Ada berbagai pertanyaan yang mengganjal yang perlu jawaban radikal di usia kemerdekaan Indonesia ke 75 tahun ini. Mengapa Indonesia sulit keluar dari cengkeraman feodalisme, korupsi, dan oligarki?
Banyak jawaban yang sudah diberikan oleh para ahli, di antaranya adalah warisan tradisi Jawa atau tradisi Nusantara pada umumnya dan dominasi agama yang masih kuat dalam pergulatan sosial dan kenegaraan. Keduanya menurut analisis ini mengandung tradisi feodalisme dan oligarki yang masih tertanam hingga kini.
Cara melihat seperti itu, menurut saya disebabkan salah dalam membaca sejarah kemerdekaan Indonesia. Dalam perspektif itu, sejarah kemerdekaan Indonesia hanya dilihat dari awal abad XX atau paling banter akhir abad XIX. Saat itu ketika paham bernegara sudah tersekularisasi dan termodernisasi. Awal abad XX sesungguhnya hanyalah ujung dari perjuangan kemerdekaan yang menekankan pada persatuan bagi terbentuknya Negara Republik Indonesia. Sedangkan perjuangan kemandirian dan kemerdekaan atau hak hidup mandiri, hak berkebudayaan, hak kepemilikan harta rakyat, dan hak untuk tidak dijajah sudah terjadi jauh sebelumnya.
Paling tidak harus kita catat sekularisasi dan modernisasi dalam berpemerintahan dan karena itu juga bernegara telah diakselerasi di era Herman Willem Daendels di tahun 1808 setelah sebelumnya terbentuk Pemerintahan Hindia Belanda (PHB) pada 1 Januari 1800, menggantikan VOC yang dibubarkan 31 Desember 1799 karena bangkrut akibat korupsi dan meninggalkan hutang menggunung. Inilah titik tolak yang seharusnya dipakai untuk menulis sejarah perjuangan kemerdekaan RI. Dari situlah sistem pemerintahan dan negara modern dibangun dengan cara menindas rakyat dan menelikung Sultan dan Kesultanan dengan penerapan sekularisme tuntas. Jadi sistem sekular atau sekularisme dan modernsiasi inilah awal dari sistem yang bagian-bagian terpenting darinya masih tersisa hingga kini dan menjadi penghalang utama bagi perubahan-perubahan yang lebih adil, setara dan merata.
Apa yang terjadi pada modernisasi yang dilakukan oleh Gubernur Jenderal Daendels (Prancis) yang kemudian dilanjutkan secara lebih eksesif oleh Raffles (Inggris) dan kemudian Gubernur Jendral Belanda berikutnya. Daendels mengkrangkeng Sultan dengan tidak boleh berpolitik tetapi kehidupannya dijamin. Jika Sultan menentang kebijakannya maka akan dibuang atau bahkan dibunuh. Jadi Sultan dipotong hubungannya dengan Rakyat. Sultan HB III, ayah dari Pangeran Diponegoro, misalnya, merasakan dibuang ke Pinang dan memaksakaan pergantian oleh Adik termudanya. Oleh Raffles dia dikembalikan dan dengan membatalkan Sultan muda, tetapi kemudian diberi sanksi lagi karena penentangannya. Raffles adalah orang Eropa yang paling bringas, menyerang Kraton Yogya dengan pasukan sambil merampok harta benda dan perempuan.
Yang lebih penting dari kebijakan itu adalah bahwa seluruh tradisi Kesultanan diambil alih atas nama modernisasi, dari feodalisme dan oligarki hingga setoran-setoran rakyat kepada Sultan dan Kesultanan diambil alih dengan tradisi yang sama tetapi dengan perangkat modern militeristik. Gotong royong, kerja yang semula bersifat sukarela tanpa bayaran kepada para pejabat lurah hingga Sultan, yang semula merupakan hegemoni raja atas rakyat kemudian dimiliterisasi. Demikian juga persembahan dari rakyat kepada Sultan kemudian dikontrol secara dan oleh militer. Inilah modernisasi yang dilakukan oleh Daendels dengan tujuan eksploitasi untuk setoran kepada negara pusat, kolonial.
Daendels juga mengganti semua pejabat residen dan wakil residen, yang semula adalah tangan kanan Sultan, menjadi seluruhnya dipegang orang Belanda yang dikontrol oleh Gubernur Jenderal di Batavia. Hanya Bupati dan wakil ke bawah yang masih disediakan untuk pribumi. Dalam waktu yang sama, Daendels menciptakan suatu kelas sosial baru yang kemudian belakangan disebut priyayi. Yaitu Bupati ke bawah yang tugasnya melaksanakan perintah dan target oleh Gubernur Jendral yang diawasi dan dikawal oleh residen. Mereka juga dibiarkan untuk berlaku melampaui aturan untuk kepentingan sendiri, menjadi penindas berkulit warna atau merangkap centeng.
Studi-studi Sartono Kardodirdjo, misalnya, telah mengungkap bahwa tidak ada peran tokoh atau lembaga yang menampung aspirasi atau keluhan rakyat tertindas masa itu kecuali para pemimpin tarekat, para kyai dan pesantren. Karena itu tugas para priyayi disamping mengawasi rakyat dalam target kerja dan gerak-gerik politik juga mengawasi para pemuka agama ini. Sejak itu antara priyayi dan kyai memang terjadi kesenjangan kalau bukan ketegangan. Dari sanalah sesungguhnya berbagai pemberontakan terjadi dimana dan yang terbesar adalah pemberontakan Pangeran Diponegoro. Pemberontakan itu di samping didukung oleh rakyat juga oleh para kyai, pemimpin tarekat dan sebagian besar pejabat yang anti penjajahan. Namun, oleh para akademisi, pemberontakan-pemberontakan itu diteorisasikan sebagai semata Mahadisme atau atau Ratu Adil yang seolah-olah semata-mata mistik yang dianggap tidak bersentuhan dengan riil penindasan dan eksploitasi.
Siapakah Daendels itu? Dengan mudah bisa dilacak dalam berbagi literatur. Dia adalah satu-satunya tentara berpangkat jenderal berkebangsaan Belanda di pasukan Prancis yang menjajah Belanda sejak 1789 sebagai bagian dari Revolusi Prancis. Namun saat itu dibiarkan sebagai Republik hingga Napoleon Bonaparte mengklaim diri sebagai Rajadiraja dengan menunjuk adiknya sendiri, Louis Bonaparte sebagai Raja Belanda pada 1806 dan sekaligus mengubah bentuk negara menjadi kerajaan Belanda. Kedudukan apa yang bisa menunjuk seorang raja di negara orang lain dengan keluarganya sendiri?
Nah, Daendels adalah fotocopy mini dari cara berkuasa Napoleon ini. Iya praktis menjalankan suatu sistem pemerintahan yang disebut Napoleonic. Ciri-cirinya antara lain, membiarkan suatu konstitusi berbunyi sesuai aslinya tetapi apa yang dijalankannya bisa bertentangan dengannya –dia membiarkan konstitusi Prancis hasil Revolusi tetapi dia menjalankan sesuatu yang bertentangan. Feodalisme dihapus dalam revolusi Prancis tetapi dia menciptakan feodalisme baru yang berpusat pada dirinya sendiri. Konstitusi Belanda berbunyi Republik tetapi dia kirim adiknya menjadi Raja.
Daendels meniru plek apa yang dilakukan oleh Napoleon tersebut, mulai dari sistem birokrasi yang terpusat dan langsung dikontrol oleh pusat (oleh Napoleon pada kasus negeri Belanda, oleh Gubernur Jendral dalam kasus Jawa), militeristik dan mobilisasi anak muda untuk menjadi sukarelawan perang, fungsi polisi mengawasi rakyat, hingga pembangunan infrastruktur seperti kasus jalan raya pos Anyer–Panarukan yang menelan korban puluhan ribu jiwa dalam setahun, pemaksaan rakyat untuk kerja paksa. Jadi pembanguan jalan raya pos tersebut bukan untuk mempermudah rakyat melainkan untuk fasilitasi militer melawan agresi Inggris dan mengangkut komoditi ekspor hasil kerja paksa rakyat untuk tujuan menutup utang menggungung dari VOC dan perang Belanda/Prancis melawan Inggris.
Daendels juga mewariskan tradisi korupsi. Dia menjual berbagai harta negara untuk memperkaya diri serta melanjutkan tradisi pewarisan jabatan berdasar keturunan karena tidak mau dipersulit melawan tradisi. Hampir seluruh studi dalam banyak aspek, birokrasi, mobilisasi tentara, mobilisasi kerja dan tanam paksa kemudian dilakukan dengan mengabsorbsi tradisi Jawa yang ada dan bukan memperbaharuinya sebagaimana dibayangkan sebuah proses modernisasi.
Jadi, seluruh aspek negatif yang sering dianalisis oleh para Indonesianis tentang kultur Jawa atau Nusantara yang dianggap bertentangan dengan demokrasi dan korupsi, feodalisme dan oligarki seluruhnya sudah diabsorbsi ke dalam sistem modern yang didasarkan pada sekularisme. Jadi, saya ingin mengatakan asal-usul dan sumber dari kekuasaan yang dihadapi oleh masyarakat dan negara Indonesia sekarang ini adalah sekularisme dan modernisasi yang dibangun saat itu dan belum berhasil keluar darinya (Silahkan dibaca artikel Peter Carey dalam foto, Carey juga menulis asal-usul Perang Jawa dengan nada yang sama dan menjadikan Perang Diponegoro sesungguhnya menjadi titik picu penyatuan Nusantara menjadi Indonesia merdeka).
Ketika Ben Anderson dan Soemarsaid Moertono membahas tentang kultur kekuasaan Jawa, terutama yang bertentangan dengan Barat modern seolah keduanya sedang membersihkan modernitas dari keburukan yang ada di dalam kultur Jawa. Bahkan sebuah disertasi mutakhir tahun 2012 di University of Sussex, UK yang membahas tentang korupsi dalam perdukunan caleg dalam pemilu 2008 masih menempatkan tradisi Jawa ini sebagai biangkorak dengan mendasarkan pada teori kedua penulis legendaris tersebut. Tetapi pelacakan yang seksama dari 1 Januari 1800 dan akselerasi Daendels jelas bahwa dimensi negatif dari kultur itu telah diserap atau diabsorbsi ke dalam sistem modern Indonesia oleh Barat/Belanda yang sekuler dan modern.
Tradisi Jawa (etika dan etiket) di dalam Kraton dan Kesultanan yang diokupasi oleh PHB inilah sesungguhnya yang ditentang oleh gerakan Pangeran Diponegoro dan didukung oleh rakyat dan kyai, juga sebagian pejabat. Jadi ada tarik menarik dalam klaim tradisi Jawa, antara korupsi dan menindas dan feodal sebagaimana dipraktikkan oleh kolonial yang didukung oleh Patih Daruredja IV ketika itu dan yang dijalankan oleh Pangeran Diponegoro dengan membela rakyat yang ditindas dan menentang korupsi? Carey telah menulis khusus tentang sejarah korupsi ini dalam buku khusus.
Apakah dengan demikian alternatifnya adalah agama? Tergantung agama yang bagaimana. Agama yang ideologis yang lahir awal abad XX atau akhir XIX umumnya sudah berupa respon terhadap ideologisasi sekularisasi Barat, baik dengan cara menerima maupun menolak dengan alasan idelogis yang sama. Berbeda dengan tradisi agama sebelum abad itu setidaknya di era Pangeran Dipoenogoro dan sebelumnya, agama mendasarkan pada hak bertradisi dan hak berkuasa serta hak berkebudayaan, juga melawan korupsi ada penidasan. Agama alternatif seperti inilah yang diperlukan sekarang.
Pasca penangkapan Pangeran Diponegoro diberlakukan cultuurstelsel atau cultivate system yang bukan hanya menghancurkan ekonomi dan politik melainkan seluruh kebudayaan dan tradisi agama. Seluruh pendukung Pangeran Diponegoro dihabisi dan disingkirkan dan rakyat ditindas sehabis-habisnya. Untuk menghidupkan cultivate system PHB meneruskan kelas priyai atau centeng tersebut. Orang yang sekularis tidak akan merasakan penghancuran ini karena bagi mereka agama adalah masalah private dan agama yang publik harus diberantas.
Politik etis hanyalah fasilitasi terhadap kelas priyayi hingga kemerdekaan. Paca kemerdekaan hingga kini kelas priyayi inilah yang menguasai negara. Salah satu elemen pendukung Pangeran Diponegoro yaitu para kyai desa dan pesantren baru diikutkan dalam proses politik pada era Jepang. Karena itu ketika kemerdekaan, secara kategorial sesungguhya berhadapan antara agama (mereka yang tertindas) dan mereka yang sekuler (penindas) sebagai sebuah sistem. Memang orang-orag sekuler seperti Sukarno Hatta sangat terbuka dengan pilihan bentuk negara namun keputusan akhir dari sistem negara diputuskan di luar sidang resmi.
Kemerdekaan Indonesia 17 Agutus 1945 adalah “pemindahan kekuasaan” sedangkan KMB 1949 adalah “pengakuan kedaulatan.” Namun hal itu tidak ada jaminan bahwa sistem pemerintahan lepas dari sistem yang telah dibangun sejak 1808 tersebut. Seluruh sejarah Indonesia 75 tahun adalah proses negoisasi antara kelompok agama dan sekuler dengan segala variasi ketegangan dan rekonsiliasi.
Kini, bagi saya, Indonesia sesungguhnya sudah berubah dari 1945, dari negara yang berat-sekuler ke negara yang berat-agama dalam kehidupan sosial politik dan pemerintahan atau agama publik meskipun sama-sama didasarkan pada Pancasila. Tetapi agama yang terbirokratisasikan atau tersekulerkan di abad XX. Sambil terus menjalani negosiasi dan memperhatikan peran agama yang tampak akan makin tebal maka agama juga perlu dicari bentuknya yang kontekstual dan itu adalah agama (Islam) yang mentradisi di Nusantara. Perlu makalah tersendiri untuk ini.
Maka refkeksi ini saya akhiri di sini.
Rumbut Bawah 16 Agustus 2020