Di dusun, ada satu kebiasaan yang cukup paradoks dengan zaman modern ini. Ketika efektivitas dan efisiensi dijunjung tinggi di kota-kota besar masa kini, dusun lebih mengutamakan tata krama dan persaudaraan meski terkadang kurang efektif dan efisien.
Satu contoh kebiasaan di dusun yang saya maksud kurang efisien adalah pemberitahuan berita kematian atau lelayu. Orang dusun lebih mengutamakan untuk memberikan surat pemberitahuan lelayu secara langsung kepada orang yang dituju, atau tatap muka. Meski teknologi sudah masuk dusun, sinyal telekomunikasi seluler cukup kencang, kabar lelayu tak mungkin disampaikan via SMS apalagi WhatsApp.
Kelompok masyarakat yang bertugas membuat surat pemberitahuan lelayu—biasanya para pemuda—akan menggandakan surat tersebut menjadi sekitar 150 – 250 lembar. Beberapa di antaranya dibagi ke dusun-dusun sekitar, keluarga yang tinggal di daerah lain yang sekiranya bisa dijangkau, dan keluarga dari warga dusun tersebut yang tinggal di wilayah lain. Kebisaan seperti ini masih dilakukan –sebagai contoh– di dusun saya di Panjangrejo, Bantul, DIY.
Para pemuda melakukan koordinasi. Setiap satu atau dua orang biasanya mendapat jatah 20 – 25 surat (mungkin ada yang lebih), dengan alamat yang berdekatan satu sama lain. Mereka bukan pengangguran. Jadi, jika ada lelayu sewaktu hari kerja, surat pemberitahuan diantarkan sebelum berangkat kerja. Kalau kerjanya masuk jam 07.00 WIB, misalnya, pukul 05.30 mereka sudah mulai membagikan surat-surat itu. Kalau jam kerjanya sore atau malam, tentu membagikan surat lelayu tidak terlalu terburu-buru. Biasanya, rentang waktu antara selesainya pembagian surat lelayu dengan pemakaman jenazah itu minimal lima jam.
Tugas semacam itu sudah menjadi kesadaran pemuda di dusun (kecuali satu-dua orang yang anti sosial), melaksanakannya tanpa perlu disuruh. Otomatis. Mereka melakukannya dengan senang hati tanpa mengharapkan imbalan.
Sadar atau tidak, sebenarnya membagikan surat pemberitahuan lelayu secara langsung memberikan efek yang berbeda dengan sekadar mengumumkan kabar via pengeras suara di masjid saja. Ini soal rasa guyub bertatap muka yang masih terjaga di dusun. Apalagi kok hanya lewat media sosial. Rasanya bukan kita banget, kecuali mereka yang dikabari itu tinggal di luar kota atau luar negeri. Pada perkembangannya, pemberitahuan lewat pengeras suara di masjid juga dilakukan, tapi tatap muka tidak dihilangkan.
Mengirim kabar via WA kadang-kadang menimbulkan salah persepsi, apalagi kalau sudah centang dua berwarna biru, tetapi belum dibalas. Bagi yang mau cari aman biasanya akan mengatur WA “no read receipts” sehingga pengirim pesan tidak tahu pesan sudah dibaca atau belum, atau yang lebih banyak pengikutnya adalah settingan “last seen: nobody” sehingga orang tidak akan tahu jam berapa terakhir kita buka WA .
Memberitahukan surat lelayu secara langsung membuat penerima kabar merasa dianggap saudara, sehingga dia akan lebih berempati dan datang ke acara pemakaman dengan sukarela meski sedang repot. Yang perlu digarisbawahi, pemberitahuan lelayu secara langsung itu bertujuan untuk mempererat persaudaraan, merekatkan tali silaturahim, bahkan menyambung tali yang barangkali sudah putus, dan bukan perkara datang atau tidaknya orang yang diberitahu.
Hal yang mengharukan, orang-orang dari dusun tetangga yang bahkan tidak kenal, pun datang berlelayu. Mereka biasanya mendengar pengumuman melalui masjid atau getok-tular (kabar dari mulut ke mulut) antarwarga. Sepengalaman saya, ada sekitar 15 – 20 dusun tetangga yang diberitahu tentang kabar orang meninggal tersebut. Walaupun dari dusun – dusun tersebut tidak semuanya datang, paling tidak ada 5 – 10 orang datang ke lokasi orang meninggal.
Bagi saya ini adalah pendidikan persatuan dan kesatuan yang luar biasa. Bagaimana tidak, walaupun tidak ada hubungan keluarga, baik secara kedekatan dalam kehidupan sosial atau pun karena satu darah, mereka mau datang untuk takziah, mendoakan, menghormati orang yang meninggal. Maka, tidak mengherankan jika ada orang meninggal di dusun, banyak sekali yang takziah, termasuk mentakziahi mereka yang semasa hidup berkelakuan tidak baik. Sebelum diampuni Tuhan, setidaknya ia telah dimaafkan oleh para tetangganya.
Bukankah itu pengejawantahan ajaran agama yang begitu membumi. Empati, hormat kepada orang lain, persaudaraan, persatuan dan kesatuan bahkan membalas keburukan dengan kebaikan terangkum dalam kegiatan tersebut. Ketika orang-orang sibuk bertengkar masalah agama dan politik di belantara internet, orang dusun sibuk mengamalkan kebaikan, menjalin persaudaraan, membangun kemesraan satu sama lain. Saya kira Indonesia beruntung mempunyai rakyat seperti itu.
Tepuk Anak Sholeh dan Ilir-Ilir
Kekompakan dan persatuan warga dusun juga tampak pada kehidupan anak-anak melalui Taman Kanak-kanak Alquran dan Taman Pendidikan Alquran (TKA-TPA). Saya masih ingat ketika belajar di TPA dan diajari “tepuk anak sholeh”. Tepuk anak soleh….. *prok prok prok….* Rajin ngaji… *prok prok prok… *. Bukan hanya kalimatnya yang sekali dengar langsun hafal, tetapi juga teriakan – teriakan yang terkadang fals dari anak – anak. Dulu saat masih SD, orang tua saya selalu ngoprak – oprak supaya saya berangkat ke masjid untuk mengikuti kegiatan TKA – TPA pada sore hari. Saya terkadang merasa marah dan kesal karena keasyikan terganggu.
TKA—TPA di dusun menjadi kegiatan yang tidak hanya memfasilitasi anak – anak usia PAUD sampai SMP belajar membaca Alquran dan keagamaan, tapi banyak hal di luar itu. Melantunkan ayat Alquran, bernyanyi, tepuk -tepuk, berdongeng. Hal ini mengingatkan kepada cara dakwah Walisongo, misalnya melantunkan lagu Ilir-ilir dan Gundul – Gundul Pacul.
Pembelajaran kehidupan yang luar biasa terkandung di dalam syair Ilir-ilir, yang menceritakan kriteria negeri yang baldatun thoyyibatun wa rabbun ghoffur, gemah ripah loh jinawi, tata titi tentrem kerto raharjo dan diampuni Allah. Adapun Gundul-Gundul Pacul menggambarkan kriteria pemimpin yang ideal.
Tidak semua orangtua di dusun mampu membiayai anaknya untuk belajar di pondok pesantren. Maka, TPA cukup efektif untuk mendidik anak belajar Alquran, fikih, akhlak, dan tarikh. Bagi saya, itu adalah sebuah cermin dari kebahagiaan yang paripurna. Agaknya seperti itulah Islam. Ini sejalan dengan apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad. Beliau begitu sayang kepada anak – anak. Salah satu cerita yang sudah banyak diketahui adalah ketika beliau sholat saat sedang sujud cucu beliau naik ke atas punggung, beliau tidak lantas segera bangun dari sujud, beliau menunggu cucunya turun dari punggung kemudian bangun dari sujud.
Di pemberitaan nasional, kita tahu bahwa sekarang Islam terkesan tidak ramah. Kelompok ini bertengkar dengan kelompok itu hanya gara-gara beda posisi tangan ketika salat, beda interpretasi jari telunjuk ketika tahiyat akhir, beda jumlah rakaat tarawihtarawih, hingga beda paham antargolongan (sunni, syiah, ahmadiyah, dll) serta beda memaknai hidup berislam di dalam konteks negara demokratis. Konflik semakin absurd saat memasuki tahun politik. Ada-ada saja yang membuat pertengkaran tersulut.
Mari kita melongok lagi dusun-dusun. Mari belajar dari dusun. Salam persaudaraan dari dusun….