Beberapa waktu yang lalu saya menemani Ilkiya, anak saya yang berumur 4 tahun menonton kartun Penguin of Madagascar karya Eric Darnell, Simon J. Smith, empat penguin yang tinggal di sebuah kebun binatang. Yang menarik pada episode saat itu ialah tentang empat penguin yang biasanya selalu memulai aksi-aksi luar biasa ketika berhadapan dengan lawan harus kalah dengan seekor Katak.
Awalnya empat penguin itu mencoba menyelamatkan seekor katak yang disekap dalam ruang kaca yang besar. Penguin-penguin itu tidak tahu kalau Katak tersebut memiliki racun.
Setelah terselamatkan, si katak dengan angkuhnya mengatakan bahwa dari sekarang dialah yang berkuasa dan binatang-binatang di sekitarnya seperti gorila, gajah, kukang, bahkan empat penguin yang telah menyelamatkannya, serta binatang lainnya harus patuh dengan segala perintahnya.
Mendengar pernyataan si katak tersebut, salah satu penguin protes, namun tiba-tiba si katak menyentuhkan jarinya ke kaki si penguin, seketika timbul bintik-bintik merah dan kemudian terkapar tak sadarkan diri. Tiga penguin yang tersisa mencoba mencari jalan keluar agar dapat melumpuhkan si katak. Namun tak jua berhasil, bahkan dua Penguin lainnya juga terkapar tak sadarkan diri akibat terkena racun.
Masalah yang mereka alami ialah bagaimana caranya menangkap si katak tanpa menyentuh. Pada akhirnya penguin yang tersisa mendapatkan ide untuk membuat baju besi agar tertutup seluruh kulitnya.
Cara itu berhasil, dan si Katak tertangkap. Yang menarik ketika katak terjepit di antara dua tangan penguin yang berlapis besi itu ialah ucapan dan sikap si penguin.
“Aku hanya ingin memelukmu,” ucap penguin, lalu ia peluk tubuh kecil si katak. Mendapati sikap seperti itu sang katak terharu, ia pun berucap,
“Kaulah orang pertama yang mau memelukku, dan ternyata selama ini aku telah bersikap bodoh, racun di tubuh ini hanya membuat orang jatuh dan menjauh.”
Di akhir cerita, penguin dan katak tersebut asik bermain catur bersama.
Dari cerita yang terkesan sederhana tersebut, kita temui sebuah sikap yang sangat mengagumkan dan sekaligus mengejutkan, yaitu ketika orang-orang di sekitarnya telah dicelakai dan disikapi dengan angkuh. Ia bukannya membalas dendam dengan balasan setimpal, malah memeluk si katak dengan penuh lembut dan kasih sayang. Iya, dengan kelembutan dan kasih sayang.
Bagi saya cerita dalam film-film kartun memang sering di luar logika. Namun tak jarang menampilkan cerita-cerita yang seolah menyindir sikap keseharian kita.
Maulana Wahiduddin Khan dalam bukunya Muhammad Nabi untuk Semua yang diterjemahkan dari Muhammad: A Prophet for All Humanity menuliskan tentang dua tingkatan sikap manusia, yakni tingkat manusia umum dan tingkat manusia istimewa. Sikap manusia umum menurutnya ialah memiliki prinsip dasar, “lakukan seperti engkau telah diperlakukan”.
Tingkat manusia istimewa atau tingkat manusia yang lebih tinggi prinsip dasarnya ialah, “lakukan apa yang dapat kamu jalankan”. Orang yang memiliki pola pikir seperti yang kedua, kata Wahidudin Khan, akan memperlakukan teman maupun lawan dengan sikap yang sama, tidak peduli apa yang telah mereka lakukan kepadanya. Orang tersebut lebih menyukai kedamaian.
Dari dua tingkatan sikap manusia tersebut, barangkali ada di antara kita yang akan menyatakan dalam benak bahwa tingkat manusia istimewalah yang telah melekat pada diri kita.
Meski setiap hari kita masih rajin menyebarkan ujaran-ujaran kebencian, masih rutin menuliskan status-status di media sosial dengan melaknat sebagian orang yang tak sepaham, juga tak pernah bosan menertawakan kekeliruan-kekeliruan yang orang lakukan. Tanpa sadar, kita selalu merasa orang yang paling benar.
Terhadap kawan yang tak sepaham, kita lebih senang menyudutkan ketimbang membuka lebih luas ruang kasih sayang, dan kepada lawan, kita lebih senang memukul ketimbang belajar untuk merangkul. Dan begitulah yang belakangan ini sering terjadi. Menyulutkan api kebencian dan menanam rasa dendam seolah ialah tabiat kita saat ini.
Ragip Frager menuturkan:
“Setiap kali kita memilih tidak bersikap baik, sebenarnya kita sedang membiarkan nafsu kita merajai diri kita sendiri. Kita menyakiti diri sendiri dan membuat hati kita semakin keras.”
Dendam, dengki, dan kebencian merupakan salah satu penyakit hati. Dalam Purification of the Heart-nya, Hamza Yusuf menuliskan kata ghill yang berkaitan tentang dendam, kemarahan ekstrem, dan kebencian yang berasal dari akar kata bahasa Arab yang sama melahirkan kata aghlal, dan digunakan Alquran dalam artian belenggu di leher (QS: Yasin: 8), yang menurutnya ayat tersebut ingin mengatakan bahwa dendam yang bercokol dalam hati terikat untuk melampiaskan dendam dan pengkhianatan (dalam tindakan).
Dikisahkan, suatu kali Rasululllah saw. pernah menunjukkan kepada para sahabatnya tentang seseorang yang baru saja lewat sebagai salah satu penghuni surga. Maka salah seorang sahabat yang penasaran mencoba mencari tahu mengenai orang tersebut.
Sahabat tersebut menghabiskan waktu beberapa hari bersama orang itu dan mengamatinya dengan cermat. Namun tak ada kelebihan yang menonjol atau amalan-amalan khusus yang dilakukan lelaki tersebut. Ia tampak seperti kebanyakan pria Madinah lainnya.
Akhirnya sahabat tersebut memberi tahu mengenai apa yang Nabi saw. katakan tentang dirinya dan bertanya apakah dia melakukan sesuatu yang istimewa. Dan, orang itu menjawab:
“Satu-satunya hal yang tak pernah saya tinggalkan ialah saya selalu berusaha untuk tidak menyimpan rasa benci dan dendam di hati terhadap orang lain.”
Barangkali itulah rahasianya, kata orang tersebut. Wa Allah A’lam.