Kira-kira 18 tahun lalu, di bulan Ramadhan tahun 2001, seorang alumni pesantren, asal Desa Sidorejo Bangsri Jepara, Taufiqul Hakim namanya, merampungkan penulisan kitab metode cepat membaca kitab kuning untuk pemula dengan target waktu tiga sampai enam bulan, yang diberi nama Amtsilati.
Kitab Amtsilati dirampungkan hanya dalam waktu sepuluh hari. Mulai tanggal 17, dan selesai tanggal 27 Ramadan. Namun kitab ini mujarab, dengan target tiga sampai enam bulan, santri bisa membaca kitab kuning. Bahkan anak lulusan Sekolah Dasar (SD), asal sudah bisa membaca tulisan Arab, bisa memahaminya.
Durasi waktu yang demikian singkat tentu mengejutkan, karena banyak santri yang memerlukan beberapa tahun sampai bisa membaca kitab kuning. Bahkan mungkin orang yang hanya mendengar kabar itu tak percaya.
Dalam memperkenalkan Amtsilati, Kiai Taufiq tidak hanya presentasi dengan ragam teori, namun beliau menyertakan bukti. Setiap seminar Amtsilati, beliau mengajak santri-santri yang masih kecil atau lulusan SD, untuk diuji di depan publik, bahkan beliau mempersilahkan pengunjung untuk turut serta seperti mengajukan redaksi dari kitab yang dikehendaki.
Lahir dari Sebuah Keresahan
Amtsilati tidak lahir begitu saja, tanpa sebuah latar belakang. Bermula dari pengalaman Kiai Taufiq saat nyantri di Pesantren Maslakul Huda dan belajar di Perguruan Islam Mathali’ul Falah (PIM) Kajen Pati di bawah bimbingan Kiai Haji Sahal Mahfud dan Kiai Haji Abdullah Salam.
Saat itu Kiai Taufiq mengalami kesulitan belajar membaca kitab kuning, mengingat sebelum mondok hanya mengenyam pendidikan yang porsi pelajaran agamanya sedikit.
Sebagai persyaratan wajib masuk PIM, Kiai Taufiq mau tidak harus menghafalkan Alfiah (kitab yang berisikan 1000 nazam gramatikal bahasa Arab), namun saat itu beliau belum tahu untuk apa Alfiah. Baru setelah kelas dua Aliyah, Kiai Taufiq sedikit demi sedikit mulai mengetahui bahwa Alfiah adalah pedoman dasar untuk membaca kitab kuning.
“Pengetahuan itu diawali dengan sering ditanyakannya oleh guru kelas dua Aliyah tentang dasar Alfiah tersebut” tulis Kiai Taufiq dalam buku Tawaran Resolusi Pendidikan Nasional: Berbasis Kompetisi dan Kompetensi.
Dari situ, kata Kiai Taufiq, mulai termotivasi dan girah untuk memahami Alfiah pun muncul, dan akhirnya sampai kepada sebuah kesimpulan, bahwa untuk membaca kitab kuning, tak semua nazam Alfiah (secara prioritas) digunakan untuk membaca kitab kuning. Menurut beliau hanya kisaran 100 sampai 200 nazam yang menjadi sekala prioritas, sedang yang lainnya sifatnya menyempurnakan.
Tahun 1995 Kiai Taufiq lulus dari Kajen. Bertepatan dengan kepulangan Kiai Taufiq, ada empat orang temannya yang juga ikut ke Bangsri Jepara, dengan tujuan bekerja di mebel. Empat orang ini hafal Alfiah, namun belum paham untuk apa Alfiah. Lalu Kiai Taufiq mulai melakukan pembelajaran sampai terkumpul 150 bait nazam Alfiah.
Selanjutnya, kedua ponakan beliau juga ikut mengaji, dan akhirnya beliau mendirikan majelis taklim yang diikuti hampir 100 santri—majelis taklim ini nantinya akan berkembang menjadi pondok pesantren Darul Falah.
Namun tak berlangsung lama, Kiai Taufiq, karena merasa kurang dengan ilmu yang dimiliki, beliau menyantri tarekat ke pesantren al-Manshur Popongan Klaten Jawa Tengah asuhan Kiai Haji Salman ad-Dahlawi seorang Mursyid Tarekat Naqsabandiyyah Kholidiyyah.
Seminggu setelah keberangkatan, ayah beliau dipanggil oleh Allah Yang Maha Kuasa, dan beliau tidak bisa mengantar jenazah ayahnya ke makam karena masih ada tugas dan jika memaksakan pulang pun sudah tidak ada angkutan.
Setelah tujuh hari ayahnya, dengan berbekal sumbangan dari tetangga berupa 20 kg dan uang 50 ribu, Kiai Taufiq kembali ke pesantren. Di Pesantren Kiai Salman ini, Kiai Taufiq juga ikut laden (pembatu tukang batu) membangun Pondok Pesantren al-Manshur dan bertekad tidak akan pulang sebelum mengkhatamkan mengaji tarekatnya. Namun mengaji tarekat yang biasanya ditempuh selama kurang lebih lima tahun, Kiai Taufiq dinyatakan lulus hanya dalam waktu seratus hari.
Kiai Taufiq pun lalu kembali ke kampung halamannya, tapi majelis taklim yang dulu ia rintis telah bubar, dan hanya satu murid yang kembali. Kiai Taufiq saat itu jadi tak punya aktivitas selain mengajar muridnya itu. Sampai pada suatu hari ada tetangganya yang pingsan dan tak ada yang bisa menyadarkan. Lantaran dibacakan ayat kursi oleh Kiai Taufiq, tetangga tersebut diberi kesadaran oleh Allah. Juga pernah ada anak sakit, dan sembuh lantaran Kiai Taufiq. Dari situ, nama beliau mulai dikenal masyarakat, dan mulai pula anak-anak desa belajar kepada beliau, begitu pula datang tamu-tamu untuk berobat.
Untuk memfasilitasi tempat belajar bagi murid-muridnya, Kiai Taufiq memutuskan membongkar rumahnya, dan membangun gubuk-gubuk kecil dan rumah beliau kembali. Yang demikian ini sempat mendapat tanggapan kurang mengenakkan masyarakat setempat, dan itu merupakan tantangan Kiai Taufiq sebagai perintis.
Tahun 1997, kiai Taufiq menikah dengan Nyai Faizatul Mahsunah, seorang wanita asal Demak yang hafal Alquran dan juga alumni Kajen. Nyai Faizah sudah dikenal beliau sejak di pesantren. Beliau mengenalnya dengan niat khitbah, yang kelak jika sudah punya kemampuan ekonomi, akan dinikahi. Walaupun sudah kenal sejak di pesantren, Kiai Taufiq tidak pernah melihat wajahnya, sampai waktu pinangan.
Sampai tahun 2000 pengajaran Alfiah dengan sistem guru menulis di papan tulis, lalu dibaca dan dipelajari bersama-sama dengan murid. Ternyata ada yang bisa menerima atau paham dan yang tidak karena sama sekali belum pernah belajar ilmu nahwu.
Lalu pada suatu saat, Kiai Taufiq mendengar adanya metode cepat membaca Alquran: Qiroati. Kiai Taufiq berpikir, kalau Qiroati adalah metode membaca yang ada harakatnya, beliau ingin membuat metode cepat membaca yang tidak ada harakatnya. Terbesitlah nama Amstilati, yang berarti “beberapa contoh dari saya”.
Mulai tanggal 27 Rajab, Kiai Taufiq mulai merenung dan terpikirkan untuk melakukan mujahadah. Dalam tarekat yang beliau ikuti, ada doa khusus, ketika seseorang ikhlas, akan diberikan jalan keluar oleh Allah dari masalah apa pun kurang dari empat hari.
Kiai Taufiq terus bermujahadah sampai tanggal 17 Ramadhan. Saat proses itu beliau kadang berziarah ke makam Kiai Ahmad Mutamakkin Kajen Pati. Di situ pula kadang beliau seakan berjumpa, dalam keadaan setengah tidur dan sadar, dengan Kiai Mutamakkin, Syekh Bahauddin an-Naqsabandi dan Imam Ibnu Malik.
Hari-hari itu, kata Kiai Taufiq, dorongan menulis sangat kuat. Siang malam beliau mengikuti dorongan tersebut, hingga akhirnya pada tanggal 27 ramadan, Amstilati selesai dalam bentuk tulisan tangan.
Begitu kira-kira cerita singkat kelahiran Amstilati, yang penulis kutip dari buku Tawaran Resolusi Pendidikan Nasional: Berbasis Kompetisi dan Kompetensi, yang terbit tahun 2004.
Metode Pembelajaran Amstilati
Amstilati dicetak dan pertama kali terbit berjumlah 7 jilid (jilid 1 sampai jilid 7), ditambah Rumus & Qoidah dan Khulasoh Alfiah Ibnu Malik. Lalu untuk edisi revisi, Amstilati terbit menjadi 5 jilid—Kiai Taufiq juga menulis kitab Sorfiah, yang berisi tasrif istilahi dan lughowi, yang dipadukan dengan kaidah i’lal dan diberi pengantar oleh Kiai Haji Moh Ilyas Ruhiat Cipasung . Biasanya mulai digunakan di jilid 4.
Rumus & Qoidah berisi materi nahwu-sorof, dan 5 jilid Amstilati bertugas membahasnya lengkap dengan contoh-contoh ayat-ayat Aquran—kadang juga contoh mengambil dari hadis Nabi, jika tak ditemukan ayat Alquran. Sedang Khulasoh Alfiah Ibnu Malik, berisi ringkasan nazam Alfiah, berjumlah 184 nazam beserta arti Arab Pegon, dan arti dalam bahasa Jawa dan Indonesia yang berbentuk syi’ir sesuai dengan nazamnya.
Setiap jilid dibimbing oleh satu ustaz—atau kalau murid terlalu banyak, kelas dibagi menjadi dua dan seterusnya, sesuai kebutuhan. Cara pembelajarannya, ustaz membacakan materi, lalu ditirukan murid-murid bersama, dilanjutkan ustaz memerintahkan murid membaca contohnya satu persatu. Kadang-kadang juga ditanya materi yang telah lewat.
“Min tanpa harakat dibaca Min menjadi Min. Min adalah huruf Jer, bermakna Sangking/Dari. Semua huruf termasuk huruf Jer hukumnya Mabni” begitu kira-kira pembimbing memulai.
Pembelajaran Amstilati bersifat fokus. Sehari ada empat pertemuan, ditambah dengan setoran hafalan setiap malam—kalau pada umumnya, setoran hafalan hanya setoran nazam, di Amstilati yang disetorkan adalah materi berserta nazamnya. “Huruf Jer antara lain? Sebutkan!…. Dasarnya (nazam)!…” begitu kurang lebih cara pembimbing menanyai anak yang setoran hafalan.
Sistem pembelajaran Amstilati bersifat kompetisi dan kompetensi. Anak yang sudah bisa boleh mengajukan tes—dulu saat penulis masih mondok, tes dilaksanakan setiap hari Senin dan Kamis. Murid diizinkan mengikuti tes tulis setelah lolos tes lisan—dan jika lulus akan naik jilid. Yang begini ini memicu semangat untuk segera mengkhatamkan Amstilati. Penulis dulu merasakan langsung bergegas belajar dan mengejar hafalan, saat tahu teman satu angkatan lebih dulu naik jilid.
Setelah murid lulus jilid 5, murid akan memasuki kelas praktik. Di sini murid dibimbing menerapkan materi yang telah diajarkan, dengan membahas kalimat per kalimat—yang diambil dari Alquran, Hadis maupun kitab kuning—mulai wazan, jenis, mufrod-musanna-jama’, nakiroh-ma’rifat dan seterusnya, lalu juga dianalisis susunannya, apakah termasuk jumlah ismiyah atau fi’liyah, sampai pada akhirnya dicari maknanya dalam kamus—menggunakan kamus Munawir karya Kiai Warson Munawir atau kamus at-Taufiq karya Kiai Taufiq sendiri, yang dilengkapi makna bahasa Jawa. Melihat bentuk dan susunan entri-entrinya, kata Gus Mus dalam kata pengantarnya, kamus At-Taufiq ini bisa disebut kamus santri.
Dalam pengajian bandungan setelah salat Magrib dan Subuh, Kiai Taufiq juga sering bertanya kepada santri sesuai dengan tingkatan jilid Amstilati. Kadang juga beliau meminta santri meneruskan membaca kitab kuing, lalu ditanya alasan dibaca demikian, dan diminta menyebutkan dasarnya dari nazam Khulasoh Alfiah. Santri yang tak bisa menjawab sampai hitungan ke tiga (ada salah satu santri yang bertugas menghitung. Penghitungan menggunakan bahasa jawa: setunggal, kaleh, tigo) dihukum berdiri.
Salah satu terobosan Amstilati, sebagai metode cepat membaca kitab kuning, adalah kepiawaian Kiai Taufiq membuat Rumus, yang efektif digunakan mengelupas kata per kata maupun struktur kalimat-kalimat berbahasa Arab.
Setiap kali murid menjumpai sebuah kata, murid dituntut menggunakan Rumus Utama:
Bedakan setiap kata antara:
A. Isim
B. Fiil
C. Fiil
Lalu jika setelah dianalisis ciri-cirinya, kata tersebut termasuk isim, dilanjutkan menerapkan rumus A1:
Bedakan antara:
1. Nakirah atau ma’rifat
2. Mabni atau mu’rob
3. Mudzakar atau muannas
4. Mufrod atau musanna atau jama’
Setelah A1 ketemu, lalu dilanjutkan dengan rumus A2, yang fokus pada wazan sebuah kata, dan yang terakhir rumus A3 yang bertugas menganalisis struktur.
Hal yang sama juga terapkan jika kata ditemui fiil, dengan menggunakan rumus B1, B2 dan B3.
Dalam kelas praktik, ada juga rumus yang digunakan ketika terjadi keserupaan sebuah kata, istilahnya melakukan tarjih. Kelas praktik menggunakan dua jilid kitab tatimmah, yang berisi tabel beberapa kata yang serupa dalam bahasa Arab.
Amstilati diberi kata pengantar oleh dua guru Kiai Taufiq: Kiai Haji MA Sahal Mahfud dan Kiai Haji Salman ad-Dahlawi. Kiai Taufiq sampai sekarang terus menerus menulis karya. Menurut catatan Dr. Jamal Ma’mur Asmani, MA dalam buku Sang Pembaharu Pendidikan Pesantren (biografi Kiai Taufiq, terbit 2019), ada 79 karya yang sudah lahir dari tangan Kiai Taufiq—bahkan menurut keterangan santri awal, karya Kiai Taufiq lebih dari jumlah itu. Bulan lalu, menjelang Ramadhan, di acara pertemuan alumni Amstilati Nasional, Kiai Taufiq juga membagikan karya terbarunya kepada para alumni, yang berjudul al-I’tiqod, yang berisi argumen-argumen menolak paham Wahabi.
Terakhir, Kiai Taufiq sering berpesan kepada para santri untuk tidak sombong dengan ilmu yang dimiliki. “Amstilati adalah jembatan, jika telah khatam lanjutkan belajar kitab-kitab yang lebih sempurna” begitu kira-kira pesan Kiai Taufiq yang penulis ingat.