Presiden Abdurrahman Wahid, pada 1 Januari 2001 memberikan otonomi khusus pada Papua. Anggaran dan serangkaian kebijakan Pemerintah Indonesia mengalami perubahan, jauh lebih baik. Dan seiring dengan itu, bendera Bintang Kejora boleh dikibarkan setinggi-tingginya, asal bendera Merah Putih jauh lebih tinggi.
Terkait bendera Bintang Kejora ini, Gus Dur ditentang, terutama oleh militer. Wiranto yang waktu itu Menkopolhukam memprotesnya secara langsung. Gus Dur teguh pendirian. Bintang Kejora, kata Gus Dur, itu identitas kultural, bukan politik, biar aja berkibar, seperti kita juga bendera PSSI.
Setahun sebelumnya, juga pada saat tahun baru, yakni 1 Januari 2000, Presiden Gus Dur memenuhi mengganti nama Irian Jaya menjadi Papua, sesuai permintaan masyarakat. Gus Dur memenuhi permintaan itu bukan saja nama Irian bernada politis, tapi juga Gus Dur menambahi argumentasi khas seorang ulama. “Nama Irian itu jelek,” kata Gus Dur. “Kata itu berasal dari bahasa Arab yang artinya telanjang. Dulu ketika orang-orang Arab datang ke pulau ini menemukan masyarakatnya masih telanjang, sehingga disebut Irian,” sebagaimana dikuti NU Online.
Dalil Gus Dur, baik saat membolehkan berkibarnya bendera Bintang Kejora ataupun nama Papua, terkesan apa adanya, sederhana, bahkan seperti melempar joke saja. Namun yang sebernarnya di Gus Dur sedeang menghormati kemanusiaan marayarakat Papua.
Almarhum Muridan Satrio Widjojo dari LIPI, pernah menulis menguatkan alasan Gus Dur membolehkan bendera Bintang Kejora. “Pernah menulis bahwa pengibaran bendera juga bagian dari ritual. Ini terkait kepercayaan kargoisme, atau dalam nomenklatur sejarah Jawa biasa disebut gerakan mesianik atau milenial, kerap disebut juga Ratu Adil: suatu gerakan keagamaan yang percaya bahwa akan datang zaman baru yang penuh kemakmuran, ditandai dengan datangnya pemimpin baru kiriman nenek moyang mereka. Dan pengibaran bendera merupakan ritus pemanggilan sang pemimpin,” sebagaimana ditulis Tirto.ID.
Tidak sedikit menilai Gus Dur akan “mengikhlaskan” Papua lepas dari Indonesia, apalagi Gus Dur sebagai presiden turut memfasilitasi Kongres Nasional Papua II 4 Juni 2000. Semua orang “sport jantung” melihat dukungan Gus Dur untuk acara itu. “Apa maunya Gus Dur?”
Tapi jangan salah, Gus Dur menolak rekomendasi kemerdakaan Papua hasil dari Kongres Papua itu. Dan ajaibnya, orang Papua tidak marah dengan statemen Gus Dur, bahkan Willy Mandowen, yang bertindak sebagai fasilitator kongres, mengakui komitmen Gus Dur untuk mendekati rakyat Papua dengan cara kemanusiaan adalah jalan terbaik.
Hari ini Papua “menghangat” lagi, terjadi anarkhisme saat demonstrasi di Manokwari, Papua Barat, siang tadi. Kejadian itu dipicu insiden di Surabaya di hari ulang tahun Republik Indonesia ke-74. Ironis, di saat hari kemerdekaan ada penangkapan dan rasisme menimpa lebih dari 40 mahasiswa asal Papua.
Atas insiden di Surabaya itu, Gubernur Jawa Timur Khofifah sudah minta maaf dan menegaskan jaminan keamanan warga Papua yang wilayahnya. Kapalri juga sudah memberi keterangan atas aksi demonstrasi yang ada di Manokwari.
Sekarang, kita menunggu Presiden Joko Widodo memberikan pernyataan yang cepat, dan yang lebih penting lagi menjamin harkat dan martabat manusia orang Papua seluruhnya, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, presiden RI ke-4.
LUAR biasa
Luar biasa
Luar biasa