Setelah sang hamba merasakan harapan akan rahmat Allah dan ketakutan akan hari pembalasan, maka al-Fatihah mengajak sang hamba menghadap kepada Allah. Pada ayat kelima ini lah sang hamba diajarkan untuk beribadah serta memasrahkan dirinya kepada Allah.
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
“Hanya Engkaulah yang Kami sembah, dan hanya kepada Engkau lah Kami meminta pertolongan”. (Qs. Al-Fatihah ayat 5)
Ketika kita telah sampai pada ayat kelima, maka kita telah berada pada jantungnya surah al-Fatihah. Dalam ayat inilah kita menemukan esensi tauhid dan tawakkal kepada Allah.
“Al-Fatihah menyimpan sirr (rahasia) dari al-Qur’an, dan sirr (rahasia) surat al-Fatihah tersimpan dalam ayat “Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in”. Redaksi ” Iyyaka Na’budu” membebaskan seorang hamba dari kesyirikan, sedangkan redaksi “Iyyaka Nasta’in” mengantarkan seorang hamba menuju kepasrahan kepada Allah.” (tafsir al-Qur’an al-A’dzim karya Ibnu Katsir hal.45 vol.1 cetakan Darul Kutub al-Ilmiyyah Beirut tahun 2010)
Redaksi “Iyyaka Na’budu” bermakna hanya kepada-Mu ya Allah kami khusyu’ beribadah, hanya kepada-Mu kami merendahkan diri kami, hanya kepada-Mu kami tunduk sebagai bentuk pengakuan bahwa Engkau adalah tuhan kami. Penafsiran ini berdasarkan hadis
عن ابن عباس قال جبريل لمحمد صلى الله عليه وسلم قل يا محمد إياك نعبد أي إياك نوحد ونخاف ونرجو يا ربنا لا غيرك
Diriwayatkan dari shahabat Ibnu ‘Abbas bahwa malaikat Jibril mengatakan kepada nabi Muhammad “Wahai Muhammad, katakanlah “Hanya Engkaulah yang Kami sembah” maknanya adalah “Hanya kepada-Mu kami mengesakan, kami takut dan kami mengharap, tidak kepada selain-Mu” (kitab Tafsir Jami’ al-Bayan karya Ibnu Jarir ath-Thabari hal.107 vol.1 karya cetakan Dar Hijra Kairo tahun 2001)
Mengapa disini harus memakai lafadz “Iyyaka Na’budu, hanya Engkaulah yang kami sembah”?
Syeikh Fakhruddin ar-Razi dalam kitab tafsir Mafatih al-Ghaib memberikan kita rangkuman hikmah dari lafadz “Iyyaka Na’budu” pada ayat kelima surah al-Fatihah, yaitu :
Pertama, Al-Qur’an memakai redaksi “Hanya Engkaulah yang kami sembah” untuk menumbuhkan kerinduan kepada Allah. Dengan menghadirkan kemurnian niat “Hanya kepadamu ya Allah” sang hamba akan terjauhkan dari sifat malas beribadah. Hanya dari mengenal Allah lah kerinduan untuk beribadah tumbuh. Laksana seorang perindu yang hanya akan tenang ketika bersama kekasih begitu juga lah hati sang hamba. Ia hanya dapat menemukan ketenangan ketika merasa dekat dengan Allah dalam ibadahnya. Tidak ada lagi hasrat untuk berpaling dari kerinduan kepada Allah.
Kedua, Al-Qur’an memakai redaksi “Hanya Engkaulah yang kami sembah” untuk menguatkan hati sang hamba. Sang hamba terikat ibadah sepanjang hidupnya, tidak ada kata berhenti beribadah sebelum ia kembali kepada sang Pencipta. Oleh karena itu, redaksi “Hanya Engkaulah yang kami sembah” hadir sebagai penyemangat dikala kemalasan beribadah datang. Laksana tamu-tamu Zulaikhah yang tak lagi merasakan perihnya mengiris luka pada jari-jari mereka ketika melihat wajah rupawan nabi Yusuf begitu juga lah keadaan sang hamba. Tubuhnya semakin menua tetapi ia tak merasakan kepayahan sedikitpun dalam menunaikan ibadah karena cinta kepada Allah.
“Ketika engkau merasakan keindahan makna Hanya Engkaulah yang kami sembah terasa ringanlah seluruh ibadah kepada Allah.”
Ketiga, Ketika setan dan bala tentaranya untuk melemahkan hasrat ibadah sang hamba, maka redaksi “Hanya Engkaulah yang kami sembah” hadir sebagai tameng pelindung. Sang hamba pun akan kembali memacu semangatnya untuk beribadah ketika mengingat Allah. Inilah yang dimaksudkan dalam ayat Al-Qur’an:
إِنَّ الَّذِينَ اتَّقَوْا إِذَا مَسَّهُمْ طَائِفٌ مِنَ الشَّيْطَانِ تَذَكَّرُوا فَإِذَا هُمْ مُبْصِرُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat kepada Allah, Maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya” (Qs. Al-A’raf ayat 201).
Keempat, ketika sang hamba meresapi makna redaksi “Hanya Engkaulah yang kami sembah” maka ia sedang mengarungi esensi tauhid. Sang hamba merasakan hanya untuk Allah lah seluruh ibadahnya. Tak ada lagi sifat riya’, sombong dan bangga diri atas ibadahnya. Akhirnya yang tersisa hanya lah sifat ikhlas dan sabar dalam beribadah kepada Allah.
Kelima, redaksi ”Hanya Engkaulah yang kami sembah” menjadikan sang hamba selalu mengingat Allah dalam hidupnya. Ketika sang hamba mengingat Allah disetiap langkahnya, maka setiap waktunya adalah ibadah. Ketika ia diberikan nikmat, dia mengingat Allah lah yang memberikannya nikmat sehingga ia syukur. Ketika ia diberikan musibah, dia mengingat Allah lah yang menetapkan musibah tersebut sehingga ia bersabar. Ketika ia diberikan kesempatan hidup di dunia, ia mengingat Allah yang memberikan waktu dan usia sehingga ia pun hidup untuk beribadah dan menolong sesama.
Dan pada akhirnya seluruh hidupnya hanya untuk mencari ridho Allah. Esensi inilah yang dimaksudkan dalam ayat Al-Qur’an:
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ
“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya aku (Allah) ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku” (Qs. Al-Baqarah ayat 152).
Seandainya sang hamba hanya melihat apa yang diberikan Allah tanpa memahami redaksi “Iyyaka na’budu, hanya Engkaulah yang kami sembah” ia akan tertipu. Ketika melihat musibah ia hanya akan meratapi nasib tanpa sifat sabar. Ketika diberikan nikmat ia hanya berbangga diri dan sombong merasa nikmat tersebut sebab usahanya tanpa rasa syukur kepada Allah. Ketika diberikan kesempatan hidup di dunia, ia menyianyiakannya hanya untuk bersenang-senang tanpa ada waktu untuk taat kepada Allah. (kitab tafsir Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin ar-Razi vol.1 hal.213 cetakan Dar Ihya’ li Turats al-‘Arabi 2001).
Mengapa dalam ayat ini memakai lafadz ”Na’budu, kami menyembah” bukan memakai lafadz “A’budu, aku menyembah?”
Dr. Muhammad Sayyid Thanthawi mengatakan “Hikmah penggunaan redaksi ”Na’budu, kami menyembah” menunjukkan bahwa ibadah terbaik yang diharapkan dari manusia adalah ibadah yang dilakukan bersama-sama dengan umat islam sebagaimana dalam sholat berjamaah. Redaksi ini juga menunjukkan bahwa orang-orang yang ikhlas beribadah kepada Allah selalu menyebarkan rasa persaudaraan dan persatuan di tengah-tengah umat islam”. (kitab tafsir al-Wasith lil Qur’an al-Karim karya Dr. Muhammad Sayyid Thanthawi vol.1 hal.17 cetakan Dar as-Sa’adah Kairo tahun 2007).