(L. sekitar 1915)
H. Hasbullah Tasin dikenal sebagai Pejuang Kemerdekaan RI di samping sebagai ulama dan guru agama. Beliau adalah anak ke empat dari enam bersaudara (H. Abdul Wahab, H. Muhammad Thahir, H. Syafiyah, H. Aminah dan H. Maksum Yasin). Ayahnya H. Yasin Penghulu Distrik Alabio yang mempunyai pengaruh besar dan dihormati orang.
Sejak kecil H. Hasbullah Yasin dididik untuk selalu taat melaksanakan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Selain mendapat pendidikan dari ayahnya, Hasbullah belajar di Velvolg School Alabio. Beliau tetap memperdalam agama dengan cara belajar pada ulam setempat, seperti Haji Jefri (tokoh Muhammadiyah) dan Haji Abdul Rasyid (murid Haji Jefri). Setelah lulus dari Velvolg School beliau melanjutkan pendidikannya ke Arabische School di Pakapuran, Amuntai. Pada tahun 1927 Hasbullah Yasin berangkat ke Mekkah untuk memperdalam ilmu agama selama tiga tahun. Beliau sangat ahli di bidang Nahwu dan Musthalah Hadits, di samping juga mendalami ilmu Kesusteraan Timur Tengah.
Pada masa Penjajahan Belanda dan Jepang di tengah-tengah kesibukannya sebagai guru di Wusth Mu’allimin Muhammadiyah, Hasbullah Yasin giat berda’wah. Belanda tidak pernah menghalang-halangi aktivitas beliau, sebab Belanda menganggap kegiatan tersebut tidak membahayakan mereka.
Ketika Belanda menyerahkan kekuasaan kepada Jepang (1942-1945), H. Hasbullah Yasin diangkat oleh pemerintah Jepang sebagai Tuan Iman Masjid Sungai Pandan, Kepala Iman dalam Kewedanan Alabio, Hombo Sidoin (Kepala Agama yang memegang urusan sosial di HSU) dan pernah juga diangkat sebagai Ketua Urusan Yatim pada Jam’iyah Islamiyah di Kandangan. Banyaknya jabatan yang pernah beliau pegang pada masa pendudukan Jepang merupakan suatu pengakuan terhadap kemampuan beliau dalam bidang keagamaan dan kemasyarakatan.
Dalam kondisi yang demikian itu Hasbullah Yasin mempunyai ruang gerak yang memungkinkan beliau untuk berhubungan denagn masyarakat Alabio khususnya dan Masyarakat se-Hulu Sungai pada umumnya. Melalui ceramah-ceramah agama, beliau mulai membangkitkan semangat kemerdekaan. Beliau mengungkapkannya melalui perumpamaan dan kisah-kisah Nabi Muhammad SAW serta para sahabatnya.
Setelah berakhirnya Perang Dunia II tahun 1945 (masyarakat Alabo tidak tahu kalau tentara jepang menyerah pada tentara sekutu), H. Hasbullah Yasin sebagai seorang ulama yang disegani berusaha memanfaatkan kedudukannya untuk menyatukan umat Islam yang dulu berselisih faham. Usaha beliau berhasil dan akhirnya berbaur untuk bersama-sama memikirkan cara mengatasi masalah-masalah yang timbul. Dalam khutbah Jum’at dan pengajian yang dipimpinnya ia selalu mengatakan kepada masyarakat agar selalu waspada terhadap segala kemungkinan yang akan terjadi pada mereka, mengingat saat itu keadaan belum menentu.
Pada tanggal 5 Oktober 1945 Hasbullah mempelopori pelaksanaan upacara bendera dan pawai akbar di samping Kantor Kiai (pelabuhan sekarang). Upacara itu diawali dengan menaikkan bendera merah putih, dan H. Hasbullah Yasin menyampaikan pidato. Dalam pidatonya beliau menyeru kepada masyarakat agar berjuang dan berkorban untuk merebut kemerdekaan. Beliau mengatakan bahwa orang yang tidak menginginkan kemerdekaan adalah seumpama burung perkutut yang hidup dalam sangkar dari zaman ke zaman menerima sepucuk padi dan segelas air. Bila dibuka sangkarnya, burung itu keluar sebentar untuk kemudian masuk kembali ke dalam sangkar, karena burung tersebut merasa senang hidup dalam sangkar.
Lima hari setelah perayaan tersebut H. Hasbullah Yasin mengundang para ulama Alabio, Babirik dan Danau Panggang untuk mendiskusikan tentang kemerdekaan berdasarkan hukum agama Islam. Kegiatan tersebut dihadiri kurang lebih lima puluh orang ulama dan berlangsung di Gedung Musyawarah Thalibin (Gedung NU). H. Hasbullah Yasin ditetapkan sebagai Ketua pengurus Alim Ulama dan dibantu H. Zuhri Mahfudz (Wakil Ketua), H. Hamli (sekretaris), H. Jailani (Bendahara) dibantu oleh beberapa ulama lainnya.
Meskipun Indonesia pada waktu itu sudah menyatakan kemerdekaannya, tetapi Belanda kembali ingin berkuasa. Tentara Belanda telah mengeluarkan pengumuman yang melarang masyarakat berkumpul bila tidak ada izin dari NICA (Tentara Belanda/Sekutu). Walau demikian tidak membuat H. Hasbullah Yasin takut dan gentar. Sebaliknya pada tanggal 27 Oktober 1945 beliau bersama Bhastami Jentara, H. Juhri Mahfuz, Dachlan Sa’al dan Nawi Husin mengadakan pertemuan secara sembunyi-sembunyi di rumah H. Anang Busyra di Kampung sungai Pandan. Dalam rapat itu disepakati pembentukkan “Pasukan Berani Mati”. Pertemuan tersebut diketahui oleh mata-mata NICA. H. Hasbullah Yasin diminta menyerah oleh tentara NICA, beliau menolak dan melakukan perlawanan walaupun tanpa senjata. Dalam perkelahian yang tak seimbang itu, ulama pejuang yang lahir pada tahun 1900 ini gugur sebagai Syuhada kesuma Bangsa pada tanggal 27 Oktober 1945 dan dimakamkan di Sungai Pandan.
H. Hasbullah Yasin ditetapkan oleh Pemerintah RI sebagai Pahlawan Kemerdekaan. Presiden Soekarno menganugrahkan Tanda Jasa Pahlawan dan Bintang Gerilya dan memberikan pangkat Letnan I Anumerta kepada almarhum pada tanggal 12 Agustus 1959, Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong Tingkat II HSU pun menganugrahi Surat Penghargaan dengan pernyataan: Alm. H. Hasbullah Yasin orang pertama penggerak pasukan pemberontak untuk kemerdekaan RI di Hulu Sungai. Penghargaan tersebut diberikan pada tanggal 20 Mei 1962 bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional.
H. Hasbullah Yasin suami dari Hj. Sabariah dan Hj. Syarifah dikaruniai dua orang anak laki-laki yaitu H. Subki dan Muhammad Husni Hasbullah.
Sumber Naskah: Tim Penulis LP2M UIN Antasari Banjarmasin dan MUI Provinsi Kalimantan Selatan.