Tidak banyak cerita tentang humor yang dikeluarkan oleh Kiai Wahid Hasyim, ia mungkin menjadi sosok yang lebih banyak dikenang sebagai pribadi yang serius. Aktivitasnya sebagai seorang tokoh yang pernah menempati posisi-posisi penting sejak era pendudukan Jepang hingga ikut mempersiapkan pendirian negara baru yang saat ini dikenal sebagai Indonesia setidaknya menunjukkan kesan itu.
Setelah Indonesia berdiri sebagai negara yang merdeka, Kiai Wahid tetap tidak lepas dari peran penting dalam lingkaran kepemimpinan nasional. Pada tahun 1945, ia menjadi Menteri Negara dalam Kabinet Soekarno dan menempati jabatan yang sama di Kabinet Sjahrir III tahun 1946 sampai 1947. Kemudian, Kiai Wahid menjadi Menteri Agama pada Desember 1949 sampai April 1952 di tiga kabinet yang berbeda.
Meskipun menjadi seseorang yang ada di tengah pemerintahan negara yang mengalami banyak gejolak dan mengharuskannya untuk lebih banyak berpikir serius, ternyata masih ada humor yang terselip dalam aktivitas Kiai Wahid. Salah satunya bisa ditemukan dalam cerita yang disampaikan oleh Hamka saat Kiai Wahid menjabat sebagai Menteri Agama untuk periode pertama di Kabinet Hatta.
Humor yang dibuat oleh Kiai Wahid itu berisi kritik terhadap kekuasaan dan manusia modern. Lelucon itu dituliskan oleh Hamka dalam salah satu bukunya yang berjudul Tindjauan di Lembah Nil (1951). Latar waktu humor itu dibuat kemungkinan terjadi menjelang pembubaran Republik Indonesia Serikat (RIS) yang berakhir pada tahun 1950.
Dalam sebuah percakapan dengan Hamka, Kiai Wahid mengatakan “kalau kabinet RIS ini bubar, saya ingin kembali menyusun kekuatan kaum ulama. Saya lebih senang duduk menjadi pemimpin dari pada menjadi menteri”.
Lalu Hamka bertanya pada Kiai Wahid, “apa plan (rencana) saudara kalau tidak jadi menteri lagi?”
Kiai Wahid kemudian menanggapi pertanyaan Hamka itu dengan cara yang tidak biasa, ia menjawab “saya akan membeli dasi selusin. Saya akan beli auto (mobil) sendiri, dan saya akan melagak!”.
Jawaban spontan itu berhasil membuat Hamka tertawa. Setelah menyelesaikan tawanya, Hamka menanyakan apa alasan Kiai Wahid memiliki niatan seperti yang disebutkan dalam pernyataannya tersebut.
Kiai Wahid belum sempat menjawab, seorang teman Hamka yang ikut duduk mendengar percakapan itu menyela “barang kali Bung Wahid berpikir, dunia sekarang ini adalah dunia gila, hanya majnun. Orang tidak melihat lihat apa isi kita. Yang dilihatnya hanyalah kulit. Kita kaum ulama ini dipandang hanya kiai kolot dan santri plutuk. Tetapi kalau kita sudi memakai dasi, pantalon, melagak ke hilir mudik, itulah tanda international minded. Oleh sebab umumnya sudah majnun, kita pun terpaksa kadang-kadang memakan taktik majnun pula. Beli dasi selusin lagi dan melagak, campur percakapan dengan bahasa Belanda satu dua (kata), baru bernama modern”.
Tidak begitu jelas siapa orang yang menyela dalam percakapan antara Hamka dengan Kiai Wahid tersebut. Dalam buku itu tidak disebutkan identitasnya. Namun, dari isi satire yang melengkapi lelucon Kiai Wahid itu, sepertinya orang yang menyela merupakan politisi muslim Masyumi.
Hamka kemudian berusaha mengejar jawaban Kiai Wahid dengan bertanya “apa betul Bung?”. Dengan santai Kiai Wahid memberi senyuman yang dalam untuk menjawab pertanyaan Hamka tersebut.
Percakapan antara Hamka dengan Kiai Wahid ini menunjukkan hal yang cukup menarik. Terdapat sebuah kritik yang disampaikan dengan nada humor oleh Kiai Wahid terhadap mereka yang ingin selalu mengejar kekuasaan serta orang-orang yang demam bertemu dengan modernitas.
Kiai Wahid menggunakan humor sebagaimana fungsinya pernah dijelaskan oleh putranya di sebuah esai berjudul Melawan Melalui Lelucon. Dalam esai itu Gus Dur, yang merupakan anak pertama Kiai Wahid menjelaskan bahwa lelucon bisa digunakan sebagai wahana ekspresi politis. Lelucon akan menyatukan bahasa rakyat banyak dan mengidentifikasi masalah yang dikeluhkan dan diresahkan. Hal tersebut juga dapat berfungsi sebagai kritik terhadap keadaan tidak menyenangkan yang terasa di tempat sendiri.
Mungkin saja, Kiai Wahid hendak melontarkan kritik pada kelakuan orang-orang yang selalu mengejar kekuasaan di pemerintahan dengan menyampaikan tidak ingin menjadi menteri. Kemudian pernyataan Kiai Wahid yang ingin membeli dasi selusin, membeli mobil, dan berlagak nampaknya merupakan sindiran untuk mereka yang tergila-gila pada produk modern dengan memusatkan perhatian pada penampilan pakaian atau kendaraan bagus.
Kiai Wahid sendiri adalah sosok yang tidak asing dengan modernitas, dalam biografi Gus Dur yang ditulis oleh Greg Barton, dikisahkan bahwa ibu Kiai Wahid mendorongnya untuk menjadi seseorang yang cakap menjadi bagian dari masyarakat yang hidup modern.
Ibunya mengarahkan Kiai Wahid untuk belajar bahasa Inggris dan Belanda kepada seorang manajer pabrik gula asal Eropa yang tinggal di Jombang. Setelah dewasa, Kiai Wahid menjadi inisiator yang ingin memadukan pendidikan modern dengan pengajaran Islam di pesantren. Ia seolah menunjukkan bahwa modernitas adalah sesuatu yang bisa diolah agar tidak menyebabkan euforia dan membuat seseorang kehilangan identitas lamanya.
Jika dikaitkan dengan kondisi masyarakat saat ini, sepertinya humor Kiai Wahid tentang kekuasaan dan manusia modern ini masih bisa ditemukan relevansinya. Orang-orang yang selalu mengejar kekuasaan dalam pemerintahan jelas masih banyak dan terus bertambah. Sementara kelakuan yang berlebihan dalam merespon perubahan zaman dan kemajuan tetap masih bermunculan.