Tasawuf dibentuk dari kata shawwafa yang berarti memakai wol, dari kata itu muncul sebutan “sufi” bagi orang Islam yang menjalani kehidupan sufistik (Abror.H, Robby, 2002: 3). Syekh Muzaffer Ozak menulis dalam bukunya Secawan Anggur Cinta (2016) jalan tasawuf adalah jalan yang menghilangkan tabir penghalang antara seseorang dan Tuhan.
Manusia pada hakikatnya suci seperti bayi. Bukan hanya menebar bau harum mewangi, seorang bayi masih putih bersih ibarat kertas. Seiring berjalannya waktu, manusia melakukan dosa bertumpuk—seperti membangun dinding atau tabir dengan Tuhannya. Tasawuf ada untuk mencapai kembali hubungan antara manusia dengan Tuhannya agar apa yang ia lakukan selaras dengan keinginan Tuhan. Prof. Abu Bakar Atjeh mengartikan dengan bahasa lain bahwa tasawuf adalah mencari jalan untuk memperoleh kecintaan dan kesempurnaan rohani.
Tasawuf atau sufisme merupakan pucak esnesi spiritual dan dimensi esoteris Islam begitulah kata Sayyed Hossein Nasr (1983). Seorang sufi ibarat seseorang yang menempuh perjalanan. Dalam sufisme ada tiga dimensi penting yang dicatat oleh William C. Chitick (2003) ilmu dan amal, teori dan praktek, dan kesadaran spiritual atau dalam bahasa yang jamak di kalangan sufi yakni syariat, thariqah, dan hakikat (kebenaran).
Dalam masyarakat kita, orang yang menjalankan laku sufisme, sering dianggap sebagai seseorang yang linuwih atau memiliki kelebihan. Orang biasa menyebut para sufi ini memiliki karomah. Sehingga para sufi ini memiliki posisi seperti seorang tabib yang menyembuhkan ruhani para pengikutnya. Ada anggapan yang keliru saat orang yang dianggap menjalani laku sebagai sufi kemudian bebas dari kewajiban beribadah kepada Tuhan. Anggapan ini amatlah keliru dan melenceng dari ajaran sufi itu sendiri. Dr. Muzaffaruddin Nadvi dalam bukunya Pemikiran Muslim dan Sumbernya (1984) menuliskan, “seorang sufi, seandainya dia Muslim sejati, tidak boleh melalaikan aspek lahiriah kehidupannya.
Kesucian jiwa tidak bisa dipisahkan dari kesucian jasmani. Aspek-aspek fisik dan spiritual dari kehidupan kita sama-sama terjalin kita berterimakasih kepada diri kita sendiri dan kepada sang Pencipta karena kita tahu bahwa aspek lahir dan aspek batin berkembang berdampingan.” Lebih lanjut Dr Muzaffaruddin mencontohkan bagaimana nabi menjalani laku tasawuf. “Nabi Islam (Muhammad) adalah seorang sufi agung dunia, dia sering mengasingkan diri ke Gua Hira dan tempat-tempat sunyi lainnya untuk melakukan meditasi dan berpikir. Sekalipun demikian, pada waktu itu dia merupakan orang yang paling sibuk dengan urusan duniawi. Dia dipenuhi semua kewajibannya kepada keluarga, tetangga, masyarakat, dan negara.”
Ada perumpamaan indah yang ditulis oleh Syekh Muzaffer Ozak (2016) tentang pentingnya dimensi lahir dan batin dari tasawuf : “syariat dan tasawuf seperti sepasang sayap. Jika hanya satu sayap, pemiliknya tidak akan sampai ke mana pun. Kau butuh dua sayap. Kau harus membersihkan lahiriahmu dari hal-hal yang tidak suci, demikian pula batinmu harus bersih dari ketidaksucian.”
Bila ada orang yang mengaku mencapai maqam yang tinggi dalam tasawuf tapi tidak menjalankan syariat, maka sudah tentu ia bukanlah seorang sufi dalam arti yang sesungguhnya. Persepsi bahwa seorang sufi sudah melakukan shalat batin barangkali bisa dirujuk dari kesalahan memaknai apa yang ditulis oleh Syaikh Abdul Qadir Jaelani dalam bukunya Lorong-Lorong Rahasia (2018). Syekh menyebut shalat batin sebagai shalat thariqat, shalat hati yang berlangsung terus-menerus.
Saya jadi ingat bagaimana Sudjiwo Tedjo menggambarkan shalat wustha yang ada pada almarhum Gus Dur. “Gus Dur itu shalatnya shalat thariqat, shalatnya yaitu seluruh kehidupannya adalah shalat. Ia tidak hanya melakukan shalat lima kali dalam sehari, tapi dalam kesehariannya ia juga melaksanakan shalat.”
Tasawuf bukanlah isolasi diri, sejenis pandangan kependetaan, ia bukan pandangan hidup fatalis. Pengasingan atau laku tapa dengan menyepi untuk merenung dan berfikir bukanlah laku yang selamanya. Nabi pun juga pernah melakukan laku menepi dan menyepi dari hiruk pikuk dunia, namun bukan ekspresi keputusasaan. Bahkan Syekh Abdul Qadir Jaelani pun pernah melakukan laku ruhaniah serupa yang meninggalkan segala kemewahan dunia selama sebelas tahun sebelum menemukan pencerahan dan pencapaian spiritual.
Ada nasihat dari seorang sufi Al-Hasan Al Basri, “Dunia adalah impian, akhirat adalah kenyataan, dan maut adalah jembatan yang menghubungkan keduanya.””Barangsiapa mau mengoreksi dirinya, beruntunglah dia, dan yang melalaikan hal itu, pasti merugi. Barangsiapa waspada terhadap akibat-akibat perbuatannya, niscaya ia selamat, dan siapa saja yang memperturutkan hawa nafsunya, sesatlah dia.” Upaya tasawuf bukanlah mematikan hawa nafsu, ia adalah jalan untuk mengendalikan nafsu agar senantiasa menuju pada Tuhan.
Nabi Muhammad sendiri adalah seorang yang dianggap sebagai seorang sufi dengan tingkatan tertinggi. Nabi pernah berjumpa dengan Tuhan, namun ia tidak tinggal, tidak hanyut untuk bersatu dan tinggal bersamanya, namun kembali ke bumi untuk mengajak umatnya mengikuti dirinya menggapai Sang Khalik.
Islam memang mengajarkan bahwa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya melebihi apapun. Tasawuf pun tidak jauh beda, ia adalah laku untuk mencapai tujuan itu. Dr. Simuh (2002) menyatakan : “tujuan para sufi merintis jalan dan mengembangkan ajaran tasawuf adalah untuk memantapkan keyakinan agama dan menghidupkan serta menggairahkan pengalaman syariat.”
Seorang sufi akan merasakan buah dari ibadah yang ia jalani dalam laku kesehariannya. Ia merasa hari-harinya selalu diawasi oleh Tuhan dan senantiasa malu terhadap perbuatan yang menyimpang dan menyeleweng dari kehendak-Nya. Penyatuan, pencapaian seorang yang merasakan buah dari tasawuf akan merasakan apa yang dirasakan oleh Rumi dalam sajaknya Tinggalah Bersamaku : Kita harus bersama/ tak ada lagi kau, tak ada lagi aku/ kita berdua menjadi satu/ kalau kita menjadi satu/ mata yang menampak ganda itu/ akan menjadi buta.
Tuhan pun berfirman : “Manakala hamba-Ku mendekati-Ku, dengan selalu mengingat-Ku, sampai Aku mencintainya. Bila aku mencintainya, maka dia melihat dengan Mata-Ku, mendengar dengan Pendengaran-Ku, memukul dengan Tangan-Ku, berjalan dengan Kaki-Ku. Bila dia meminta, Aku akan mengabulkannya dan bila dia memohon perlindungan-Ku, Aku melindunginya.”