Sepertinya hampir tidak ada, penuntut ilmu yang tidak pernah mendengar nama Sufyan bin ‘Uyainah. Beliau sangat masyhur di dunia keilmuan Islam, meskipun bagi orang awam tidak sepopuler nama imam empat madzhab dan imam muhaddits kutubus sittah.
Kalaupun ada penuntut ilmu yang masih merasa asing dengan nama beliau, maka hampir bisa dipastikan ia belum banyak bertamasya di dunia ilmu.
Ulama yang lahir di Kuffah pada 107 H dan wafat 197 H ini sangat masyhur dan diakui kealimannya, baik oleh ulama sezaman maupun setelahnya hingga hari ini. Imam Abu Nu’aim Al-Ashbahani dalam kitabnya Hilyatul Auliya’ mengatakan bahwa beliau seorang yang alim, ahli ibadah, ilmunya masyhur, kezuhudannya dikenal luas.
Imam Adz-Dzahabi dalam Siyaru A’lam An-Nubala’ mencatat, beliau menuntut ilmu dan mencari hadits sejak usia anak-anak. Orang-orang banyak berdatangan dari penjuru negeri untuk belajar kepadanya, baik tua maupun muda, sehingga diibaratkan cucu-cucu bertemu kakek-kakek di majelisnya.
Salah seorang muridnya yang sangat terkenal, Imam Syafi’i mengatakan, “Kalau bukan karena Malik bin Anas dan Sufyan bin ‘Uyainah, niscaya ilmu di Hijaz telah lenyap”.
Bahkan, ulama yang sezaman dengan beliau, Imam Sufyan Ats-Tsauri yang sebagian ulama menjulukinya Amirul Mukminin fil Hadits, ketika ditanya tentang Sufyan bin ‘Uyainah, maka beliau berkomentar, “Sufyan bin ‘Uyainah tiada duanya, betapa menakjubkannya beliau”.
Guru dan Tradisi Ilmu
Berkaitan dengan guru, sesuai dengan judul di atas, Imam Sufyan bin ‘Uyainah pernah ditanya oleh murid-muridnya, “Siapakah orang yang paling butuh kepada ilmu?” Jawaban beliau, “Orang yang paling butuh kepada ilmu adalah ulama. Karena kebodohan yang menimpa mereka akan membawa keburukan yang besar, sebab mereka adalah rujukan umat dan umat akan bertanya kepadanya”.
Seorang ulama adalah seorang guru yang mengajar, membimbing, dan memberikan keteladanan bagi umat dan murid-muridnya. Mungkin kalau kita sebagai guru, ditanya siapakah yang lebih membutuhkan ilmu, maka kita akan menjawab murid. Alasannya karena murid ilmunya masih sedikit, belum banyak pengalaman, bacaannya masih sedikit sehingga harus banyak belajar, dan sebagainya.
Tapi bagi Imam Sufyan bin ‘Uyainah, yang lebih membutuhkan ilmu justru adalah seorang guru. Sebab, guru adalah tempat bertanya para murid dan rujukan ilmu bagi banyak orang. Jika guru minim ilmu kemudian salah dalam menjawab atau memberikan keputusan, maka akan diikuti oleh banyak muridnya.
Artinya, guru yang bodoh dampak buruknya jauh lebih besar daripada murid bodoh. Sebab, murid bodoh dampak buruknya untuk dirinya sendiri, sedangkan guru bodoh bisa meluas ke banyak manusia.
إِذَا زَلَّ العَالِمُ زَلَّ العَالَمُ
“Apabila seorang alim keliru, maka alam pun akan ikut keliru”.
Karena itulah, bagi para guru jangan lelah untuk terus belajar, menuntut ilmu, membaca buku, mengkaji, meneliti, diskusi, dan menulis. Jadikan tradisi ilmu sebagai kebiasaan dan gaya hidup. Seperti KH. Hasyim Asy’ari yang punya semboyan, “Tatkala waktuku habis tanpa karya dan pengetahuan, lantas apa makna umurku ini?” Juga nasihat dari Imam Abul ‘Aliyah, “Sibukkanlah diri kalian untuk menimba ilmu dan perbanyaklah membahas tentang ilmu”.
Jika seorang guru ilmunya pas-pasan dan bacaannya sedikit, lantas apa yang hendak disampaikan kepada murid-muridnya? Bisa jadi karena ketidaktahuan, seorang guru akan salah menyampaikan ilmu kepada muridnya. Atau menyampaikan sesuatu yang tidak benar dan sesuka hati karena minimnya ilmu yang dimiliki.
Paling tidak karena ilmunya kurang, seorang guru akan sangat monoton serta membosankan dalam mengajar. Yang diajarkan hanya materi dalam buku mapel yang “itu-itu saja”. Tidak ada values, sesuatu yang lain, unik, dan berbeda yang disampaikan ke murid.
Tiga Tipe Guru Menurut Sufyan bin ‘Uyainah
Imam Ad-Darimi dalam kitabnya Sunan Ad-Darimi meriwayatkan bahwa Sufyan bin ‘Uyainah berkata, “Ulama terbagi menjadi tiga, yaitu:
عَالِمٌ بِاللَّهِ يَخْشَى اللَّهَ لَيْسَ بِعَالِمٍ بِأَمْرِ اللَّهِ، وَعَالِمٌ بِأَمْرِ اللَّهِ لَيْسَ بِعَالِمٍ بِاللَّهِ لَا يَخْشَى اللَّهَ، وَعَالِمٌ بِاللَّهِ عَالِمٌ بِأَمْرِ اللَّهِ يَخْشَى اللَّهَ
1) Ulama yang mengenal Allah dan takut kepada Allah, tapi tidak mengetahui perintah Allah; 2) Ulama yang mengetahui perintah Allah, tapi tidak mengenal Allah dan tidak takut kepada Allah; 3) Ulama yang mengenal Allah dan takut kepada Allah serta mengetahui perintah Allah”.
Para guru posisinya sebagai ulama bagi para siswanya, sehingga pembagian ulama di atas bisa kita terapkan untuk para guru. Tipe guru yang pertama, ia seorang yang mengenal Allah. Lantaran ia mengenal Allah, maka akan timbul kedekatan dan rasa takut kepada Allah. Sehingga guru yang demikian memiliki hati bersih dan akhlak yang baik dalam berinteraksi dengan murid-muridnya. Oleh karena itu, ia bisa menjadi teladan dalam kebaikan dan amal shalih.
Tapi sayangnya, dari segi keilmuan ia tipe guru yang kurang ‘alim dan faqih. Ia sosok guru yang baik sikapnya, tapi bukan ahli ilmu, sehingga tidak mengetahui hukum-hukum Allah; mana yang haram, wajib, sunah, mubah, makruh. Maka tak jarang kita temui, ada guru yang baik dari segi sikap dan spiritual, tapi kurang dalam hal keilmuan. Akibatnya, bisa salah dalam menyampaikan ilmu yang benar, meskipun punya niat yang baik.
Tipe guru yang kedua, ia sebenarnya berilmu dan mengetahui syariat Allah. Tapi sayangnya ia tidak mengenal Allah, sehingga tidak muncul rasa takut kepada Allah. Hal ini disebabkan karena ia tidak mengamalkan ilmunya. Padahal menurut KH. Hasyim Asy’ari, “Tujuan ilmu itu untuk diamalkan”. Jika ilmu sudah diamalkan, maka akan muncul rasa takut kepada Allah yang menyebabkan seseorang senantiasa menjaga diri hal-hal yang dilarang Allah. Sebagaimana perkataan Imam Ahmad bin Hanbal,
أَصْلُ العِلْمِ خَشْيَةُ اللّٰهِ
“Pokok dari ilmu adalah rasa takut kepada Allah”.
Di samping itu, guru yang mengamalkan ilmunya akan senantiasa bertambah ilmunya. Sebagaimana disebutkan dalam Tafsir Ibnu Katsir,
مَنْ عَمِلَ بِما عَلِمَ أَوْرَثَهُ اللّٰهُ عِلْمُ ما لَمْ يَعْلَمْ
“Barangsiapa yang mengamalkan ilmu yang telah diketahuinya, niscaya Allah akan memberikan ilmu yang belum diketahuinya”. Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang bisa diamalkan dan membawa maslahat bagi pemiliknya. Apabila ilmu tidak bermanfaat, justru akan membawa keburukan bagi pemiliknya. Imam Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan,
الْعِلْمُ إنْ لَمْ يَنْفَعْكَ ضَرَّكَ
“Ilmu jika tidak membawa manfaat bagimu, maka akan membawa madharat bagimu”.
Bagi seorang guru, ilmu saja tidaklah cukup, menguasai materi pelajaran juga belum cukup tanpa diiringi dengan amal perbuatan, ma’rifah (mengenal Allah), dan khasyah (rasa takut). Berilmu tanpa beramal menurut Imam Al-Ghazali adalah sebuah kegilaan.
Berilmu tanpa mengenal Allah, seperti para filosof dan ilmuwan sekuler yang memiliki segudang pemikiran dan teknologi maju tapi hampa dari kebahagiaan jiwa. Begitu juga berilmu tanpa ada rasa takut kepada Allah, seperti halnya iblis yang berani membangkang perintah Allah sehingga mendapatkan laknat hingga kiamat, padahal iblis berilmu dan kenal Allah.
Guru yang berilmu, tapi tidak mengenal dan tidak takut kepada Allah, maka ketika menyampaikan ilmu dan nasihat kepada muridnya akan terasa kering. Tidak ada kesan yang membekas dalam jiwa dan relung hati para murid. Selain itu, tipe guru seperti ini tidak layak dijadikan teladan karena hati dan jiwanya kosong dari Allah. Padahal kaidah pendidikan menegaskan bahwa ruh guru jauh lebih penting dari materi dan metode pelajaran. Bahkan, ruh guru lebih penting dari guru itu sendiri.
Oleh karena itu, guru yang sejati adalah tipe guru yang ketiga, yakni seorang guru yang mengenal Allah dan takut kepada Allah, sekaligus mengetahui hukum-hukum Allah. Inilah sosok guru yang ideal. Selain berilmu, ia juga seorang yang mengenal Tuhannya, dekat kepada Allah, dan takut kepada Allah. Tipe guru seperti ini tercermin dari laku hidupnya yang penuh dengan amal shalih, ibadah, adab, dan akhlak mulia. Ucapannya selalu didengar oleh para murid, nasihatnya membekas dalam jiwa, dan ilmunya mudah diterima oleh para murid.
Jangan sampai kita menjadi seorang guru sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Abu Bakar Muhammad bin Husain Al-Ajurri dalam kitab Mukhtasar Akhlâqul ‘Ulamâ’,
لِسَانُهُ لِسَانُ العُلَمَاءِ وَعَمَلُهُ عَمَلُ السُّفَهَاءِ
“Lisannya adalah lisan para ulama, tetapi perbuatannya adalah perbuatan orang-orang dungu”.
Bagi kita para guru, berusahalah untuk menjadi sosok guru yang berilmu, mengetahui syariat Islam dengan baik sehingga bisa menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya dengan maksimal. Selain berilmu, jadilah guru yang juga mengenal Allah, dekat kepada Allah, dan takut kepada Allah.
Guru yang demikianlah yang layak untuk dijadikan teladan bagi murid-muridnya dan masyarakat banyak. Guru seperti ini pantas disebut sebagai guru peradaban, yang akan melahirkan generasi muslim, dan pada saatnya akan membawa kembali Islam ke puncak peradaban.