Mahasiswa Universitas Islam Malang.

Menyikapi Gerakan Islam Transnasional: Kembali kepada Islam Moderat

Whatsapp Image 2021 06 17 At 7.43.59 Pm

 

Persoalan bangsa di dunia, dalam konteks umat beragama di semua negara, memiliki kesamaan. Secara umum ada empat hal atau paham yang merusak toleransi. Konservatisme atau fanatisme, radikalisme, ekstrimisme, dan terorisme. 

Konservatisme dan fanatisme masih berkaitan, yaitu paham atau perilaku keagamaan yang secara ketat memelihara dan mempertahankan ajaran yang dianggap murni, kemudian  juga berusaha mempraktikkan hal itu secara fanatik.

Radikalisme yaitu paham atau perilaku keagamaan yang berusaha melakukan perubahan sosial, politik, dan keagamaan, sesuai dengan paham mereka dengan cara revolusioner. Ekstrimisme yaitu paham atau perilaku keagamaan yang meyakini hanya pahamnya saja yang benar dan lainnya salah atau sesat, sehingga harus dilawan dan diperangi pengaruhnya. Penganut paham ini mengekspresikannya dengan kekerasan.

Img 20210617 Wa0012

Ekstrimisme ketika dilakukan menjadi perilaku maka disebut terorisme, paham ekstrem yang diwujudkan pada perilaku keagamaan menjadikan kekerasan atau teror sebagai cara untuk melakukan perubahan atau mencapai tujuan. Orang bisa melihat golongan-golongan penganut paham-paham tersebut di Indonesia.

Hal tersebut dikatakan Prof Dr. Masykuri Abdullah dalam webinar dengan tema “Moderasi Beragama: Agama sebagai Inspirasi Kerukunan Umat Beragama, Berbangsa, dan Bernegara” yang diselenggarakan oleh LPIK Unisma, Rabu (16/6/2021).

Masykuri menjelaskan, gerakan Islam transnasional tersebut dimulai pada tahun 1263 – 1326 dengan nama salafisme yang digawangi Ibnu Taimiyah. Gerakan tersebut kemudian mengilhami beberapa gerakan yaitu gerakan Akidah Muhammad bin Abdul Wahhab (abad ke-17), dan gerakan politik Al-Ikhawan Al Muslimun (1928) Faksi Quthbiyyah. Ketika perang Afghanistan, muncul Al-Qaeda (1989) dan ISIS pada tahun 2012. Di Indonesia, gerakan transnasional dikenal dengan Jama’ah Islamiyah Jamahaan Ansaharud Daulah.

“Sikap berlebihan dalam beragama di dalam Al-Qur’an terdapat dalam sejumlah ayat yang menyatakan larangan terhadap sikap dan tindakan melampaui batas dalam beragama. Misalnya disebutkan dalam Q.S An-Nisa ayat 171,” terang Masykuri.

Baca juga:  Habib Jindan bin Novel: Semangat Hijrah Nabi untuk Menghidupkan Kemerdekaan Indonesia

Hal ini juga disebutkan dalam sebuah Hadist yang artinya, “Waspadalah terhadap berlebihan (ghuluww) dalam agama, karena sesungguhnya sikap berlebihan ini telah menghancurkan orang orang sebelum kamu,” (H.R Ahmad).

Islam Moderat

Maka kemudian muncullah Islam moderat (wasathiyah), seperti disebutkan di dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 143: Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat islam) sebagai ‘umat pertengahan’ agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.

“Secara bahasa kata ‘ansath’ berarti adil, pilihan dan pertengahan (moderat). Menurut Mu’jam al-Ma’ani al Jami’, ‘wasath’ berarti posisi tengah di antara dua sisi, sehingga wasathiyyah berarti posisi tengah di antara dua hal atau sisi (pihak, kubu) yang berhadapan atau berlawanan (ma bain al-tharafain),” lanjut Masykuri.

Wasathiyah dalam aqidah ahlussunnah wal jamaah mengandung pengertian jalan tengah, di antara paham jabariyah dan qadariyah. Manusia memiliki kemauan dan pilihan untuk bertindak, tetapi pada hakikatnya yang berbuat dan menentukan adalah Allah SWT. Pemahaman Wasathiyyah bisa berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya.

Dalam konteks negara masa kini, dukungan para ulama dan tokoh Islam kepada NKRI yang berideologi Pancasila sebagai konsensus nasional (al-mitsaf al-wathani) merupakan bentuk penerapan wasathiyyah. Sehingga, menurut KH Ma’ruf Amin, Indonesia merupakan Negara Kesepakatan (Darul Mitsaq). Islam wasathiyah perlu dipahami tidak hanya sebatas konteks Indonesia saja, tetapi harus konteks secara internasional juga.

Baca juga:  Alif.id dan PCI NU Belanda Gelar Pameran Foto dan Manuskrip di Amsterdam

Selanjutnya beralih dari pengertian Islam wasathiyah, moderasi beragama merupakan sikap pertengahan beragama yang tidak condong ke kanan atau ke kiri. Moderasi bukan sekedar konsep ajaran Islam saja, tetapi juga ada historical foundation. Kita punya landasan kuat sebagai identitas kita yaitu moderasi beragama.

“Bung Karno dan Gus Dur mengingatkan kita untuk berislam dengan menyerap ajarannya bukan budaya asal agama. Emil Durkheim menjelaskan agama sebagai uniting system, yang memiliki moral tunggal bagi pemeluknya. Bahwa agama itu sebagai faktor utama yang mampu memberi semangat bagi manusia pembelajar (kaum santri, pesantren),” terang Prof Abdurrahman Mas’ud sebagai pembicara kedua.

Islam tidak melarang orang muslim untuk melakukan hubungan baik dengan non-muslim. Sesuai Al-Qur’an Al Mumtahanah Ayat 8 yang secara historis tampilan moderasi telah dicontohkan oleh Walisongo, dan dilanjutkan para kiai.

Namun, akhir-akhir ini, banyak tantangan muncul, terkait masalah terorisme dan radikalisme, sehingga perlu lagi adanya harmonisasi moderasi beragama.  Sunan Kalijaga menjelaskan sabdo pandito ratu, bahwa hubungan antara negara dan ulama mestinya menjadi satu kesatuan. Pemahaman kearifan lokal sesuai ajaran Islam.

Relasi Nilai Islam dan Aswaja

Nilai Islam dalam surah Al Hujurat ayat 13, mengajarkan bahwa Islam memiliki nilai multikultural. Hal tersebut dijelaskan bahwa kejadian manusia (laki-laki, perempuan) menunjukkan adanya nilai perlakuan yang adil atas eksistensi manusia. Bersuku-suku berarti adanya keragaman kultural, saling mengenal berarti adanya saling menghargai, dan manusia terbaik yang paling bertakwa.

Baca juga:  Kelas Poligami Nasional dan Islam Moderat

Prof Maskuri Bakri menjelaskan jika Islam dan Aswaja memiliki dasar yang menjadi relasi, yaitu nilai moderat, toleran, harmoni, saling mengenal, dan saling menolong. Juga dibagi menjadi nilai partikular dan universal. Kedua hal inilah yang menimbulkan berbagai perspektif yang berbeda karena berkaitan dengan Al-Qur’an dan hadist. Sehingga seperti yang dijelaskan perbedaan perspektif ini menimbulkan konsep dan aksi.

“Kultur kehidupan berbangsa dan bernegara yang dipraktikkan islam di Indonesia perlu diperkuat guna menghadapi pemikiran transnasional. Keteladan ini menjadi penting biasanya hal ini menjadi penting biasanya ada di pesantren. Pembiasaan tradisi misalnya tercermin dalam praktik islam nusantara. Persatuan dalam perbedaan dan toleransi di tengah keragama,” terang Rektor Universitas Islam Malang tersebut.

Di samping itu strategi penguatan kultur dengan nilai-nilai aswaja penting dilakukan dengan peningkatan kualitas sumberdaya. Kemudian mengorganisir potensi SDM yang ada, dilakukan dengan kaderisasi yang terstruktur, sehingga dikembangkan menjadi pranata sosial. Selanjutnya adalah mengharmonisasikannya, dan berpuncak menjadi ukhuwah yang kuat.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
2
Terkejut
0
Scroll To Top