Berpikir sebelum bertindak sudah menjadi kewajiban bagi setiap orang. Sebelum menentukan apa yang akan diraih, terlebih dahulu harus “dikuliti” secara mendalam apa saja yang mungkin terjadi, entah itu baik atau buruk. Anggap saja ada sekelompok kafilah menelusuri padang pasir yang sangat luas. Ia tidak hanya berambisi secepat mungkin sampai tujuan, tetapi ia juga butuh penelusuran mendalam sebelum ia memutuskan mengambil sebuah jalan. Tidak cukup berbekal makanan dan peralatan navigasi, ia juga membutuhkan keterampilan membaca arah.
Perbekalan yang banyak dan petunjuk arah yang jelas, masih membutuhkan sebuah keberanian untuk melewati itu semua. Hawa panas dan teriknya matahari adalah sebuah ujian yang tidak bisa terelakkan. Dalam situasi itu, mereka dihadapkan pada berbagai pilihan. Belum lagi dari mereka harus berkompromi dengan teman satu rombongan. Sekarang, mari kita berandai-andai. Bagaimana jika dalam satu rombongan kecil terjadi sebuah penetrasi kepentingan yang berbeda-beda?
Di era modern, spirit kehati-hatian dalam bertindak sedikit demi sedikit mulai mengalami disrupsi. Anggapan bahwa kehati-hatian akan memakan waktu lama sudah menjadi cap sehingga memunculkan anggapan bahwa alon-alon waton kelakon tidak menjadi sebuah hal yang relevan.
Memang benar bahwa tidak ada sesuatu hal apapun yang diinginkan dapat tercapai kecuali dia mau berusaha. Usaha sekecil apapun tetaplah berharga sebagaimana nilainya satu butir nasi maupun setetes air bagi seorang musafir. Namun demikian, hal yang harus kita pahami ketika membaca permasalahan berusaha adalah semua itu butuh proses. Hasil yang baik berbanding lurus dengan usaha yang maksimal. Maka, kita harus memahami bahwa dalam usaha itu memang benar adanya prinsip alon-alon waton kelakon, biarlah pelan asalkan sampai tujuan.
Membaca prinsip alon-alon waton kelakon tidak lengkap tanpa membaca sapa temen bakal tinemu. Terlebih dalam pandangan orang Jawa terjadi penolakan atas sikap grusa-grusu. Segala sesuatu berasal dari cara pandang yang matang, perhitungan yang cermat, dan strategi yang tepat. Masyarakat pada zaman dahulu tidak mudah gegabah dalam menyikapi sebuah perubahan. Keniscayaan bahwa segala sesuatu berjalan dinamis tidak bisa dipungkiri.
Dua diskursus ini menjadi sebuah bahasan yang menarik ditengah bagaimana kebudayaan dan tradisi diharapkan mampu memberikan jawaban atas tantangan zaman. Sebagai sebuah paradigma progresivitas, masyarakat Nusantara–khususnya Jawa–cenderung mapan dengan evolusi dibandingkan revolusi. Konsep ini yang berlaku dari masa ke masa, perubahan yang stabil dan tidak menghasilkan konflik sosial. Kelebihannya adalah gerak kebudayaan mampu diselaraskan, walaupun membutuhkan waktu yang cukup lama.
Ada satu ulasan menarik dari Anton Haryono dalam rubrik Wacana edisi 6 Desember 2014. Ia menyatakan bahwa saat ini kita sudah masuk ke zaman serba produktif. Tetapi, dibalik sesuatu yang serba cepat itu tidak disertai dengan pemikiran yang mendalam. Ia mengatakan bahwa orang menggeser paradigma alon-alon waton kelakon menjadi alon-alon kapan tekane karena pembaca terjebak pada alon-alon, padahal titik utamanya adalah kelakon. Dampaknya, kita terjebak dalam tindakan instan dan serba pragmatis!
Sebagai sebuah tawaran atas pembacaan kultural, Serat Wulangrèh menuliskan adanya jaringan kuat kemerdekaan berpikir namun harus disertai sesuatu hal yang mendasar dan mendalam. Hal ini kita jumpai pada pupuh keempat bait ke-42 serta pupuh ketujuh bait ke-108 Dalam bait ke-42 ada tiga indikator yang menjadi bagian manusia sebelum menentukan tindakan: baik buruknya harus diketahui (ala lan becik), melihat adat dan landasan hukumnya (adat waton), tata krama yang dijalankan siang malam (tata krama). Adapun dalam kutipan bait ke-108, dijelaskan bahwa segala hal yang berkaitan dengan dualisme kehidupan ada dalam diri manusia. Sikap benar-salah (bener luput), baik-buruk (ala becik), maupun beruntung-merugi (begja cilaka) semua menjadi bagian dari proses berpikir manusia itu sendiri. Artinya, kita sejak awal memang diberikan kebebasan bertindak namun kita harus paham tujuan apa yang hendak dicapai.
“Sekar pangkur kang winarna, lelabuhan kang kanggo wong ngaurip, ala lan becik puniku, prayoga kawruhana, adat waton punika dipunkadulu, miwah ingkang tata krama, denkaesthi siyang ratri.”
“Tembang pangkur sebagai sebuah sarana, (menerangkan) muara berlabuh bagi orang yang hidup, baik dan buruk lebih baik diketahui, adat dan landasan hukum juga dilihat, tata krama yang dipegang siang dan malam. ” (Wulangreh, IV:42)
“Bener luput ala becik lawan begja, cilaka mapan saking ing badan priyangga, dudu saking wong liya, mulane den ngati-ati, sakeh dirgama, singgahana den eling.”
“Benar salah baik buruk untung rugi, semuanya berasal dari dirinya sendiri. Bukan berasal dari orang lain. Maka berhati-hatilah, segala bentuk fitnah dan aib, sembunyikan dan diingat.” (Wulangreh, VII: 108).
Opsi apapun yang dipilih oleh seseorang tidak menjamin secara keseluruhan didukung oleh orang lain. Bisa dikatakan sesuatu hal yang dipilih dan dipandang baik, belum tentu dipahami sama oleh orang lain, begitu juga sebaliknya. Hal yang menurut orang lain dianggap baik, belum tentu sesuai dengan pemikiran kita. Diksi “dirgama” dalam beberapa Bausastra diartikan sebagai pangapus atau tipuan. Bukan berarti tipuan yang dimaksud adalah sebagai kebohongan, tetapi sebagai sesuatu yang sulit: bisa saja benar tapi bisa juga salah; Ada kemungkinan untung juga ada peluang merugi; bisa saja diterima juga boleh jadi ditolak; dan sebagainya.
Melalui teks ini cukup lugas menepis kejumudan berpikir bahwa hidup itu hanya sekadar menjalani (urip iku saderma nglakoni). Tetapi, teks ini juga menganalogikan bagaimana kita melakukan suatu hal sementara tidak tahu tujuan dan cara yang dilakukan? Maka, teks ini menolak adanya prinsip seperti pohon pisang yang roboh ‘rubuh-rubuh gedhang’ atau mengikuti sesuatu tanpa memahami maksudnya. Tidak kurang-kurang banyak sastra klasik menjelaskan prinsip kehati-hatian.
Kendati demikian, masihkah konsep alon-alon waton kelakon maupun sapa temen bakal tinemu selaras dengan perkembangan paradigma modern yang bermacam-macam? Pun demikian, akhirnya konsep ini dikembalikan kepada pembacanya: mengembalikan teks sastra sebagai horizon harapan untuk menyelesaikan gejolak pemikiran berkaca dari konsep masa lalu atau ditinggalkan melalui banyak pemaknaan.