Seperti sudah disebutkan sebelumnya, Jarh wa Ta’dil bukan hal ringan, karena konsekuensinya adalah diterima atau ditolaknya sebuah hadis Rasulullah saw, maka ketelitian dan kehati-hatian mutlak diperlukan. Syekh Abdul Hayyi al-Laknawi dalam al-Raf’u wa al-Takmil mengatakan:
عليك أن لا تبادر إلى الحكم بجرح الراوي بوجود حكمه من بعض أهل الجرح والتعديل بل يلزم عليك أن تنقح الأمر فيه
“Anda tidak boleh terburu-buru menghukumi seorang rawi ditolak hadisnya hanya dengan menemukan kritik (jarh) terhadap rawi tersebut. Anda harus melakukang penyaringan”
Artinya, tidak semua kritik (jarh) yang ditujukan pada seorang rawi dapat diterima. Sebuah kritik (jarh) harus memenuhi kriteria agar dapat dianggap sah dan digunakan untuk menghukumi kredibilitas seorang rawi. Kriteria tersebut adalah:
- Pengkritik adalah Orang yang Memenuhi Kriteria
Syarat pertama, pengkritik seorang rawi harus memenuhi kriteria pengkritik seperti yang telah dijelaskan pada bagian 2; yaitu memiliki ilmu yang mapan, memiliki ketakwaan dan sifat wira’i, jujur, tidak fanatik, dan mengetahui sebab-sebab jarh dan ta’dil. Untuk rinciannya bisa dibaca pada bagian 2.
- Menyebutkan Penyebab Jarh
Jarh tidak bisa diterima kecuali jika disebutkan alasannya. Misalnya; Fulan adalah rawi yang lemah, karena dia pernah meminum arak (khamr). Pada contoh ini disebutkan alasan mengapa dia dianggap lemah, yakni karena pernah melakukan dosa besar berupa meminum arak. Jika kritikan disebutkan tanpa alasan, seperti; Fulan seorang rawi lemah. Maka tidak dapat diterima. Sebenarnya ini salah satu dari empat pendapat tentang syarat jarh dan ta’dil yang sah. Berikut kami jelaskan secara singkat keempat pendapat tersebut:
- Pendapat pertama
Menurut pendapat pertama, ta’dil; menilai seorang rawi sebagai rawi tsiqah dianggap sah meskipun tidak disebutkan alasannya. Maka, jika ditemukan ta’dil dari salah satu ahli hadis terhadap seorang rawi, seperti kalimat “Fulan rawi yang tsiqah”, penilaian tersebut sudah cukup untuk menstatuskan Fulan sebagai rawi tsiqah. Berbeda dengan jarh; menilai seorang rawi sebagai rawi yang tidak tsiqah, maka harus disebutkan penyebabnya seperti contoh di atas. Pendapat pertama ini, menurut al-Hafizh al-Zain al-‘Iraqi dalam Syarh Alfiyyah-nya adalah pendapat yang sahih dan masyhur. Sama seperti Imam al-Nawawi dalam al-Taqrib, beliau juga mengatakan pendapat ini adalah pendapat yang sahih. Ibn Shalah dalam Muqaddimah-nya juga mengunggulkan pendapat ini, beliau mengatakan:
ذكر الخطيب الحافظ أنه مذهب الأئمة من حفاظ الحديث ونقاده مثل البخاري ومسلم
“al-Khathib al-Baghdadi mengatakan bahwa pendapat ini adalah mazhab para huffazh dan para ahli dalam ilmu hadis seperti Imam al-Bukhari dan Imam Muslim”
- Pendapat kedua
Pendapat kedua adalah kebalikan dari pendapat pertama; yaitu jarh dianggap sah meskipun tanpa menyebutkan alasannya, sedangkan ta’dil baru dianggap sah jika dengan menyebutkan alasannya. Pendapat kedua adalah pendapat Imam Abu Bakr al-Baqillani, sebagaimana dinukil oleh Imam al-Haramain dalam al-Burhan dan Imam al-Ghazali dalam al-Mankhul. Namun, menurut al-Hafizh al-‘Iraqi, penukilan oleh kedua Imam ini keliru, karena al-Baqillani telah masyhur memegang pendapat keempat.
- Pendapat ketiga
Pendapat ketiga mengatakan baik jarh maupun ta’dil, keduanya harus menyebutkan alasan agar dapat dijadikan penilaian yang sah. Pendapat ketiga diriwayatkan oleh al-Khathib dan para ahli ushul, seperti disampaikan al-‘Iraqi tanpa menyebutkan siapa yang berpendapat demikian.
- Pendapat keempat
Sedangkan pendapat keempat adalah kebalikan dari pendapat ketiga; yakni baik jarh maupun ta’dil, keduanya dianggap sah meskipun tanpa menyebutkan alasannya, asalkan muncul dari seorang yang pakar. Pendapat ini, seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, adalah pendapat yang diyakini oleh al-Baqillani, menurut beliau, pendapat ini beliau nukil dari mayoritas ulama. Selain al-Baqillani, al-Ghazali dan al-Razi juga memegang pendapat ini. Bahkan al-Sakhawi dalam Fath al-Mughits dan al-Suyuthi dalam Tadrib al-Rawi mengatakan bahwa al-Khathib –yang mensahihkan pendapat pertama- juga memegang pendapat keempat ini.
Dari keempat pendapat di atas, ada dua pendapat yang dianggap kuat; yaitu pendapat pertama dan keempat. Bagi para ulama yang memegang pendapat keempat, pendapat pertama menyisakan kejanggalan besar; jika jarh tidak bisa diterima kecuali dengan menyebutkan alasan, maka ribuan lembar kitab-kitab tentang profil para rawi (kutub al-Rijal) tidak ada gunanya, karena para pengarangnya jarang sekali menyebutkan alasan ketika melakukan jarh. Padahal para pengarang tersebut adalah para pakar hadis dan ulama besar. Kejanggalan ini dijawab oleh Ibn Shalah dalam Muqaddimah. Menurutnya, semua jarh yang tidak menyebutkan alasan itu tidak sia-sia. Karena meskipun tidak dapat untuk menetapkan kelemahan seorang rawi, kritik-kritik atau jarh itu memunculkan keragu-raguan (raibah) untuk menerima hadis dari seorang rawi yang terkena jarh. Misalnya Fulan dinilai oleh salah satu ulama sebagai rawi lemah, namun tidak disebutkan apa alasannya. Maka, kita tidak bisa menetapkan Fulan sebagai rawi yang lemah dengan menggunakan jarh tersebut. Namun jarh tersebut menimbulkan rasa ragu pada kita untuk menetapkannya sebagai rawi yang tsiqah. Langkah yang harus ditempuh adalah penelitian lebih lanjut, jika hasilnya menunjukkan Fulan adalah rawi tsiqah, baru bisa kita tetapkan sebagai rawi tsiqah.
Namun, jawaban Ibn Shalah di atas dijanggalkan kembali oleh para ulama pengusung pendapat keempat. Salah satunya adalah al-Siraj al-Bulqini dalam Mahasin al-Ishthilah. Beliau menyatakan bahwa keragu-raguan (raibah) tidak dapat mencegah pengambilan keputusan, bukankah seorang Qadli tetap boleh mengambil keputusan meskipun dia menaruh ragu pada para saksi?. Ibn Katsir dalam Ikhtishar Ulum al-Hadits mengatakan
أما كلام هؤلاء الأئمة المنتصبين لهذا الشأن فينبغي أن يؤخذ مسلما من غير ذكر أسباب، وذلك للعلم بمعرفتهم واطلاعهم واضطلاعهم في هذا الشأن واتصافهم بالإنصاف والديانة والخبرة والنصح
“Ucapan (jarh) para ahli di bidang ini sudah sebaiknya diterima tanpa menyebutkan alasannya. Karena pengetahuan dan keluasan ilmu mereka di bidang ini, dan juga karena pribadi mereka yang objektif, baik agamanya, ahli di bidangnya, dan mengharapkan kebaikan pada orang lain (nasihat)”
- Tidak ada Mani’
Mani’ yang dimaksud di sini adalah hal-hal yang membuat jarh yang dilakukan oleh seorang pengkritik rawi tidak dapat diterima. Misalnya jika pengkritik sendiri adalah orang yang tidak kredibel, atau fanatik, atau terlalu mempersulit (tasyaddud).