Sedang Membaca
Unsur Sufistik dalam Kitab Jauharul Maknun Karya Syekh ‘Abdurrahman al-Akhdari
Avatar
Penulis Kolom

Santri Putri di PP TPI Al-Hidayah, Al-Ishlah, Al-Amanah Plumbon Limpung Batang.

Unsur Sufistik dalam Kitab Jauharul Maknun Karya Syekh ‘Abdurrahman al-Akhdari

foto kitab ilmu balaghah

Di kalangan pesantren, nama Syaikh ‘Abd al-Raḥmān al-Akhḍarī tentu sudah tidak begitu asing lagi. Ialah ulama yang memiliki nama lengkap Abū Yazīd ‘Abd al-Raḥmān ibn Muḥammad al-Ṣugairā al-Akhḍarī. Ia lahir di Desa Benthaous, sebelah Barat Aljazair. Perihal tahun lahir beliau, banyak terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama.

Namun, jika melihat keterangan yang terdapat di bagian akhir salah satu kitab karyanya, Sulam al-Munauraq, tertulis bahwa beliau selesai menulis kitab tersebut saat berusia 21 tahun, yang bertepatan dengan tahun 941 Hijriyyah. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa beliau lahir pada kisaran tahun 920 Hijriyyah.

Beliau lahir di lingkungan keluarga yang berpegang teguh pada syara’ dan menyukari perbuatan yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Bahkan, beliau juga telah masyhur dikenal sebagai salah satu kubbār al-ṣūfiyyah (pembesar ulama sufi). Karya-karya beliau banyak disajian dalam bentuk nazam, di antaranya yang telah masyhur di kalangan pesantren ialah Sulam al-Munauraq dan Jauhar al-Maknūn.

Perihal Jauhar al-Maknūn, tersaji di dalamnya sebanyak 291 bait tentang ilmu balāgah yang ditulis beliau ketika berusia 30 tahun. Penulisan kitab tersebut, sebagaimana terlihat dalam narasi beliau di bagian pengantar kitab, dilatarbelakangi oleh banyaknya permintaan dari para pelajar kepada beliau untuk menuliskan sebuah kitab nazam tentang ilmu balāgah yang menggunakan baḥr al-rajāz dengan wazan مُسْتَفْعِلٌ sebanyak enam kali. Hal ini sebagaimana diceritakan oleh beliau dalam bait ke 18 hingga 24, yang juga dikarenakan pola nazam tersebut telah banyak digunakan dalam berbagai kitab nazam lainnya, sebagaimana juga beliau berupaya mensarikannya dari Kitab Talkhīṣ fī al-Balāgah karya Syaikh Khaṭīb Khazwainī.

Baca juga:  Pesan Toleran dalam Nadzom Alkhoridatul Bahiyyah

Kitab yang memiliki arti dalam Bahasa Indonesia: “mutiara yang tersimpan” itu memuat setidaknya tiga cabang ilmu balāgah, yaitu ma’ānī, bayān, dan badī. Hal ini menurut beliau sebagaimana lazim menjadi dasar-dasar ilmu balāgah bagi pemula (mubtadi’) yang hendak mempelajari aspek stilistika dari Bahasa Arab.

Kendati merupakan kitab yang menjelaskan tentang ilmu balāgah, salah satu hal yang tak kalah menariknya dalam kitab karya Syaikh ‘Abd al-Raḥmān al-Akhḍarī ini ialah perihal unsur-unsur sufistik dan akhlak yang terkandung di dalam setiap baitnya. Hal ini dapat dilihat misalnya pada bāb al-isnād al-khabarī, tepatnya pada bait yang berbunyi:

فَيُخْبِرُالخَالِيْ بِلَاتَوْكِيْدِ   مَالَمْ يَكُنْ فِيْ الْحُكْمِ ذَاتَرْدِيْدِ

“Apabila pendengaran khālī al-żihn (orang yang hatinya masih kosong dan belum mengetahui tentang informasi) itu tidak ragu-ragu ataupun mengingkarinya, maka khabar cukup disampaikan tanpa menggunakan penegasan (taukīd).”

Dari bait tersebut, kiranya dapat dipahami, bahwa selain menjelaskan perihal regulasi penyampaian informasi (khabar), beliau juga menyiratkan pesan untuk senantiasa bersikap tekun/telaten dalam upaya menyampaikan informasi kepada seseorang yang belum memahami informasi tersebut. Dalam hal ini, dijelaskan, bahwa perumpamaan seseorang yang memberikan informasi (mutakallim) ialah seorang dokter, sedangkan seseorang yang menerima informasi (mukhāṭab). Jadi, demikian ini selayaknya seorang dokter yang tengah menerima pasien, ia semestinya harus mengetahui keadaan pasien yang hendak ditanganinya.

Lebih lanjut, mukhāṭab sendiri diklasifikasikan oleh beliau ke dalam tiga macam. Pertama, klasifikasi mukhāṭab seperti yang dicontohkan dalam bait di atas, khālī al-żihn, yakni ia yang kosong hatinya dari informasi yang disampaikan. Menghadapi mukhāṭab seperti ini maka ia tidak perlu diberi penegasan (taukīd). Lantas, khabar semacam ini dinamakan khabar ibtidā’ī (informasi awal). Kedua, klasifikasi mukhāṭab yang ragu-ragu dalam suatu hukum sekaligus bersikap skeptis terhadapnya.

Baca juga:  Membaca Catatan Harian Danarto Naik Haji

Menghadapi mukhāṭab semacam ini maka ia harus diberi penegasan agar informasi yang disampaikan dapat masuk ke dalam hatinya, sekaligus agar tidak terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak. Klasifikasi khabar yang kedua ini dinamakan ṭalab. Ketiga, klasifikasi mukhāṭab yang mengingkari hukum atau informasi yang disampaikan, bahkan ia berkeyakinan sebaliknya. Menghadapi mukhāṭab yang semacam ini maka wajib disertai dengan penegasan melalui satu dua kalimat atau mungkin lebih banyak lagi. Adapun ketiga sikap yang patut diambil oleh seorang mutakallim ini diistilahkan dengan muqtaḍā ẓahīr al-ḥāl, yakni penyampaian yang memperhatikan konteks, atau secara kontekstual.

Selain itu, beliau juga tidak jarang menyisipkan kisah inspiratif dari ulama ahli balāgah terdahulu, seperti kisah Patih Ḥajjāj yang didoakan buruk oleh Quba’sara. Terlepas dari benar dan tidaknya informasi tersebut, ketika Patih Ḥajjāj mendengarnya, lantas ia bermaksud mengancam Quba’sara agar disiksa atas kelakuan buruknya itu. Dalam perbincangannya, Patih Ḥajjāj mengatakan,  لاحملننك على الادهم “pasti aku akan menggiringmu sambil diikat rantai”. Dalam ungkapan ini, kata الادهم diartikan oleh Patih Ḥajjāj dengan “rantai besi”.

Lalu perkataan tersebut juga turut disahut Quba’sara dengan mengatakan, مثل الامير على الادهم والاشهب “selaiknya seorang raja yang pantas menunggangi kuda hitam dan kuda putih”. Di sini Quba’sara mengartikan الادهم dengan kuda “hitam”. Namun, Patih Ḥajjāj masih saja bersikukuh di atas pendapatnya tadi, bahwa makna الادهم adalah rantai besi. Begitu pula Quba’sara yang tak ubahnya memalingkan makna الادهم dengan makna kuda hitam yang cekatan dan lebih baik dari dungu (bebal). Alhasil, pada akhirnya Quba’sara dapat selamat dari ancaman Patih Ḥajjāj lantaran ia pandai dalam mengelola perbincangan beserta sikap yang patut diambilnya.

Baca juga:  Sepak Terjang Erdogan dalam Politik Turki

Dari sini kiranya dapat diambil hikmah yang begitu mengesankan perihal pentingnya memastikan validitas informasi yang beredar terlebih dahulu sebelum kita dengan mudah menerima dan mempercayainya. Lebih dari itu, sikap yang patut kita ambil dalam menghadapi setiap informasi dan seseorang yang menyampaikannya juga merupakan hal yang tidak dapat diabaikan. Lantas, kiranya dalam kondisi seperti demikian aspek muqtaḍā ẓahīr al-ḥāl menunjukkan signifikansinya.

Kemudian, unsur sufistik dalam kitab tersebut juga semakin nampak kentara ketika melihat salah satu bait ke 58 berikut:

كحبدا طريقة الصوفيه       تهدى الى المرتبه العليه

“Sebaik-baik perjalanan adalah perjalanan ahli tasawuf yang menunjukkan pada martabat yang mulia.”

Menurut beliau, perjalanan ahli tasawuf adalah perjalanan yang mulia. Tanpa ilmu tasawuf seseorang akan mengalami kesesatan. Sebaliknya, dengan ilmu tasawuf seseorang akan terhindar dari perbuatan-perbuatan negatif yang dapat menyebabkannya jauh dengan Sang Pencipta.

Demikian itu kira-kira sedikit ulasan mengenai unsur-unsur sufistik yang terkandung di dalam Jauhar al-Maknūn. Memang, hal demikian nampak tidak begitu dapat dipungkiri, mengingat menurut Syaikh Aḥmad al-Damanhūrī dalam karyanya, Īḍāḥ al-Mubham—yang tidak lain merupakan kitab syarḥ atas kitab Sulam al-Munauraq karya Syaikh al-Akhḍarī—menyebut Syaikh al-Akhḍarī sebagai salah satu kubbār al-ṣūfiyyah. Pada faktanya, sedikit banyak hal tersebut dapat dilihat dari setiap bait-bait nazam, baik secara tersirat di dalamnya, atau bahkan secara tersurat sebagai suatu contoh dari penjelasan balāgah yang tengah dibahas.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
1
Terinspirasi
1
Terkejut
1
Scroll To Top