Inilah sebuah wejangan tentang hidup Kanjeng Sunan Kalijaga yang berupa tembang atau macapat. Birahi ananireku, aranira Allah jati. Tanana kalih tetiga, sapa wruha yen wus dadi, ingsun weruh pesti nora, ngarani namanireki.
Artinya kurang-lebih seperti ini: timbullah hasrat kehendak Allah menjadikan terwujudnya dirimu; dengan adanya wujud dirimu menunjukkan akan adanya Allah dengan sesungguhnya; Allah itu tidak mungkin ada dua apalagi tiga. Siapa yang mengetahui asal muasal kejadian dirinya, saya berani memastikan bahwa orang itu tidak akan membanggakan dirinya sendiri.
Sipat jamal ta puniku, ingkang kinen angarani, pepakane ana ika, akon ngarani puniki, iya Allah angandika, mring Muhammad kang kinasih. Ada pun sifat jamal.
Sifat terpuji/mulia itu ialah sifat yang selalu berusaha menyebutkan bahwa pada dasarnya adanya dirinya karena ada yang mewujudkan adanya. Demikianlah yang difirmankan Allah kepada Nabi Muhammad yang menjadi kekasih-Nya.
Yen tanana sira iku, ingsun tanana ngarani, mung sira ngarani ing wang, dene tunggal lan sireki iya Ingsun iya sira, aranira aran mami.
Kalau tidak ada dirimu, Allah tidak dikenal/disebut-sebut. Hanya dengan sebab ada kamulah yang menyebutkan keberadaan-Ku; sehingga kelihatan seolah-olah satu dengan dirimu. Adanya Aku, Allah, menjadikan dirimu.
Baca juga:
- Dialektika Tradisi dan Intertekstual dalam Manuskrip
- Serat Tuhfah: Tembang Manunggaling Kawula Gusti di Jawa
- Lidah Orang Beriman Menurut Imam Al-Ghazali
Dzatku tauhid hidayat sireku, tunggal lawan Sang Hyang Widhi, tunggal sira lawan Allah, uga donya uga akhir, ya rumangsana pangeran, ya Allah ana nireki.
Tauhid hidayah yang sudah ada padamu, menyatu dengan Tuhan. Menyatu dengan Allah, baik di dunia maupun di akhirat.
Ruh idhofi neng sireku, makrifat ya den arani, uripe ingaranan syahdat, urip tunggil jroning urip sujud rukuk pangasonya, rukuk pamore Hyang Widhi.
Ruh idhofi ada dalam dirimu. Makrifat sebutannya. Hidupnya disebut syahadat (kesaksian), hidup tunggal dalam hidup. Sujud rukuk sebagai penghiasnya. Rukuk berarti dekat dengan Tuhan pilihan.
Sekarat tananamu nyamur, ja melu yen sira wedi, lan ja melu-melu Allah, iku aran sakaratil, ruh idhofi mati tannana, urip mati mati urip.
Penderitaan yang selalu menyertai menjelang ajal (sekarat) tidak terjadi padamu. Jangan takut menghadapi sakaratul maut, dan jangan ikut-ikutan takut menjelang pertemuanmu dengan Allah. Perasaan takut itulah yang disebut dengan sekarat. Ruh idhofi tak akan mati; hidup mati, mati hidup.
Liring mati sajroning ngahurip, iya urip sajtoning pejah, urip bae selawase, kang mati nepsu iku, badan dhohir ingkang nglakoni, katampan badan kang nyata, pamore sawujud, pagene ngrasa matiya, Syekh Malaya (Sunan Kalijaga) den padhang sira nampani, wahyu prapta nugraha.
Mati di dalam kehidupan, atau sama dengan hidup dalam kematian. Ialah hidup abadi. Yang mati itu nafsunya. Lahiriah badan yang menjalani mati. Tertimpa pada jasad yang sebenarnya. Kenyataannya satu wujud. Raga sirna, sukma moksa. Jelasnya mengalami kematian! Syeh Malaya (Sunan Kalijaga), terimalah hal ini sebagai ajaranku dengan hatimu yang lapang. Anugerah berupa wahyu akan datang padamu.
Kenal Allah, Tidak Takut Mati
Dari wejangan tersebut kita bisa lebih mengenal Li Robbil Alamin, dan seharusnya manusia tidak takut untuk menghadapi kematian. Di samping itu juga terdapat wejangan tentang bagaimana seharusnya semedi yang disebut “mati sajroning ngahurip” dan bagaimana dalam menjalani kehidupan di dunia ini.
Tembang-tembang tersebut bersifat dan bermakna dalam untuk menjelaskan tentang kehidupan makrifat. Namun Sunan Kalijaga juga mampu menyederhanakan tembang makrifati menjadi tembang dolanan yang tetap bermakna dalam secara makrifati dan filosofi, seperti Ilir-ilir yang terkenal itu.
Lir-ilir, lir-ilir Tandure wus sumilir Tak ijo royo-royo Tak sengguh temanten anyar.
Saat yang tepat untuk menyambut pengantin baru, kita inilah mempelai baru itu, yang siap dan akan dikawinkan dengan kekasih kita tercinta, yakni Tuhan semesta alam. Istilah perkawinan ini penggambaran yg paling tepat dari manunggaling kawula gusti, dan sangat lazim digunakan di kitab-kitab agama samawi.
Cah angon, cah angon penekna blimbing kuwi Lunyu-lunyu penekna kanggo mbasuh dodotiro.
Permintaan tolong pada seorang gembala untuk memetik buah belimbing. Walaupun susah permohonan itu terus dimintakan gembala. Pemahaman bait ini lebih kepada makna muthasabiat, yakni menggambarkan sosok juru selamat, guru mursyid ataupun rasul.
Belimbing adalah sebuah simbol pengetahuan tentang ilmu ketuhanan. Sangat tepat jika permintaan tolong itu dimintakan pada mereka, karena merekalah yang pegang kuncinya.
Dodotiro, dodotiro Kumitir bedhah ing pinggir Dondomana, jlumatana. Kanggo seba mengko sore.
Ini lebih pada penggambaran tentang tubuh yg fana, seperti “wanita” atau sapi betina (al-Baqarah). Muncul opini bahwa hal ini adalah diskriminasi pada wanita, karena kurangnya pemahaman pada makna-makna tersebut. Hal yang berkias dibaca harfiaj, yg mukhamat dibaca muthasabiat, maknanya jadi kebalik-balik.
Bait ini menggambarkan pakaian yang sudah sobek-sobek dan dalam proses penjahitan lagi karena akan dipakai untuk pesta nanti. Ya, ini tentang gambaran diri kita, yang kotor, kumuh, kucel. Maka perlu pembersihan untuk sekedar pantas menyambut “hari Tuhan”, pertemuan itu.
Mumpung padhang rembulane mumpung jembar kalangane. Yo surak’a, surak hore.
Mumpung waktu dan kesempatannya masih ada dan terbuka, tunggu apa lagi, mari kita berpesta, bersorak, dan bergembira.
Wawasan tentang wejangan ini dijelaskan sebagai berikut. Bait pertama Lir Ilir berarti tumbuhnya iman dan makrifat yang dalam kitab Alhikam karya Ibnu Athaillah diibaratkan sebagai datangnya hari raya atau kehidupan baru, ketika manusia kembali dalam keadaan nol.
Bait kedua, “cah angon……..dst” maksudnya adalah, menjadi pemimpin itu seyogyanya seperti penggembala, yaitu berada di posisi belakang dan mendahulukan gembalaannya.
“Penekno blimbing kuwi…….dst”: belimbing mempunyai lima larit, dalam artian, untuk sampai ke maqom hakikat, tetap harus melalui maqom syariat. Sehakikat-hakikatnya manusia tetap tidak boleh meninggalkan syariat.
Bukankah Nabi Muhammad SAW sebagai orang yang paling tinggi derajat ruhaninya tetap melaksanakan syariat. Karena syariat ibarat lautan.
Bait ketiga “dodotiro…….” maksudnya adalah, bahwa dalam maqom atau wilayah/tataran fana (sirno saking mahluq lebur marang Allah) biasanya seseorang dalam kondisi majdzub, atau yang istilah fikih tetap disebut dengan junun. Dalam tataran inilah kemudian muncul istilah sufi yang kontroversial, yaitu manunggaling kawulo ing Gusti.
Sebenaranya istilah ini hanya merupakan sebuah cetusan ilustrasi dari seorang salik akan hilangnya kesadaran diri tentang “aku” (laa anaa illa huwa) atau lebih dekat lagi laa anaa illa anta/fana’ fillah.
Maqom fana ini bukan tataran puncak, karena masih ada lagi atasnya, untuk menyempurnakan tataran ini, yaitu maqom baqo, yang merupakan kembalinya kesadaran seorang salik akan kehambaannya (hamba adalah hamba, Tuhan adalah Tuhan).
Maqom baqo‘ ini oleh Imam Ghozali juga disebut dengan (fanaa’ul fanaa’). Hilangnya sifat kedirian, sekaligus kembalinya kesadaran akan sifat hamba.
Bait ke empat “mumpung padhang rembulane……” artinya mumpung masih banyak guru/syaikh yang membimbing, maka jangan sia-siakan kesempatan ini.
Wali yang Seniman
Dalam berdakwah, Sunan Kalijaga memiliki pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung “sufistik berbasis salaf” – bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Dia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.
Kalijaga sangat toleran pada budaya lokal. Dia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil memengaruhi.
Sunan Kalijaga berkeyakinan, jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang. Tidak mengherankan, ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah.
Beberapa lagu suluk ciptaannya yang populer adalah Ilir-ilir dan Gundul-gundul Pacul. Dialah penggagas baju takwa, perayaan sekatenan, garebeg maulud, serta lakon carangan Layang Kalimasada dan Petruk Dadi Ratu (Petruk Jadi Raja).
Lanskap pusat kota berupa kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini pula dikonsep oleh Sunan Kalijaga. Metode dakwah tersebut di atas sangat efektif beliau lakukan di tanah Jawa ketika itu hingga sekarang ini.
Sebagian besar adipati di Jawa memeluk islam melalui Sunan Kalijaga. Diantaranya adalah Adipati Pandanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang.
Sunan Kalijaga merupakan wali yang paling populer ditanah Jawa disamping Syeh Siti Jenar. Ayahnya adalah Arya Wilatikta adipati Tuban. Nama Kalijaga terkait dengan tradisi wali.
Juga sering dikaitkan dengan nama sebuah desa Kalijaga di Cirebon. Kalangan Jawa mengkaitkannya dengan kesukaan wali ini untuk berendam (berjaga, kungkum) di sungai (kali) atau “jaga kali”.
Sunan Kalijaga merupakan salah seorang perancang Masjid Agung Cirebon, dan Masjid Agung Demak. Tiang “tatal” (pecahan kayu) yang menjadi salah satu tiang utama mesjid merupakan kreasinya.