Aspek keindahan tasawuf yang lain dapat dilihat pada bentuk-bentuk arsitekural dan kaligrafi. Tentu saja seni plastis (visual) semacam miniatur, seperti dikatakan Nasr, bisa dimasukkan di antaranya. Ketiganya bisa berada dalam suatu “ruang” arsitektur, atau terpisah-pisah sebagai bentuk seni tersendiri.
Dalam sebuah bangunan masjid atau “pondok” sufi, miniatur bisa hadir bersama kaligrafi yang keduanya saling menjelaskan, persis seperti pada kitab atau buku penuh hiasan ornamentik dengan objek bahasan tasawuf. Tapi kaligrafi sebagai seni yang monumental tentu berdiri sendiri, sebagai ungkapan yang memiliki pesan yang kuat.
Salah satu potensi tasawuf yang paling berterima di sisi kemanusiaannya, selain yang berkaitan dengan hubungan dengan Sang Khalik, adalah kemampuannya beradaptasi dengan lingkungan geo-budaya tempatan. Karenanya, meskipun tak berdakwah secara langsung, perilaku para sufi ini mampu menarik perhatian masyarakat yang beragam terhadap Islam.
Salah satu teori masuk dan menyebarnya Islam secara merata di nusantara, misalnya, adalah model pendekatan sufistik. Di mana musik, pertunjukan rakyat dan kreativitas kesenian yang cair dijadikan media pengajaran yang efektif. Termasuk kemudian bagaimana tinggalan bangunannya, yang berkaitan langsung dengan ibadah, maupun yang berupa bangunan pendukung kegiatan belajar dan persemayaman, disesuaikan tidak hanya dengan tradisi setempat namun juga kondisi geografisnya.
Di berbagai belahan dunia, bangunan-bangunan itu masih “hidup” dan dihidupi hingga sekarang, dengan karakter khasnya masing-masing. Baik sekadar bentuk kubus dengan menara-menara yang tinggi, maupun yang dipengaruhi konsep wujudi-Isyraqi (emanasi) dengan bentuk muqarnas (kubah stalaktit) yang rumit dan indah.
Ka’bah merupakan pusat dari peribadatan umat Islam. Bentuk kubusnya yang sederhana, seperti dikatakan Titus Buckhardt, berhubungan dengan ide tentang pusat yang merupakan sintesis dari keseluruhan ruang. Ia kosong dan tempat menghadap (kiblat) bagi semua orang Islam dalam ibadahnya, termasuk ketika seseorang meninggal jasadnya dihadapkan ke Baitullah ini.
Para sufi menghadapkan dirinya sepenuhnya pada kekosongan, atau ketidakkosongan itu, yang merupakan “rumah” Allah di bumi. Semua bangunan indah tempat peribadatan dihadapkan ke sana pula, yang bermacam-macam bentuknya. Dari model gubuk namun terasa bersesuaian dengan alam, yang atapnya bertingkat-tingkat menyimbolkan manifestasi kehadiran Tuhan, hingga yang mengadopsi bangunan tinggalan zaman Hindu dan Bizantium dengan kubah-kubah raksasa.
Beberapa masjid, dan bangunan suci lainnya, adakalanya dibangun dengan dasar pengetahuan geometri yang terukur dan teratur. Ini tiada lain untuk memberi kesan keagungan dan perlindungan yang kokoh, dan agar setiap yang hadir di dalamnya merasakan nilai-nilai universal kesucian, keindahan (jamal) dan keagungan (jalal) Allah Sang Maha Arsitek.
Arsitektur suci Islam, kata Nasr, merefleksikan realitas makhluk Tuhan melalui ilmu pengetahuan yang menjadi dasar bagi struktur arsitektur dan makhluk (tubuh sebagai “rumah” spiritual—qalbul mu’min baitullah). Dengan mengerjakan salat di dalam masjid, seorang muslimkembali ke rumah kehidupan, ke pusat alam, bukan secara eksternal tapi melalui hubungan batin yang menghubungkan masjid dengan prinsip-prinsip dan irama alam. Di dalamnya ada kesatuan (penyatuan, tauhid) yang menjadi dasar arsitektur Islam.
Seminim-minimnya hiasan yang ada di masjid selalu ada kaligrafi Arab, baik sebuah kutipan ayat atau sekadar tulisan Allah dan Muhammad. Kaligrafi sendiri menurut Nasr, adalah seni suci yang menyebarkan pesan-pesan Ilahi, melalui al-Qur’an.
Selain makna harfiahnya yang menjadi sumber hukum Islam, kaligrafi memiliki kandungan simbolik pada huruf-hurufnya dan pola rangkaiannya yang indah, yang di dunia tasawuf memiliki banyak segi dan fungsi baik terkait pendidikan, pengobatan, maupun wujud kehadiran yang ilahi—yang esoteris.
Selama berabad-abad kaum muslimin telah mempraktekkan kaligrafi tidak sebatas bentuk tulisan yang indah, yang merupakan tanda kebudayaan tradisional, namun lebih-lebih untuk mendisiplinkan jiwa. Demikian kata Nasr, seorang kaligrafer (khaththath) bisa merasakan ketika menarik garis dari kanan ke kiri, ia menyadari tengah bergerak dari garis pinggir menuju ke hati yang juga terletak di sebelah kiri tubuh.
Bahwa dengan mengkonsentrasikan dirinya, saat menuliskan kata-kata dalam bentuk yang indah itu, manusia membawa unsur-unsur jiwanya yang tercerai-berai kembali ke pusatnya.
Bentuk seni visual yang lain adalah lukisan miniatur. Umumnya bentuk ini muncul di dalam kitab (buku) keagamaan yang berkaitan dengan para sufi. Ia memiliki pola naratif yang “menjelaskan” bagian isi kitab secara ilustratif.
Meskipun bentuk-bentuk perupaan semacam ini banyak dikecam oleh para fuqaha, para sufi dapat menerimanya karena dapat me”wujud”kan kisah-kisah (hikmah) sufi secara langsung. Selain itu, seperti dikatakan Nasr dalam Spiritualitas dan Seni Islam, sebagian besar miniatur Persia tidak melukiskan dunia profan, melainkan lebih jauh dunia ‘antara’ yang berada di atas dunia fisikal, yang menjadi gerbang menuju tingkatan wujud yang lebih tinggi.