti tradisi lisan, adat istiadat, ritus, pengetahuan-teknologi tradisional, seni, dan bahasa, yang beragam dan tak pernah tunggal maupun seragam.
Intervensi bacaan sejarah dan warisan gastronomi Indonesia melalui aktivitas Gerakan Literasi Sekolah (GLS) hendaknya segera diupayakan, apalagi sejak diluncurkan pada 2015 lalu, GLS belum memiliki tema bacaan tertentu yang diangkat sebagai tema sentral. Tema sentral Literasi Pangan, khususnya sejarah dan warisan gastronomi Indonesia, untuk Gerakan Literasi Sekolah dapat menjadi pintu masuk untuk memajankan kembali keberagaman yang dimiliki Indonesia.
Pajanan keberagaman Indonesia melalui pangan, yang dimuliakan sejak sebagai sumber dan bahan pangan, pengetahuan serta teknologi tradisional mengolah bahan pangan, laku budaya yang mengiringi pengolahan pangan, hingga kegiatan bersama yang menyertai penyajian dan penikmatan makan bersama, yang dimiliki tiap suku dan kelompok masyarakat di Indonesia dapat dinarasikan ulang, termasuk mitos, legenda, dan narasi ihwal gastronomi Indonesia.
Pemerintah hendaknya terus mendorong partisipasi aktif masyarakat untuk menarasikan ulang ragam kekayaan pangan Indonesia, serta menjamin keberagaman pangan melalui kebijakan yang memberi insentif pada pemajuan pangan Indonesia. Fasilitasi masyarakat secara intensif untuk melestarikan Objek Pemajuan Kebudayaan (OPK) terkait warisan pangan Indonesia harus diupayakan secara sistematis dan terarah.
Melalui UU Pemajuan Kebudayaan no 5 tahun 2017, ruang untuk melakukan inventarisasi, pengamanan, pemeliharaan, serta penyelamatan OPK, menjadi kewajiban pemerintah pusat dan atau pemerintah daerah, dengan melibatkan peran serta aktif masyarakat.
Literasi pangan berkontribusi signifikan untuk merawat ketahanan budaya Indonesia. Mari kita upayakan bersama. (SI)