Sedang Membaca
Pertanyaan Menjebak Tiga Rabi Yahudi (2)

Pertanyaan Menjebak Tiga Rabi Yahudi (2)

Whatsapp Image 2021 05 17 At 6.57.00 Pm

Rabi Yahudi yang bertanya tentang kisah itu, berdiri lagi dari tempat duduknya; “Apakah nama bukit dan gua itu?” Imam Ali tersenyum, “Bukit itu bernama Naglus dan gua itu adalah Washid, atau biasa juga disebut dengan Kheram.”

Ali bin Abi Thalib pun melanjutkan ceritanya; “Secara mendadak di depan gua tersebut tumbuh pepohonan berbuah lebat dan memancur mata-air deras sekali. Mereka sejenak memakan buah-buahan dan minum air yang tersedia di tempat itu. Hingga tibalah waktu malam, lalu mereka masuk untuk berlindung ke dalam gua. Sementara anjing yang sejak tadi bersama mereka, menjulurkan dua kaki depannya menghalang-halangi pintu gua untuk berjaga-jaga.

Kemudian Allah Swt. memerintahkan malaikat maut untuk mencabut nyawa mereka. Kepada masing-masing orang dari mereka Allah Swt. mewakilkan dua Malaikat untuk membolak-balikkan tubuh mereka dari kanan ke kiri. Lalu Allah memerintahkan matahari pada saat terbit supaya memancarkan sinarnya ke dalam gua condong dari arah kanan, dan pada saat hampir terbenam supaya sinarnya mulai meninggalkan mereka dari arah kiri.

Suatu waktu, raja Decyanus baru saja selesai berpesta. Tiba-tiba dia teringat dan bertanya tentang enam orang pembantunya. Ketika mendapat jawaban bahwa mereka melarikan diri, Decyanus menjadi sangat murka. Bersama 80.000 pasukan berkuda dia sesegera menelusuri jejak enam orang yang melarikan diri itu. Pasukan pun menuju ke atas bukit, kemudian menemukan sebuah gua. Raja Decyanus melihat enam orang pembantunya yang melarikan diri itu sedang tidur berbaring di dalam gua tersebut.

Kepada para pasukannya dia berkata; “Kalau aku hendak menghukum mereka, tidak akan kujatuhkan hukuman yang lebih berat dari perbuatan mereka yang telah menyiksa diri mereka sendiri di dalam gua ini. Panggilkan aku tukang batu untuk segera datang ke mari!”

Maka datanglah para tukang-tukang batu, kemudian mereka diperintah agar menutup rapat pintu gua dengan batu-batu dan jish (bahan semacam semen). Setelah semuanya selesai dikerjakan, raja berkata kepada para pasukannya; “Katakanlah kepada mereka yang ada di dalam gua itu, bahwa mereka itu benar-benar tidak berdusta, agar meminta tolong kepada Tuhannya yang ada di langit, untuk dikeluarkan dari tempat itu.”

Dalam gua yang tertutup rapat itu, mereka tinggal selama 309 tahun.

Setelah masa yang amat panjang itu, Allah Swt. mengembalikan lagi nyawa mereka. Pada saat matahari sudah mulai memancarkan sinar, mereka merasa seakan-akan baru bangun dari tidurnya masing-masing. Yang seorang berkata kepada yang lainnya; “Malam tadi kami lupa beribadah kepada Allah, mari kita pergi ke mata air!”

Setelah mereka berada di luar gua, tiba-tiba mereka lihat mata air itu sudah mengering kembali dan pepohonan yang ada pun sudah menjadi kering semuanya. Mereka mulai merasa lapar dan saling bertanya; “Siapakah di antara kita ini yang sanggup dan bersedia berangkat ke kota untuk mencari makanan? Tetapi hati-hati, jangan sampai membeli makanan yang dimasak dengan lemak-babi.”

Tamlikha kemudian berkata; “Teman-teman, biar aku saja yang berangkat untuk mencari makanan. Hai penggembala, mari kita bertukar baju untuk mengelabui semua ini.

Setelah Tamlikha memakai baju penggembala, dia berangkat menuju ke kota. Sepanjang jalan dia merasa heran karena melewati tempat-tempat dan jalan yang sama sekali tak pernah dilalui apalagi dikenalnya. Setibanya dekat pintu gerbang kota, dia melihat bendera hijau berkibar di angkasa bertuliskan; “Tiada Tuhan selain Allah dan Isa adalah Roh Allah.”

Baca juga:  Pemerintah Kolonial Mengajari Cara Penyembelihan Secara Islam

Tamlikha berhenti sejenak memandang bendera itu sambil mengusap-usap mata, lalu berkata dalam hati; “Apakah aku ini masih sedang bermimpi..?!” Cukup lama dia memperhatikan bendera, hingga meneruskan perjalanan memasuki kota. Dilihatnya orang-orang sedang membaca Injil. Dia berpapasan dengan banyak orang, namun tak seorang pun yang dikenalnya. Di sebuah pasar dia bertanya kepada seorang penjual roti; “Wahai tukang roti, apakah nama kota kalian ini?”

“Aphesus,” sahut penjual roti itu.

“Siapakah nama raja kalian?” tanya Tamlikha lagi. “Abdurrahman,” jawab penjual roti itu dengan penuh ketulusan.

“Kalau apa yang kau katakan itu memang benar,” kata Tamlikha, “yang kurasakan ini sungguh aneh sekali! Ambillah uangku ini dan berikan makanan kepadaku!”

Melihat uang tersebut, si penjual roti itu nampak keheranan. Karena uang yang dibawa Tamlikha adalah uang zaman lampau, yang ukurannya lebih besar dan lebih berat.

Rabi Yahudi itu pun menyergah lagi; “Baik Ali, aku butuh pembuktian yang terperinci, coba terangkan kepadaku berapa nilai uang lama itu dibandingkan dengan yang baru!”

Ali pun menjelaskan dengan terperinci pula; “Rasulullah Muhammad saw. menceritakan kepadaku, jika uang yang dibawa oleh Tamlikha dibandingkan dengan uang baru, tiap dirham lama sama dengan sepuluh dan dua pertiga dirham baru!”.

Ali bin Abi Thalib kemudian melanjutkan ceritanya, “Si Penjual Roti berkata kepada Tamlikha; “Betapa beruntungnya aku. Rupanya kau baru saja menemukan harta karun! Berikan sisa uangmu itu padaku. Jika tidak, kau akan ku laporkan kepada raja.”

“Aku tidak menemukan harta karun,” sanggah Tamlikha. “Uang ini uangku yang kudapatkan tiga hari yang lalu dari hasil penjualan buah kurma seharga tiga dirham! Aku kemudian meninggalkan kota ini karena semua orang menyembah Decyanus.”

Penjual roti itu pun naik pitam, “Engkau sudah menemukan harta karun masih juga mendustaiku? Apalagi engkau telah menyebut-nyebut nama raja durhaka yang mengaku dirinya Tuhan, padahal raja itu sudah mati lebih dari 300 tahun silam! Apakah engkau hendak melecehkan aku?”

Tamlikha pun ditangkap dan dihadapkan raja. Raja yang baru ini adalah seorang yang cerdas, bijaksana dan adil. Sang Raja bertanya kepada orang-orang yang membawa Tamlikha ke hadapannya; “Siapa orang ini dan apa yang hendak dia lakukan?”

“Dia menemukan harta karun,” serempak mereka menjawab.

Kepada Tamlikha, raja berkata; “Tak ada yang perlu kau takutkan! Nabi Isa a.s. memerintahkan kami supaya hanya memungut seperlima saja dari harta karun itu. Serahkanlah yang seperlima itu kepadaku, dan selanjutnya engkau akan dibebaskan.”

Tamlikha menjawab; “Baginda, aku sama sekali tidak memiliki atau menemukan harta karun! Aku adalah penduduk kota ini!”

Dengan keheranan Raja terus bertanya; “Engkau penduduk kota ini?”

“Benar,” jawab Tamlikha.

“Adakah orang yang kau kenal di sini?” tanya raja lagi.

“Ada,” tegas Tamlikha.

“Coba sebutkan siapa namanya,” tantang raja.

Tamlikha lalu menyebutkan kurang lebih 1000 nama orang, tetapi tak satu nama pun yang dikenal oleh sang raja atau orang lain yang hadir. Raja berkata; “Ah…, semua itu bukan nama orang-orang yang hidup di zaman sekarang. Apakah engkau mempunyai rumah di kota ini?”

Baca juga:  Membaca Kembali Pemikiran Si Kumis dari Pakistan

“Ya, paduka,” jawab Tamlikha. “Utuslah seorang menyertaiku!”

Raja kemudian memerintahkan beberapa orang menyertai Tamlikha pergi. Tamlikha mengajak mereka menuju ke sebuah rumah yang paling tinggi di kota itu. Setibanya di sana, Tamlikha berkata kepada orang yang mengantarkan; “Inilah rumahku!”

Pintu rumah itu lalu diketuk. Keluarlah seorang lelaki yang sudah sangat lanjut usia. Sepasang alis di bawah keningnya sudah sedemikian putih dan mengerut hampir menutupi mata karena sudah terlampau tua. Dia terperanjat ketakutan, lalu bertanya kepada orang-orang yang datang; “Kalian ada perlu apa?”

Utusan raja yang menyertai Tamlikha menyahut; “Orang muda ini mengaku rumah ini adalah rumahnya!”

Orang tua itu marah, memandang kepada Tamlikha. Sambil mengamat-amati ia bertanya; “Siapa namamu?”

“Aku Tamlikha putra Filistin!”

Orang tua itu lalu berkata; “Coba ulangi lagi!”

Tamlikha menyebut lagi namanya. Dengan sontak orang tua itu berlutut di depan kaki Tamlikha sambil berucap; “Ini adalah buyutku! Demi Allah, dia salah seorang di antara orang-orang yang melarikan diri dari Decyanus, raja durhaka itu.”

Kemudian diteruskannya dengan suara haru; “Dia lari berlindung kepada Yang Maha Perkasa, pencipta langit dan bumi. Nabi kita, Isa as., dahulu telah memberitahukan kisah mereka kepada kami dan mengatakan bahwa mereka akan hidup kembali!”

Peristiwa yang terjadi di rumah orang tua itu kemudian dilaporkan kepada raja. Dengan menunggang kuda, raja segera datang menuju ke tempat Tamlikha. Setelah melihat Tamlikha, raja segera turun dari kuda kemudian mengangkat Tamlikha ke atas pundak, sementara orang-orang beramai-ramai menciumi tangan dan kaki Tamlikha sambil bertanya-tanya; “Hai Tamlikha, bagaimana keadaan teman-temanmu?” Kepada mereka Tamlikha memberi tahu, bahwa semua temannya masih berada di dalam gua.

Kemudian Ali melanjutkan ceritanya:

“Pada saat itu kota Aphesus diurus oleh dua orang bangsawan istana. Seorang beragama Yahudi dan seorang lagi beragama Nasrani. Dua orang bangsawan itu bersama pengikutnya masing-masing pergi membawa Tamlikha menuju ke gua,”

Setibanya dekat gua, Tamlikha berkata kepada dua orang bangsawan dan para pengikut mereka; “Aku khawatir kalau sampai teman-temanku mendengar suara tapak kuda, atau gemerincingnya senjata. Mereka pasti menduga Decyanus datang dan mereka bakal mati semua. Oleh karena itu kalian berhenti saja di sini. Biarlah aku sendiri yang akan menemui dan memberitahu mereka!”

Semua berhenti menunggu dan Tamlikha masuk seorang diri ke dalam gua. Melihat Tamlikha datang, teman-temannya berdiri kegirangan, dan Tamlikha dipeluknya kuat-kuat. Mereka pun berkata; “Puji dan syukur bagi Allah yang telah menyelamatkan dirimu dari Decyanus!”

Tamlikha menukas; “Sudah tak ada lagi Decyanus!! Tahukah kalian, sudah berapa lamakah kita tinggal di sini?”.

“Yaa… kira-kira beberapa hari saja?,” jawab mereka.

“Tidak!” sangkal Tamlikha, “Kita sudah tinggal di sini selama 309 tahun! Decyanus sudah lama meninggal dunia! Generasi demi generasi sudah lewat silih berganti, dan penduduk kota itu sudah beriman kepada Allah yang Maha Agung! Mereka sekarang datang untuk bertemu dengan kalian.”

Teman-teman Tamlikha menyahut; “Tamlikha!, apakah engkau hendak menjadikan kami ini orang-orang yang akan menggemparkan alam semesta dan jagad raya?”

“Lalu apa yang hendak kalian inginkan?” tanya balik Tamlikha.

Baca juga:  Perkembangan Definisi Ulum al-Quran

“Angkatlah tanganmu ke atas dan kami pun akan berbuat seperti itu juga,” sontak mereka bersama.

Bertujuh semuanya mengangkat tangan ke atas, kemudian berdoa; “Ya Allah, dengan kebenaran yang telah Engkau perlihatkan tentang keajaiban-keajaiban yang telah kami alami sekarang ini, maka cabutlah kembali nyawa kami ini tanpa sepengetahuan orang lain!”

Allah Swt. pun mengabulkan permohonan mereka. Lalu memerintahkan Malaikat maut mencabut kembali nyawa mereka. Kemudian Allah Swt. melenyapkan pintu gua tanpa bekas. Dua orang bangsawan yang menunggu-nunggu segera maju mendekati gua, berputar-putar selama tujuh hari untuk mencari-cari pintunya, tetapi tanpa hasil. Tak dapat ditemukan lubang atau jalan masuk lainnya ke dalam gua.

Dengan demikian dua orang bangsawan tadi menjadi yakin tentang betapa menakjubkannya kekuasaan Allah Swt. Dua orang bangsawan tersebut memandang semua peristiwa yang dialami oleh para penghuni gua sebagai peringatan yang diperlihatkan Allah kepada umat manusia.

Bangsawan yang beragama Nasrani berkata; “Mereka meninggal dalam keadaan memeluk agamaku! Akan kudirikan sebuah tempat ibadah di pintu gua itu.”

Sedang bangsawan yang beragama Yahudi menimpali; “Mereka meninggal dalam keadaan memeluk agamaku! Akan kudirikan sebuah biara di pintu gua itu.”

Dua orang bangsawan itu bertengkar, dan setelah melalui pertikaian senjata, akhirnya bangsawan Yahudi terkalahkan oleh bangsawan yang beragama Nasrani. Dari peristiwa tersebut, maka Allah berfirman dalam surat Al-Kahfi ayat 21;

وَكَذَٰلِكَ أَعْثَرْنَا عَلَيْهِمْ لِيَعْلَمُوا أَنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ وَأَنَّ السَّاعَةَ لَا رَيْبَ فِيهَا إِذْ يَتَنَازَعُونَ بَيْنَهُمْ أَمْرَهُمْ ۖ فَقَالُوا ابْنُوا عَلَيْهِمْ بُنْيَانًا ۖ رَبُّهُمْ أَعْلَمُ بِهِمْ ۚ قَالَ الَّذِينَ غَلَبُوا عَلَىٰ أَمْرِهِمْ لَنَتَّخِذَنَّ عَلَيْهِمْ مَسْجِدًا

 “Dan demikian (pula) Kami mempertemukan (manusia) dengan mereka, agar manusia itu mengetahui, bahwa janji Allah itu benar, dan bahwa kedatangan hari kiamat tidak ada keraguan padanya. Ketika orang-orang itu berselisih tentang urusan mereka, orang-orang itu berkata: “Dirikan sebuah bangunan di atas (gua) mereka, Tuhan mereka lebih mengetahui tentang mereka”. Orang-orang yang berkuasa atas urusan mereka berkata: “Sesungguhnya kami akan mendirikan sebuah rumah peribadatan di atasnya.”

Sampai di situ Ali bin Abu Thalib berhenti menceritakan kisah Ashabul Kahfi. Kemudian berkata kepada rabi Yahudi yang menanyakan kisah itu, “Itulah rabi, apa yang telah terjadi dalam kisah mereka. Demi Allah, sekarang aku hendak bertanya kepadamu, apakah semua yang ku ceritakan itu sesuai dengan apa yang tercantum dalam kitab kalian?”

Pendeta Yahudi itu menjawab; “Ya Ali, engkau tidak menambah dan tidak mengurangi, walau satu huruf pun! Sekarang engkau jangan menyebut diriku sebagai rabi Yahudi, sebab aku telah bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba Allah serta Rasul-Nya. Aku pun bersaksi juga, bahwa engkau orang yang paling berilmu di kalangan umat ini!”

Konon, di atas gua Ashabul Kahfi di Abu Alanda, terdapat rumah ibadah yang telah dibangun ketika itu. Rumah ibadah yang dimaksud adalah rumah ibadah penganut Nasrani. Ketika zaman Kerajaan Umawiyah, rumah ibadah tersebut telah dijadikan masjid. Dan, pada 27 September 2006 silam, Raja Abdullah (Raja Yordania) meresmikan sebuah masjid baru di atas gua tersebut, yang diberi nama Masjid Ashabul Kahfi.

Wallahu a’lam bisshowab.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top