Di antara tanda orang arif ialah menghindari makhluk yang ada di antara dirinya dan Allah, sehingga mereka tak ubahnya mayat yang tidak bisa mendatangkan manfaat dan mudharat kepadanya, tidak bisa mendatangkan mati dan hidup. Dia juga menghindari kaitan antara dirinya dan makhluk, sehingga dia berada di tengah mereka seperti orang yang tidak memiliki jiwa.
Seperti yang dikatakan Dzun-Nun, “Tanda orang arif ada tiga macam. Cahaya makrifatnya tidak memadamkan cahaya wara’ (meninggalkan yg haram dan subhat), tidak mempercayai batin dari ilmu yang dapat mengalahkan zhahir hukum, dan limpahan nikmat Allah tidak merusak tabir hal-hal yang diharamkan Allah”.
Masih banyak pengertian-pengertian lain yang diberikan orang tentang makrifat. Namun yang terakhir inilah yang paling baik, sekalipun masih membutuhkan penjabaran. Sebab banyak orang yang melihat wara’ sebagai akibat dari minimnya makrifat. Padahal makrifat ini amat luas jangkauannya.
Orang yang arif adalah orang yang lapang dan dilapangkan. Sementara kelapangan bisa memadamkan cahaya wara’. Makrifat orang arif tidak akan memadamkan wara’, dan wara‘nya tidak bertentangan dengan makrifatnya, seperti anggapan sebagian orang, bahwa orang arif ialah yang tidak mengingkari kemungkaran. Maksud perkataannya, “Batin dari ilmu yang dapat mengalahkan zhahir hukum”, diisyarat-kan kepada orang-orang yang menyimpang, yang menisbatkan kepada perilaku, yang lebih mementingkan olah rasa dan wirid-wirid yang bertentangan dengan hukum syariat, yang berlaku di kalangan mereka dan tidak bisa lagi dihindari.
Ada yang berkata, “Bergaul dengan orang arif dapat mengajakmu dari enam perkara ke enam perkara: Dari keraguan ke keyakinan, dari riya’ ke ikhlas, dari lalai ke zikir, dari keinginan terhadap dunia ke keinginan terhadap akhirat, dari takabur ke tawadhu’ dan dari buruk sangka ke nasihat.”
Jangan sesekali anda tergoda maupun tertipu dengan berbagai alam yang mungkin anda tempuh nanti di dalam perjalanan hati anda menuju ke makam makrifatullah. Alam tetap alam, bukan Zat Allah Ta’ala. Tuhan itu adalah Zat yang Sejati lagi Esa. Yang di tuju hati ialah Zat Allah Ta’ala atau di dalam bahasa Al Quran ialah Wajah Allah Ta’ala.
“Inni Wajjahtu Wajhiya Lilladzi Fathorossamawati Wal Ardho Hanifa. Wa Maa Ana Minal Musyrikin.” Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku di dalam keadaan bersih dan ikhlas kepada wajah Dia yang menciptakan langit dan bumi. Dan aku bukan dari kalangan orang-orang yang menyekutukan Allah Ta’ala.
“Demi masa, sesungguhnya insan itu berada di dalam kerugian, kecuali mereka yang beriman dan yang beramal soleh, dan yang mengajak kepada kebaikan dengan kebenaran (Al- Haq) dan yang mengajak kepada kebaikan dengan kesabaran.”
Orang arif (yang memiliki hubungan vertikal ke atas langit) menurut mereka adalah orang yang memiliki makrifat tentang Allah dengan segala sifat, asma’ dan perbuatanNya, kemudian Allah membenarkan mu’amalahnya, memurnikan tujuan dan niatnya, melepas akhlak-akhlaknya yang buruk, kemudian sabar menerima ketetapan hukum Allah, baik yang berupa nikmat atau cobaan, kemudian berdoa kepada Allah berdasarkan bashirah terhadap agama dan ayat-ayat Allah.
Kemudian, memurnikan seruan kepada Allah semata seperti yang dibawa Rasul Allah, tidak dicampuri dengan pendapat manusia, qiyas dan pemikiran mereka, tidak menimbangkan dengan apa yang dibawa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Inilah sebutan untuk orang arif yang hakiki. Mereka telah mendefinisikan ma’rifat dengan segala pengaruh dan kesaksian-kesaksiannya.
Di antara mereka ada yang berkata, “Di antara tanda makrifat tentang Allah ialah munculnya rasa takut kepada-Nya. Siapa yang ma’rifatnya tentang Allah semakin bertambah, maka bertambah pula ketakutan kepada-Nya.” Ada pula yang berkata, “Makrifat mengharuskan adanya ketenangan. Siapa yang ma’rifatnya tentang Allah semakin bertambah, maka bertambah pula ketenangannya.”
Perjalanan Batin Pengamal Tarekat
Sekarang kita akan memasuki lebih jauh dan mendalam lagi dalam hal ihwal tasawuf dan perjalanan batin pengamal tarekat Khususiah Sufiah. Sesungguhnya perjalanan batin dalam mengenal dan menghampirkan diri kepada Allah Taala sangat mendalam. Namun sedalam mana sekali pun ia sangatlah mudah apabila rahmat Allah Ta’ala datang mencurah. Sesungguhnya jauh Allah Ta’ala dengan hambanya tidak berjarak dan dekatnya Allah dengan hambanya juga tidak bersentuh.
Hikmah zzikir yang makrifat. Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk. Kaum Sufi melaksanakan zikir dengan begitu asyik dan khusyu karena merasakan kenikmatan, kelezatan, dan kemanisan. Dengan berzikir, mereka merasa begitu dekat dengan Tuhannya (qurb), merasa tenang jiwanya, merasakan tidak ada sesuatu pun bahkan dirinya kecuali Allah (fana), dan memperoleh ilmu pengetahuan yang hakiki (makrifat).
Abu Sa’id Al-Harraz r.a. berkata, “Apabila Allah Ta’ala hendak mengangkat seorang hambanya menjadi Wali dari hamba-hambanya yang lain, ia membuka kepadanya pintu dzikir, maka apabila ia merasa lezat berzikir, dibuka kepadanya babul qurb, kemudian diangkatnya ke majlisul uns (tenang batin), kemudian ditempatkan dia di atas kursi tauhid, kemudian diangkat daripadanya hijab (penutup) dan lalu dimasukkan dia ke dalam darul fardaniyyah, dan dibukakanlah kepadanya hijabul jalali wal’uzmati.
Apabila sampai pada jalali wal’uzmati, ia merasa tak ada lagi yang lain, hanya Huwa (Dia) Allah, maka takala itu seorang hamba berada dalam masa fana.” Adapun kejauhan dan kedekatan seorang hamba dari Tuhannya bukanlah berarti kejauhan atau kedekatan tempat dan waktu, tetapi sesungguhnya kejauhan atau kedekatan itu semata-mata karena lupa atau ingat hati terhadap Allah.
Mantap