Sebagaimana Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 10 Tahun 2013 tentang Hari Musik Nasional, maka untuk kali pertama dihelat peringatan bernama Hari Musik Nasional pada 9 Maret 2013, semasa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sejak itu, orang-orang “merayakannya”, saban 9 Maret.
Sejatinya, sebagaimana dijelaskan Sekjen Persatuan Artis Pencipta Lagu dan Penata Musik Rekaman Indonesia (PAPPRI), Johnny Maukar, rencana penetapan Harmusnas telah disusun sejak tahun 2003, di era Presiden Megawati Soekarno Putri, atas usul dan inisiasi PAPPRI.
Oleh karenanya, PAPPRI, saat itu, sangat menyambut baik turunnya Keppres tersebut. Tantowi Yahya,Duta Besar Indonesia untuk Selandia Baru, yang saat itu menjabat sebagai Ketua Umum PAPPRI dan anggota DPR RI, sangat mensyukuri penetapan Harmusnas.
“Sepuluh tahun kita berjuang dan akhirnya berhasil, ” kata Johnny Maukar di Jakarta.
Harmusnas mempunyai tujuan mulia, yaitu untuk meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap musik nasional, meningkatkan kepercayaan diri dan motivasi pegiat musik Indonesia, serta meningkatkan prestasi pada tingkat nasional, regional, dan internasional.
Oleh karenanya PAPPRI menganggap penetapan hari musik nasional sebagai bentuk perhatian pemerintah terhadap kontribusi para praktisi musik Indonesia sejak era pra kemerdekaan. Bahwa sempat terjadi perdebatan ihwal tanggal yang paling sahih sebagai tetenger kelahiran WR. Supratman, itu adalah dua hal yang berbeda.
Sebuah versi meyakini, WR. Supratman, pencipta lagu Kebangsaan Indonesia Raya, tercatat lahir di Meester Cornelis (Jatinegara) Jakarta, 9 Maret 1903. Paling tidak demikian pengakuan kakaknya, Roekijem. Meski Pengadilan Negeri Purworejo pada 29 Maret 2007 telah mengoreksi keterangan lahirnya WR Supratman, dengan menyebut lahir pada 19 Maret 1903.
Memperingati dan atau Merayakan
Apapun itu, Keppres tersebut, menerangkan jika musik adalah ekspresi budaya yang bersifat universal dan multi dimensional yang merepresentasikan nilai-nilai luhur kemanusiaan, serta memiliki peran strategis dalam pembangunan nasional. Oleh karenanya Harmusnas perlu dirayakan.
Menurut Aldo Sianturi, Chief Operating Officer (COO) Billboard Indonesia, perayaan Harmusnas harus dirayakan karena musik punya peran penting di dalam kehidupan manusia. “Musik selalu hadir dengan lentur di beragam peristiwa dalam melengkapi emosi yang terhimpun. Adalah sebuah kewajaran untuk menghargai musik dan dunianya walau cuma sehari,” kata Aldo Sianturi.
Meski menurut Eric Martoyo, vokalis dan motor utama grup band Montecristo, Harmusnas seharusnya tidak dirayakan, tapi cukup diperingati.
“Saya lebih suka menggunakan kata “memperingati” dari pada “merayakan”. Perbedaannya adalah “merayakan” memiliki makna dangkal, yaitu sekedar selebrasi, sedangkan “memperingati” lebih bersifat kontemplatif,” kata musisi yang tinggal di kota Semarang itu.
Lalu siapa yang harus berkontemplasi di Harmusnas? Menurut Eric Martoyo semua pemangku kepentingan. Dari musisi, yang berkontemplasi untuk bisa menciptakan lagu yang bermutu, baik secara musikal maupun untuk menyampaikan pesan dalam lirik.
“Musisi boleh saja berkompromi dengan pasar tetapi harus tetap punya tanggung jawab sosial untuk menyebarkan narasi positif,” kata pemilik album Celebration Of Birth (2010) dan A Deep Sleep (2016) itu.
Selain musisi, pelaku Industri juga harus turut berkontemplasi. Untuk tidak hanya mementingkan bisnis tetapi juga mengarahkan selera masyarakat supaya menjadi lebih apresiatif.
Selain itu, pemerintah juga harus melakukan hal yang sama. Berkontemplasi untuk membuat kebijakan yang kondusif dalam memajukan perkembangan musik Indonesia.
Tujuannya bukan hanya sekedar bertahan dari serbuan musik asing atau menjadi tuan rumah di rumah sendiri, “Tetapi harus ekspansif ke dunia internasional. Kita punya modal besar untuk itu,” imbuh Eric Martoyo.
Oleh karenanya, keberadaan Harmusnas bagi ekosistem musik Indonesia kecuali selebrasi belaka, menjadi pertanyaan penting. Menimbang bangsa ini gemar melakukan selebrasi, tapi cenderung menihilkan esensi.
Melakukan pendekatan esensi terhadap peringatan hari apapun, menurut Eric sangat penting. Yaitu dalam rangka berkontemplasi terhadap apa yg sudah, sedang dan akan dilakukan demi kemajuan musik Indonesia.
Hal senada diamini Aldo Sianturi, mantan Managing Director Aksara Record dan tercatat 20 tahun berkecimpung dalam industri musik. Menurut Aldo, sejatinya Harmusnas itu penting sekali bagi ekosistem musik Indonesia. Namun tidak boleh hanya dipergunakan sebagai panggung politik dan urusan monetisasi belaka.
“Hari Musik Nasional seharusnya menjadi Program Nasional yang setiap tahunnya memiliki tema khusus yang bertujuan untuk menciptakan kesadaran dan pemahaman berjenjang atas pendidikan musik dan bisnis musik yang dapat diaplikasikan di Indonesia,” katanya sembari menambahkan, rancang kerja program nasional harus dipersiapkan, dikawal, transparansi untuk khalayak luas dan dieksekusi tiga bulan sebelum diselebrasi.
Oleh karenanya, menurut Eric Martoyo dan Aldo Sianturi, idealnya Harmusnas mengambil posisi yang pas dan ideal. Atau dalam bahasa Eric, semua pemangku kepentingan harus “memperingati” Harmusnas dengan lebih bersifat “kontemplatif”.
Atau menurut Aldo Sianturi, idealnya di setiap tahun, Harmusnas harus bisa menyampaikan fakta dan statistik yang disepakati sebagai kemajuan atas pertumbuhan signifikan. Seperti jumlah studio latihan, studio rekaman yang dapat dipergunakan sebagai motivasi untuk serius di dunia musik.
Segendang sepenarian dengan Eric dan Aldo, Denny MR pemerhati, penggiat dan wartawan musik senior, juga lebih mengutamakan capaian atau prestasi alih-alih terjebak pada urusan selebrasi.
“Merayakan sesuatu itu harus jelas indikatornya. Dalam konteks Hari Musik Nasional (Harmusnas), indikator keberhasilannya adalah terbangunnya ekosistem musik Indonesia, yang manfaatnya dapat dirasakan oleh para pelaku seni musik dari level daerah hingga nasional. Apakah ekosistem yang dimaksud sudah tersedia dan berfungsi sebagaimana mestinya, bagi saya : belum,” kata Denny MR tegas.
Dia menambahkan, perayaan Harmusnas boleh-boleh saja dilaksanakan, tapi baginya masih banyak yang lebih penting untuk dilakukan ketimbang sekadar selebrasi. “Kalau hanya sebatas itu, untuk apa?” katanya melempar pertanyaan retoris.
Menurut Denny MR, Harmusnas harus menjadi klimaks keberhasilan atas sebuah pencapaian. Itu bersifat mutlak agar derajatnya tidak berhenti pada kegiatan yang bersifat euphoria.
Jadi, alih-alih hanya berhenti di tataran terus merayakan, tapi meninggalkan esensi dari Hari Musik Nasional, yang belum bergerak ke mana mana. Karena Harmusnas harus dimaknai lebih dalam. Semua pemangku kepentingan harus terus bekerja dan menumbuhkan ekosistem musik dan Industri musik Indonesia menjadi lebih baik.
Harapannya, sejarah musik Indonesia menemukan penghargaan puncaknya. Yaitu semua menjadi bagian aktif membentuk sejarah musik Indonesia yang berkeadaban.
Industri Musik Mau Dibawa ke Mana?
Industri musik sekarang, kemarin, dan akan datang, mau dibawa ke mana? Ke mana arah industri musik Indonesia? Apakah ada petanya? Di mana posisi dan perkembangan industri musik Indonesia? Berjalan di tempatkah? Mandek? Berjalan tapi merambat karena regulasi yang mengikatnya. Atau tidak ke mana-mana pergerakannya, karena ekosistemnya bertumbuh dengan caranya sendiri?
Apakah negara (via institusi Direktur Perfilman, Musik, dan Media Baru Kemendikbud RI, pasca dibubarkannya Bekraf) sudah benar-benar hadir dalam Harmusnas, juga perkembangan ekosistem musik Indonesia. Toh musik (dengan industrinya kalau ada) tetap bertahan dan berkembang dengan caranya sendiri, ada atau tidak ada kehadiran negara (?).
Menurut pelaku industri musik Indonesia seperti Eric Martoyo sebenarnya negara sudah hadir meski belum optimal. Karena, menurut vokalis grup rock progresif Montecristo itu, pemerintah harus punya grand desain dalam mempromosikan seni-budaya Indonesia ke dunia internasional termasuk musik.
“Salah satunya dengan mensinergikan promosi seni-budaya dengan pariwisata. Termasuk menciptakan ekosistem yang sehat, antara lain dengan memberikan perlindungan hukum terhadap karya cipta dan penegakan hukum bagi yang melanggar. Selain itu, sudah sepatutnya membangun concert hall di kota-kota besar dan sesekali menyediakan free concert musik-musik bermutu sebagai upaya mendidik selera masyarakat,” kata Eric.
Jika hal di atas dilakukan oleh negara, maka pertanyaan seperti bagaimana dengan “Industri musik nasional kemarin, saat ini, dan masa mendatang?” apakah prospeknya mandek, berkembang atau justru mundur ke belakang? Tidak akan ada.
“Karena masa depan industri musik nasional tetap cerah karena Indonesia sangat kaya dengan local content dan local context (ragam seni-budaya dan musik tradisional) yang tidak dimiliki musik luar. Syaratnya adalah kekayaan ini harus terus dipupuk dan dimanifestasikan oleh musisi dan mendapat dukungan dari industri musik. Sangat disayangkan jika Industri musik justru mengambil jalan pintas dengan cara mengikuti selera pasar yang didominasi oleh musik luar,” terang Eric Martoyo.
Hal senada diungkapkan Aldo Sianturi. Menurut Aldo negara selalu hadir dalam urusan musik. Hanya saja bukan diurus oleh orang yang tepat dan tidak memiliki jam terbang di sektor bisnis musik. Sehingga kebijakan dan program yang meruang sampai ke publik tidak punya efek domino dan menyelesaikan masalah secara berjenjang.
“Negara luput untuk tahu akar permasalahan yang benar,” tekan Aldo Sianturi menggarisbawahi (bersambung). (SI)