Sedang Membaca
Pengembaraan Kiai Thoifur Madura Mencari Ilmu
Kholili Kholil
Penulis Kolom

Alumni Pesantren Lirboyo-Kediri. Saat ini mengajar di Pesantren Cangaan Pasuruan, Jawa Timur.

Pengembaraan Kiai Thoifur Madura Mencari Ilmu

  • Di pondok Syaichona Kholil itu Kiai Thoifur belajar berbagai kitab “kelas menengah” seperti Shohih Bukhori, Sullamul Munawraq, dan lain-lain. Di kemudian hari Kiai Abdullah mengambil Kiai Thoifur sebagai menantunya.

Suatu ketika seorang kiai alim asal ujung utara Pulau Madura ditawari gelar doctor honoris causa dari sebuah kampus ternama. Namun dengan santun kiai tersebut menolaknya. Ketika ditanya tentang ini dia berkata, “Malu nanti yang mau pakai toga.” 

Adalah Kiai Thoifur yang kita bicarakan kali ini. Ia tak lain putra dari seorang mursyid ternama di Sumenep, Kiai Ali Wafa. Siapakah Kiai Thoifur?

Ia lahir di Ambunten Sumenep pada tahun 1964 (20 Sya’ban 1384 H). Umurnya relatif muda. Kini ia menjadi pengasuh Pesantren As-Sadad.

Beberapa tahun belakangan, publik mengenalnya melalui karangannya yang sangat banyak dalam berbagai bidang ilmu keislaman.

Saya mengetahui kitab karangan beliau pertama kali ketika digunakan sebagai rujukan dalam sebuah forum Bahtsul Masail NU, kitab itu berjudul Bulghotut Thullab.

Selain Bulghoh, ada beberapa karangan beliau yang lain semisal Tafsir Firdausun Na’im yang dicetak sebanyak tujuh jilid dan juga Misanul Lashif Syarh Matan Syarif. Kitab terakhir ini adalah syarah setebal seribu halaman atas kitab Matan Syarif karya Syaichona Kholil Bangkalan.

Kecintaannya terhadap ilmu memang sudah tampak sejak kecil. Berbagai macam tirakat untuk melancarkan proses ilmiah sudah dilakukan sejak belia.

Dalam otobiografinya yang berjudul Manarul Wafa, Kiai Thoifur menyebut bahwa ayahnya melarangnya untuk memakan ikan laut dan makanan pasar. Sebagaimana sudah maklum dalam tradisi pesantren, dua makanan ini memang menjadi “musuh utama” para santri. Karena kitab pedagogis standar pesantren, Ta’limul Muta’allim, menyebut bahwa dua makanan ini adalah penyebab tumpulnya otak. Konon katanya ikan laut selalu mendoakan pencari ilmu. Maka sebagai wujud balas budi, pencari ilmu dilarang makan ikan laut.

Baca juga:  Syekh Abdul Qadir al-Jailani Terlambat Menikah. Mau meniru?

Kiai Thoifur mengenang bahwa ia pertama kali makan ikan laut—sejak mulai menghindarinya di usia enam tahun—adalah ketika berusia 20-an tahun. Saat itu gurunya, Syekh Ismail Zain Mekkah, menyodorinya ikan laut ketika makan dalam satu nampan. Ia pun terpaksa memakannya.

Selain keteguhan berprinsip, satu sifat lagi yang ia warisi sejak kecil adalah semangat menghafalkan. Masih dalam kitab Manarul Wafa, ia menceritakan ketika ayahnya mengadakan walimatul khitan, ia mendapat tugas menghafalkan Maulidul Azb yang nantinya akan ia baca ketika acara. Dia pun berhasil menghafalkannya. Kelak beliau membuat syarah atas nazham Maulidul Azb berjudul Nailul Arb.

Ketika menginjak usia remaja, Kiai Thoifur  pergi ke Demangan Bangkalan untuk mencari ilmu kepada seorang kiai masyhur, KH. Abdullah Schal. Kiai Abdullah adalah cicit Syaichona Kholil Bangkalan. Di pondok Syaichona Kholil itu Kiai Thoifur belajar berbagai kitab “kelas menengah” seperti Shohih Bukhori, Sullamul Munawraq, dan lain-lain. Di kemudian hari Kiai Abdullah mengambil Kiai Thoifur sebagai menantunya.

Sebelum pergi ke Mekkah untuk berguru kepada Syekh Ismail Zain, Kiai Thoifur melanjutkan pengembaraannya di berbagai pondok di tanah Jawa, di antaranya Lasem Rembang dan Batokan Kediri. Di pondok terakhir ini beliau mengaji kepada Mbah Kiai Jamal pengasuh Batokan kala itu.

Baca juga:  Kemitraan Perempuan dan Laki-laki

Setelah itu dia melanjutkan rihlah ilmiahnya menuju kota suci Mekkah. Di kalangan pesantren Mekkah dan Yaman memang sering menjadi jujugan para gus untuk menuntut ilmu secara informal.

Di Mekkah Kiai Thoifur berguru kepada guru-guru (syekh) ternama. Di antara para masyayikh yang beliau serap ilmunya adalah Syekh Abdullah bin Ahmad Dardum dan Syekh Ismail Zen. Kepada nama pertama Kiai Thoifur banyak mengambil ilmu nahwu. Memang Syekh Abdullah Dardum dikenal sebagai Sibawaihi ashrih, Sibawaih masa itu di Hijaz.

Di masa-masa ini Kiai Thoifur mulai mempelajari seni tulis menulis (fannul kitabah) yang mana hal ini di masa mendatang membuat beliau dikenal sebagai kiai yang sangat produktif (muktsirut ta’lif).

Sedangkan kepada Syekh Ismail, Kiai Thoifur banyak mengambil berbagai macam ilmu utamanya fikih. Syekh Ismail Zen seringkali meminjamkan kitab-kitabnya agar dibaca Kiai Thoifur. Hubungan keduanya semakin dekat. Kiai Thoifur seringkali disuruh mencatat hal-hal yang dianggap Syekh Ismail penting. Bahkan di kemudian hari Kiai Thoifur diangkat sebagai asisten pribadi Syekh Ismail. Banyak kitab Syekh Ismail berasal dari diktean beliau kepada Kiai Thoifur yang dengan tekun mencatatnya.

Sejauh ini, tercatat dalam Manarul Wafa tidak kurang dari lima puluhan karangan Kiai Thoifur mulai dari fikih, nahwu, balaghoh, hingga sirah Nabi saw. Mengenai keproduktifannya, Kiai Thoifur menceritakan bahwa dia pernah bermimpi bertemu Syekh Yasin bin Isa al-Fadani. Dalam mimpinya Syekh Yasin mengajari beliau tips-tips mengarang kitab.

Baca juga:  Masjid Sunan Ampel: Makna Arsitektur Islam Nusantara

Demikianlah sedikit kisah tentang kiai alim dan produktif dari ujung Pulau Madura. Semoga bisa diambil teladan.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
3
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
2
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top