Sedang Membaca
Kiai Ali Maksum: Soko Guru Para Tokoh Nasional Abad 21
Anwar Kurniawan
Penulis Kolom

Santri Pesantren Sunan Pandanaran, Jogjakarta. Meminati kajian Islam dan kebudayaan.

Kiai Ali Maksum: Soko Guru Para Tokoh Nasional Abad 21

Ketika Gus Dur Menulis Kiai Ali Maksum

Tersebutlah seorang ahli ilmu-agama bernama Kiai Ali Maksum (w. 1989)—Allah yarham. Bagi kalangan Nahdliyin (NU) dan sebagian besar warga pesantren di Indonesia mendiang Kiai Ali ini terhitung cukup populer. Kiprah dan perjuangannya pun menjadi referensi para Kiai dan sejumlah tokoh bangsa ini. 

Kendatipun bagi saya dan mungkin generasi milenial lainnya hanya mendapati Kiai Ali lewat ceramah keagamaan, internet, ceramah keagamaan yang disiarkan ulang di internet, atau penuturan langsung yang diwariskan oleh para saksi hidup perjuangan beliau serta hasil penelitian para akademisi yang menelisik gubahan Kiai Ali. 

Lahir di Lasem, 2 Maret 1915 Ali muda dikenal cerdas dan kutu buku. Apapun buku dibaca olehnya. Gurunya, Syekh Dimyati Tremas sama sekali tidak khawatir dengan berbagai bacaan Ali muda, sebab tahu bahwa sang murid sudah kuat pondasi ilmunya. 

Hal senada juga terdapat dalam catatan Majalah Bangkit (April, 2013), bahwa Kiai Ali dikenal moderat dalam berpikir dan bisa merangkul semua kalangan. Karena domisili di kota pelajar, Yogyakarta, Kiai Ali bukan hanya menjalin silaturahmi dengan para kiai, tetapi juga akademisi. 

Bahkan, beliau tercatat pernah menjadi dosen di IAIN Sunan Kalijaga, saat itu. Dari sini, menjadi mafhum jika Kiai Ali mempunyai ketegasan dan kecermatan sekaligus keluwesan dalam membangun jaringan antar ulama dan intelektual. 

Baca juga:  Bagaimana Imam al-Qusyairi Menafsirkan Nahwu dalam Dunia Tasawuf?

Watak moderat dan bisa merangkul ini nampaknya diwarisi oleh para murid Kiai Ali. Maka wajar saja jika beliau juga dikenal sebagai salah satu aktor intelek-sprititual di balik tokoh-tokoh nasional kenamaan seperti KH. Abdurrahman Wahid (Kiai-Presiden ke-4 RI), KH. Mustofa Bisri, KH. Said Aqil Siradj, KH. Malik Madani dan masih banyak lagi. Kiai Asyhari Abta (2019), santri Kiai Ali yang kini menjadi Mustasyar PWNU D.I. Yogyakarta  menyebut, bahwa Kiai Ali adalah orang yang sangat mencintai ilmu dan sangat egaliter.

Konon, Kiai Ali juga punya perpustakaan dengan ragam buku dan kitab-kitab klasik maupun kentemporer di Pesantren Krapyak Yogyakarta. Di dalam perpustakaan itu terpampang jelas sederet kalimat bertuliskan “oleh diwoco, haram digowo” (boleh dibaca tapi tidak boleh dibawa). 

Dalam penuturan Kiai Said Aqil Siradj (2015), senarai kata itulah yang menjadi “CCTV” perpustakaan. Perpustakaan itu bebas diakses 24 jam, namun pada saat yang bersamaan tidak ada petugas resmi yang mengawasi kecuali rangkaian kalimat tersebut. 

Secara sederhana, semangat literasi Kiai Ali ini menegaskan satu signifikansi spesifik: bahwa para santri jangan sampai “menutup mata”. Santri harus melek peradaban. Apalagi menghadapi situasi hari ini dengan tantangan global yang semakin tidak menentu. 

Baca juga:  Kompleksitas Pribadi Gus Dur, Antara Kehendak dan Determisme Lingkungan

Pada titik ini, saya jadi terngiang dengan sentilan Gus Dur tentang semangat kosmopolitanisme peradaban Islam. Melalui semangat itulah watak-watak Islam yang terbuka, toleran, moderat, dan menghargai keragaman manusia mampu mencari jati diri umat Islam dalam merumuskan sebuah peradaban agung.

Ya, peradaban yang lahir dari para arsitek masa depan Islam dalam mencipta ragam keilmuan lintas disiplin; ada fisikawan, astronom, dokter, filosof, dan sebagainya. 

Dengan kata lain, kendatipun mereka menguasai ragam keilmuan yang terbentang luas, pada saat yang sama para intelegensi Muslim itu juga terbukti menjadi agamawan yang hafal Alquran, hadis, ahli tafsir, ahli fiqih, dan bahkan ahli tasawuf. Nama-nama sekaliber al-Ghazali, al-Kindi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, dan lain-lain setidaknya menandaskan hal itu.

Sayangnya, upaya untuk senantiasa menggelorakan semangat kosmopolitanisme peradaban Islam itu juga beriringan dengan gerakan kontra produktif yang penuh curiga. 

Akibatnya, ada semacam batasan imajiner yang sengaja dipropagandakan secara dramatik dengan asas pra-duga penodaan akidah. Kasus tentang seorang ustaz yang menggugat karya arsitektur gara-gara mengandung unsur segitiga beberapa waktu lalu misalnya, adalah salah satu bukti ironi tersebut.

Padahal, agama sendiri menyuruh kita pintar, bukan tidak menggunakan akal. Islam misalnya, firman Iqra’ sebagai wahyu yang pertama kali turun rasa-rasanya juga tidak kurang tegas menyatakan diktum bahwa Islam itu menyuruh kita untuk cakap dalam menggunakan akal sebagai anugerah yang telah diberikan Tuhan kepada manusia. 

Baca juga:  Mengenal Muhammad Zekki, Gen Z dari Madura di Tanah Suci

Juga, dikuatkan dengan sabda fajtahidu-nya Kanjeng Nabi Muhammad yang menghimbau supaya Muadz bin Jabal memutuskan perkara sesuai dengan kondisi yang ada dengan berijtihad. Jika benar maka akan ada dua ganjaran, dan jika keliru baginya satu kebaikan. 

Maka, semakin kentara bahwa semangat kosmopolitanisme peradaban Islam yang telah diwariskan Kanjeng Nabi dan para pemikir Islam itulah yang harus tetap bergelora sepanjang masa. Wa bil khusus umat Islam Indonesia. 

Bukankah sebagai bangsa dengan populasi muslim terbesar semestinya kita menjadi aktor yang berperan aktif mewujudkan jejak kosmopolit tersebut?

Yakni, dengan mengusung spirit keterbukaan lintas peradaban, sehingga lahir sebuah paradigma baru yang kritis, progresif, dan visioner di samping menanti kehadiran sosok-sosok generasi masa depan yang, dalam bahasa sejarawan terkemuka, Arnold J. Toynbee dikatakan sebagai minoritas kreatif. Sebab, di tangan kaum minoritas kreatif inilah nantinya jarum sejarah peradaban dunia akan berubah. (aa)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top