Sebuah cerita seorang bocah yang lahir dari bumi kandung Madiun. Lahir dari sebuah wilayah yang—sejak pergantian rezim Orde Lama ke Orde Baru—dilabeli ‘kawasan merah’ alias basis PKI. Pemberian nama kawasan ini (to give name a zone) cukup menyesakkan dada dalam pengalaman penulis sampai hari ini.
Pelabelan tersebut membawa banyak pengaruh, dari urusan publik hingga urusan pribadi. Ditolak calon mertua hanya karena berasal dari daerah basis PKI pun tak jarang dialami pemuda-pemudi Madiun.
Ada seorang pemuda hendak mengikat janji bersama gadisnya. Saat menghadap ke kedua orangtuanya, di sela-sela ngobrol santai, tiba-tiba calon mertua berucap dengan nada bercanda, “Loh Madiun ta daleme, lak panggonane PKI”, ucapnya memecah kebisuan formal calon mantu dan mertua.
“Enjih, rikolo rumiyin njeh Panggenane PKI,” jawabnya.
“Ya, kan tidak semua orang Madiun PKI”, sahut anaknya yang ikut serta dalam obrolan.
Ini merupakan salah satu bentuk pengalaman hidup sebagai orang Madiun. Hal tersebut sering dialami oleh kawan-kawan penulis dari asal yang sama.
Tidak dimungkiri, perjalanan sejarah bangsa ini harus melewati proses melelahkan pada1948. Bagaimana tidak? Pascatiga tahun berburu “proklamasi” dan berhasil mendapatkannya, bangsa ini dihadapkan pada sebuah pilihan pahit yang mau tidak mau harus diputuskan.
Sikap sepihak yang dilakukan oleh rombongan Muso dan afiliasinya mendeklarasikan Republik Soviet Indonesia di Kota Madiun menimbulkan benturan fisik sesama anak bangsa. Kejadian ini yang kemudian hari dikenal dengan Madiun Affairs atau peristiwa Madiun.
Akan tetapi, seiring dengan perkembangan situasi politik-nasional kala itu, kompetisi antarideologi dan gerakan massa melahirkan ketegangan-ketegangan yang tidak terkontrol dan memuncak pada 1965 atau Gestok (Gerakan Satu Oktober) dalam istilah Orde Lama Soekarno dan 30 S PKI dalam kampanye Orde Baru Soeharto.
Praktis, jejak berdarah itu berimbas pada perubahan terhadap istilah Madiun Affair menjadi “Pemberontakan PKI Madiun”. Memori kolektif 1948 tersebut diabadikan di Desa Kresek, Kecamatan Wungu, Kabuapaten Madiun dengan dibangunnya sebuah “Monumen” yang diresmikan pada 10 Juni 1991 oleh Gubernur TK 1 Jawa Timur H. Seolarso, rezim Soeharto.
Di balik label sabagai basis PKI, sesungguhnya Madiun patut dianggap sebagai kawasan santri. Sejarah mencatat bahwa Nahdlatul Ulama (NU) pernah pindah kantor ke Madiun sebagai reaksi gelagat PKI dan Zaman Renville meskipun hanya setahun dengan kantornya yang bertempat di Dr. Soetomo no 9, Kota Madiun. Hal tersebut dituturkan KH Saifuddin Zuhri dalam bukunya yang berjudul Berangkat dari Pesantren.
Kepindahan ini juga diikuti oleh beberapa Banom NU lainnya (lihat www.nuonline.or.id riwayat kantor PBNU dari masa ke masa). Bahkan, Muktamar ke-17 NU pun dilaksanakan di Madiun pada Mei 1947 atau Rajab 1366 H . Langkah NU ini, bagi penulis, menyiratkan bahwa kawasan Madiun merupakan kawasan yang kental lingkungan santri karena untuk mengadakan sebuah Muktamar NU tentu membutuhkan massa yang siap untuk mengabdikan dirinya dalam persiapan acara besar tersebut.
Mertua Kiai Hasyim Asyari, sang pendiri organisasi NU pun berasal dari Desa Sewulan, Kecataman Dagangan Kabupaten Madiun, yang merupakan keturunan Ki Ageng Basyariyah/Raden Bagus Harun (dzurriyah Mataram Islam).
Terakhir, Madiun sebagai kawasan santri didukung pula dengan keberadaan ulama sufi kharismatik bernama KH. Abdul Mu’thi dari Madiun. Beliau merupakan salah satu di antara empat ulama kharismatik lainya yang dimintai pertimbangan oleh Soekarno mengenai tanggal Proklamasi.
Kita ketahui bersama bahwa hasil dari pertemuan Ir. Soekarno dengan 4 ulama kharismatik tersebut ialah terpilihnya tanggal 17 Agustus 1945 untuk memproklamasikan kemerdekaan. Kemudian, data dari kementrian agama provinsi Jawa Timur 2013 menunjukkan di Kabupaten Madiun terdapat 84 institusi Islam pondok pesantren dan madrasah diniyah, sedangkan di Kota Madiun terdapat 16 institusi serupa.
Selain fakta di atas, dari Madiun juga lahir santri-santri bersejarah, sebut saja Sentot Alibasyah Prawirodirjo (1807-1855 M) panglima perang pada perang Jawa wafat dan dimakamkan di Bengkulu, Kiai Ageng Anom Besari, ayah dari Kiai Kasan Besari Tegalsari Ponorogo, yang dimakamkan di Kuncen Caruban, dan masih banyak lagi yang lainya.
Bagi penulis, ini menjelaskan bahwa sebutan “Pemberontakan PKI Madiun” sangatlah ahistoris, tidak adil, black campaign, dan gebyah uyah. Dengan melihat kesejarahan dan kenyataan Madiun, lebih tepat dengan penamaan “Madiun Affairs”. Semoga ini bermanfaat! Wallahu a’lam bis shawwab.