Modernisasi pesantren tidak akan lepas dari sosok Raden Imam Zarkasyi, atau Kiai Imam Zarkasyi Gontor. Salah satu dari Trimurti Pondok Pesantren Darussalam ini menarik banyak spekulasi terhadap pemikiran pembaharuan pendidikannya.
Kelahiran KMI (Kulliyyatul Muallimin Islamiyah) pada 1936 adalah atas prakarsa keturunan Kiai Kasan Besari ini. Meski lahir dari kawasan ‘merah’ alias pedalaman bagian selatan Jawa, tidak lantas membuat dia selalu dikerubuti semut-semut klenik dan kemenyan.
Alih-alih, Zarkasyi justru merupakan bagian dari kiai pengusung rasionalisme Islam, dan memilih jalan damai dengan kalangan tradisionalis dan kosmologi Jawa, ponorogo. Kita tahu, Ponorogo merupakan kawasan Warog dan Reog yang sampai sekarang masih melanggengkan tradisi ala Sri Bathara Katong, putra Sunan Lawu Brawijaya V, berupa ritual-ritual mistik kejawen.
Zarkasyi lahir dari keluarga petani di Gontor pada 19 Maret 1910 dan wafat pada 30 April 1985 sebagai anak bungsu dari tujuh bersaudara. Anak ragil ini sejak usia delapan tahun ditinggal wafat sang ayah.
Meski bergelar Raden yang menunjukkan beliau berasal dari keluarga bangsawan, tidak membuat kehidupannya enak, serba cukup sebagaimana keumuman yang dialami para priyai Jawa.
Ayahnya, Kiai Raden Santoso Anombesari hanya meninggalkan beberapa petak sawah dan tegalan sebagai warisan buat tujuh bersaudara (Hery Noer Aly bin Sanusa, 2008: 33). Ahok mantan gubernur DKI Jakarta pengganti Jokowi ini pernah berkata, “Kalau mutiara, meskipun diceburkan kubangan kerbau tetap akan jadi mutiara”. Kiranya, hal tersebut juga berlaku kepada Zarkasyi pengagum Ibnu Rushd ini (w.1126).
Zaman itu, Zarkasyi mungkin bagian dari sedikit cendekiawan pesantren yang melembagakan pikiran-pikiran Averos dalam kurikulumnya. Kurikulum-sebagai sumber daya sekolah nonmanusia dalam perspektif manajemen sumber daya sekolah- adalah aspek penting bagi sebuah pendidikan. Sejak KMI berdiri, Gontor bergerak tidak seirama dengan model dan pola yang dikembangkan pesantren-pesantren salaf lain, yang secara teologis merupakan pengkaji Asy’ari-Ghozali mainstream.
Justru, beliau memilih gerbong rasionalis yang berkembang dari negeri piramida, Mesir, Muhammad Abduh, sebagai tokoh yang dikaji. Tentu Ibnu Rushd merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam tradisi pembelajaran dan pengajaran di Gontor.
Zarkasyi adalah seoarang pengajar ilmu logika dan filsafat di Pesantren Gontor sepanjang hayatnya. Bahkan, kata Mukti Ali, Logika dan Filsafat adalah mata pelajaran pokok bagi santri Gontor kelas atas. Maka tidak aneh, jika kemudian dari hasil penelitian Supriyadi Ahmad, di Gontor masa lalu terdapat karangaan Risalah Tauhid oleh M Abduh, Tafsir al-Manar Rasyid Ridha.
Zarkasyi sebagai pengikut Rush atau Rushdian tidak lantas berubah menjadi averoisme dzohir dan batin. Beliau hanya ingin menyuntikkan serum-serum rasio dalam memahami dogma-dogma agama yang terlampau kaku dan disakralkan. Hal tersebut dilakukan Zarkasyi dengan menjadikan kitab “Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid fil Fiqh” karangan Ibnu Rushd sebagai mata pelajaran wajib. Fikih perbandingan Madzhab tersebut menjadi mata pelajaran sekolah tingkat atas dua dan tiga (Supriyadi Ahmad, 2007: 21).
Sebagai seorang filsuf, Ibnu Rush ialah Kiai asal Spanyol yang getol mengawinkan agama dan filsafat dalam mahligai keharmonisan. Artinya, apa yang Kiai Rush gelorakan ini merupakan bintang penuntun yang makin dikecam pada masanya. Sebab, Kiai Rush pernah dipenjara oleh seorang penguasa di tempat tinggalnya gara-gara menyebarkan pikiran-pikiran (skolastik) dari Yunani.
Tidak hanya fisiknya di penjara, pikiran dan ide sang Kiai ikut serta dihabisi. Atas nama agama lagi, buku-buku karangan Kiai Ibnu Rushd yang telah tersebar di Andalusia dan Maroko disensor dan dibakar oleh rakyat dan negara.
Peristiwa kelam ini terjadi pada masa khalifah Andalusia, al-Mansur ibn Ya’qub atas desakan fuqoha hanya karena “filsafat dianggap racun agama” (Ahmad Amin, 2001: 194).
Sang penguasa tidak hanya menggunakan, kata Louis Althusserian (1918-1990), ISAs (ideological state apparatus) seperti keluarga, media, organisasi agama, dan sistem pendidikan, tapi juga RSAs (repressive state apparatus) seperti hukum, penjara, dan kekuatan tentara guna melenyapkan, mendominasi dan menghegemoni pikiran-pikiran Kiai Rush. Tragis memang!
Tentu saja, hal tersebut tidak berlaku terhadap Raden Imam Zarkasyi selaku pengkaji Ibnu Rushd, dan santri-santrinya. Karena, kajian seputar fikih merupakan wacana dominan di kalangan pesantren masa lalu, bahkan hingga sekarang. Akan tetapi pola muqoronah dalam mengajarkan kepada santri melalui karya Ibnu Rushd merupakan strategi jitu membuka kedewasaan dan toleransi pikiran dan sikap terhadap berbagai perbedaan furu’iyah, dan bahkan ushuliyah sekalipun, seperti toleransi antarumat beda agama.
Atas kegigihan beliau dalam mengkaji dan memperkenalkan karya Ibnu Rush kepada santrinya, layakkah kita menyebut Imam Zarkasyi sebagai Rushdian? Wallahu a’alam!