Menjalani bulan Ramadan di tengah merebaknya wabah virus Corona seperti pada saat ini, bukanlah kali pertama yang dialami dalam sejarah umat Islam. Jauh sebelumnya, umat Islam pernah menjalani Ramadan di tengah ganasnya wabah tho’un.
Seperti dijelaskan oleh Ahmad al-Adawi dalam bukunya al-Tho’un fi al-Ashr al-Amawi: Shafahat Majhulah min Tarikh al-Khilafah al-Amawiyah, bahwa pada tahun 748 M (sekitara tahun 130 H, masa-masa akhir Dinasti Umayyah) wabah Tho’un telah mengguncang kekhusu’an umat Islam dalam menjalani bulan Ramadan. Awalnya wabah Tho’un ini muncul di kota Bashrah (di Iraq) pada bulan Rajab. Kemudian wabah ini terus menyebar hingga bulan Sya’ban, Ramadan, dan berakhir pada bulan Syawal.
Menggambarkan ganasnya wabah Tho’un tersebut, al-Adawi menjelaskan bahwa setiap hari di kota Bashrah tidak kurang dari seribu nyawa manusia melayang akibat Tho’un. Termasuk salah satunya adalah Abu Bakr Ayyub bin Abi Tamimah Kisan, salah seorang tokoh terkenal di Bashrah.
Dalam sejarah Islam mengenai wabah Tho’un, banyak sikap yang ditunjukkan oleh ilmuwan Islam, mulai ahli kedokteran sampai sarjana muslim atau rijal al-din yang lain. Sebagian sarjana muslim meyakini bahwa munculnya sebuah wabah penyakit seperti Tho’un merupakan bentuk azab dari Allah akibat kemaksiatan yang dilakukan oleh manusia. Bahkan suatu saat, ketika Imam Jaluddin as-Suyuthi ditanya mengenai penyakit Tho’un, beliau menjawab dalam gubahan puisinya:
“Aku mengira manusia telah banyak berbuat dosa,
Sehingga balasannya adalah wabah penyakit ini”
Namun demikian, sebagian lain mensikapi wabah Tho’un sebagai qadha’-qodar Allah Swt yang harus dihadapi oleh setiap muslim. Sikap seperti ini ditunjukkan oleh Khalifah Umar bin Khattab. Suatu ketika Sayyidina Umar hendak pergi bersama rombongan ke Syam. Namun ketika di tengah jalan, beliau mendengat bahwa di Syam sedang terjadi wabah Tho’un. Kemudian beliau memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan ke Syam setelah mendengar Abdurrahman bin Auf berkata kepadanya:
“Aku bersaksi bahwa aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda: ‘Jika kalian mendengar wabah Tho’un terjadi di sebuah tempat, maka kalian jangan masuk ke sana. Jika wabah itu terjadi di sebuah tempat dan kalian ada di dalamnya, maka janganlah lari darinya’.” Bahkan dalam hadis lain ditegaskan bahwa orang yang mati karena wabah penyakit (Tho’un) maka dijamin syahid, bukan sebagai azab.
Mensikapi sebuah wabah penyakit yang mematikan seperti Tho’un dan sejenisnya, memang bisa beragam sesuai dengan pandangan dan keyakinan setiap orang. Tetapi yang jelas adalah sebuah wabah penyakit itu meniscayakan setiap untuk mencari jalan keluar sehingga selamat darinya, baik melalui jalan spiritual (seperti bermunajat dan berdoa kepada Allah) maupun jalan rasional (seperti penangglanagn secara medis).
Selalu ada hikmah di balik keputusan (takdir) Allah Swt. Demikian pula saat Allah menurunkan wabah penyakit seperti virus Corona pada saat ini yang berbarengan dengan bulan Ramadan. Setiap umat Islam seyogyanya mensikapinya dengan penuh hikmah. Pasti ada suatu keistimewaan di balik ibadah Ramadan dan virus corona. Lalu apa istimewanya?
Ramadan melalui ibadah puasa menjadi dimenasi ruang dan waktu untuk menempa kesabaran. Melalui puasa, seseorang diajak untuk menahan diri untuk tidak makan, minum, dan bahkan menahan nafsu-nafsu negatif lainnya yang terdapat dalam hati dan pikiran. Jadi, pesan utama dari puasa adalah membangun kesabaran dalam setiap diri umat Islam.
Sabar dalam diri setiap manusia merupakan modal utama yang dapat mengontrol dalam melaksanakan suatu tindakan atau perbuatan. Ia menjadi potensi positif paling mendasar bagi setiap orang.
Al-Qur’an sendiri mengilustrasikan bahwa kesabaran menjadi pondasi kekuatan seseorang dalam melakukan sesuatu. Kualitas kesabaran akan menentukan kualitas perbuatan seseorang. Dalam Al-Qur’an Allah menggambarkan kualitas orang yang sabar sebagaimana berikut:
“Wahai Nabi (Muhammad)! Kobarkanlah semangat para mukmin untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan seribu orang kafir, karena orang-orang kafir itu adalah kaum yang tidak mengerti.” (QS al-Anfal: 65)
Ayat tersebut meskipun diturunkan terkait dengan kondisi kaum muslimin dalam perang Badar, memiliki arti yang luar biasa terkait kesabaran sebagai kunci dalam bertindak. Dijelaskan, bahwa dua puluh orang yang sabar, akan dapat mengalahkan dua ratus. Dalam perang Badar, jumlah kaum muslimin tidak sebanding dengan lawannya. Namun dengan kualitas kesabaran yang baik, umat Islam dapat mengalahkan orang-orang kafir.
Ibn Asyur menjelaskan bahwa sabar pada hakikatnya adalah suatu kondisi diri seseorang dimana dia mampu menahan kesulitan. Meskipun perang butuh pada kekuatan fisik, tetapi perang itu sendiri mengandung kesulitan-kesulitan. Jika seseorang mampu bertahan dalam kesulitan maka ia akan mampu memenangkan peperangan. Oleh karena itu, kekuatan fisik saja tidak cukup, tetapi juga butuh juga kekuatan jiwa.
Mengenai pentingnya kekuatan jiwa (sabar), pada ayat lain Al-Qur’an melalui QS al-Baqarah 249 menggambarkan bagaimana sebagian besar pasukan Thalut tidak mampu menahan kesulitan saat berperang, padahal sejak awal mereka diingatkan untuk tidak meminum air sungai. Lantas dia akhir ayat tersebut Allah mengingatkan: “Betapa banyak kelompok kecil mengalahkan kelompok besar dengan izin Allah.” Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.” Lagi-lagi, kesabaran menjadi kunci utama dalam menentukan kualitas perbuatan seseorang sehingga mendapatkan keberuntungan (kemenangan).
Ramadhan kali ini merupakan momentum penting dalam menyelamatkan manusia dari virus Corona. Untuk melawan virus yang tidak tampak ini, puasa kali ini mengajarkan kepada kita untuk membangun mental sabar dalam diri. Kekuatan fisik saja tidak cukup. Dengan kualitas kesabaran yang baik, seseorang terbebas dari kesulitan dan tekanan pikiran akibat kekhawatiran yang ditimbulkan oleh virus Corona yang mematikan ini.
Tidak hanya sebatas itu, kesabaran kita juga diuji untuk membatasi diri dalam berinteraksi social (social distancing) atau ego kita harus disabarkan untuk sementara waktu melakukan ibadah di rumah. Memang, manusia dalam mengatasi persoalan cenderung mengedepankan hal-hal yang fisik, tetapi seringkali melupakan hal-hal yang bersifat jiwa (psikis).
Ibnu Sina seorang “Bapak Kedokteran” dalam dunia Islam mengatakan bahwa “prasangka buruk adalah separoh dari penyakit, kondisi jiwa yang tenang merupakan separoh dari obat, dan sabar merupakan awal dari kesembuhan”. Pernyataan ini mengisyaratkan betapa pentingnya sabar dalam menghadapi masalah, terutama pada saat seseorang sedang mengahapi masalah.
Ramadan kali ini, umat Islam benar-benar diuji, sama seperti Ramadan di awal-awal Islam yang juga terjadi wabah. Semoga kita dapat menangkap arti kesabaran yang diajarkan oleh Ramadan melalui ibadah puasa. Dan semoga wabah virus Corona ini juga menjadikan kita sabar dalam menjalani ibadah di bulan Ramadan dalam kondisi yang tidak seperti kita harapkan. Selamat berpuasa!