Sedang Membaca
Sabilus Salikin (47): Ketetapan Malamatiyah
Redaksi
Penulis Kolom

Redaksi Alif.ID - Berkeislaman dalam Kebudayaan

Sabilus Salikin (47): Ketetapan Malamatiyah

Ilustrasi Dzikir

Ketetapan-ketetapan Malamatiyah adalah sebagai berikut:

  1. Tidak menampakkan dan tidak menyembunyikan kejelekan. Artinya, Sâlik Malâmatiyah melakukan sesuatu dengan ikhlâs, melaksanakan sesuatu dengan kesungguhan hati tidak suka menunjukkan amal (zhahir) dan hal (amal hati atau batin) kepada seseorang;
  2. Sâlik Malâmatiyah berpegang teguh pada keikhlâsan, mereka memandang bahwa menyembunyikan ahwal (keadaan hati/batin)merasa nikmat, jika sampai amal ahwal mereka terlihat oleh seseorang sehingga Sâlik merasa gelisah sebagaimana orang yang berbuat maksiat merasa gelisah karena kemaksiatannya diketahui orang;
  3. Sâlik Malâmatiyah lebih mengedepankan keikhlâsan, sementara para shufi menghilangkan keikhlâsan.

Abû Ya’qub al-Susi berkata: “Ketika Sâlik Malâmatiyah menemukan keikhlâsannya secara ikhlâs maka mereka butuh keikhlâsannya dengan ikhlâs”. Sebagian ‘Ulama’ berkata: “Ikhlâs yang benar adalah melupakan pandangan kepada makhluk dengan terus menerus memandang kepada Allah SWT yang haq, sementara Sâlik Malâmatiyah memandang makhluk sehingga dia menyamarkan amal dan halnya”.

Ja’far al-Khâlidi bertanya kepada Imâm Junaid (Baghdad, w. 297 H/910 M.) tentang perbedaan ikhlâs dan shiddiq. Imâm Junaid berkata: “Shiddiq adalah pokok dan permulaan, sementara ikhlâs adalah cabang dan yang mengikuti, keduanya juga memiliki perbedaan karena ikhlâs tidak akan muncul sebelum ada perbuatan”.

Imâm Junaid berkata : “Ikhlâs adalah kemurnian dan pemurnian, dimana kemurniannya terbentuk dalam proses pemurnian itu”. Keadaan Sâlik Malâmatiyah berupa keikhlâsan seperti ini, sedangkan proses pemurniannya merupakan keadaan para shufi dan kemurnian yang terbentuk dari proses itu merupakan hasil.

Baca juga:  Sabilus Salikin (114): Tarekat Alawiyah

Sâlik Malâmatiyah menyembunyikan keadaan mereka untuk 2 hal:

  1. Mewujudkan kejujuran dan keikhlâsannya;
  2. Untuk menutupi keadaannya dari rasa cemburu orang lain.

Diceritakan dari Ibrâhîm bin Adham beliau berkata: “Aku sampai di suatu desa bersamaan hujan yang lebat, angin musim dingin mengenaiku, sehingga tambalan bajuku robek, kemudian aku sampai di masjid dan aku tidak diperkenankan masuk ke dalam masjid itu, aku mencoba masuk kedua dan ketiga kalinya sehingga aku lelah tak berdaya. Tiupan angin dingin hampir membinasakanku kemudian aku masuk ke pemandian, aku mengeringkan pakaianku di atas api, sampai-sampai asap api mengenai pakaian dan wajahku, keadaan itu sampai tengah malam”.

Ibrâhîm bin Adham adalah salah satu `ulama’ besar pada zamannya yang dalam perjalanannya kehujanan, beliau mencari tempat berteduh di masjid, dan oleh petugas masjid sampai tiga kali. Ibrâhîm bin Adham tidak marah dan mencari tempat lain untuk berteduh, (Kasyf al-Mahjûb, halaman: 264-265).

Zikir Tarekat Malâmatiyah

Dalam tarekat Malâmatiyah zikir dibagi menjadi 4 macam:

  1. Zikir Lisan: dilaksanakan Sâlik dengan menggunakan lisan sementara hatinya lupa, Sâlik masih mengharapkan pahala atau ingin mencapai maqâm-maqâm tertentu dan ingin diterima di kalangan tertentu. Ini adalah zikir Sâlik umum;
  2. Zikir Qalb (hati): setelah Sâlik bisa melaksanakan zikir lisan dengan baik, selanjutnya Sâlik menghentikan zikir lisan dan beRAlih melaksanakan zikir qalb (hati).
Baca juga:  Al-Ajwibatus Syafiyah: Himpunan Fatwa KH. Raden Muhammad Nuh Cianjur (1966)

Sâlik pada tahap ini menghitung kenikmatan-kenikmatan yang diterima sementara dia lupa terhadap dzat pemberi nikmat, sibuk memperhatikan karunia lupa terhadap pemberi karunia, ingin mendapat pahala, merasa sudah mencapai maqâm-maqâm tertentu. Ini adalah bentuk terendah dari kedudukan terendah dan paling jauh. Munculnya keinginan batin yang memandang pada tujuan sebagai pertimbangan perwujudan awal;

  1. Zikir Sirri: setelah Sâlik melaksanakan zikir lisan dan qalb lalu Sâlik menghentikan kedua zikir tersebut dan beRAlih melakukan zikir sirri.

Kendala yang ada pada zikir sirri adalah terpautnya pengaruh zikir qalb.

Zikir sirri adalah zikir keagungan, disebut juga Haibah atau zikir sifat, ini mulai diRasakan Sâlik sebagai pendekatan (Taqarrub). Zikir ini menimbulkan Rasa takut, tunduk dan khawatir. Timbulnya Rasa khawatir (Haibah), Rasa wujud dan ini kebalikan Fana’;

  1. Zikir Ruh: setelah Sâlik bisa melaksanakan zikir lisan, qalb dan sirri lalu Sâlik menghentikan ketiga zikir tersebut dan berganti dengan zikir ruh. Kendala awal yang dialami oleh Sâlik pada zikir ruh adalah munculnya zikir sirri terhadap ruh. Ini adalah zikir musyahadah, (Majmû’ah al-RAsâil al-Imâm al-Ghazâli fi RAudhah al-Thalibîn, halaman: 104-105).

Secara muamalah tarekat Mulamatiyah menghilangkan kedudukan di dalam hati makhluk dengan cara melakukan sesuatu yang menjadi bahan makian makhluk sehingga hilanglah kedudukan Sâlik Malâmatiyah di dalam hati manusia. Sâlik Malâmatiyah memishakan diri dari kerumunan kehidupan manusia untuk dapat diterima di hadapan Allah SWT Merasa tenang dengan menyembunyikan jati diri dan ditolak oleh manusia umum dan diterima oleh Allah SWT

Baca juga:  Menelusuri Penyusun Kitab Tahliyah: Ironi Pesantren

Diceritakan bahwa sebagian para Raja bermaksud menemui ahli zuhud, ketika Raja itu sudah dekat, zâhid (orang zuhud) itu meminta makanan dan minuman yang banyak. Dia (zâhid) makan dengan suapan yang besar. Raja yang melihat tingkah zâhid tersebut lalu memalingkan wajah dan pergi. Sang zâhid berkata: ”Alhamdulillah segala puji bagi dzat yang telah memalingkanmu dariku”.

Untuk menghindari kemuliaan yang diberikan oleh Raja atau pemimpin negara, sebagian dari zâhid (bahkan) ada yang meminum-minuman halal yang dimasukkan ke dalam botol khamr (minuman keras). Sehingga para pejabat menyangka bahwa zâhid itu minum khamr, (Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, juz 3, halaman: 255).

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Scroll To Top