Hari itu jadwal kegiatan akademikku di Yerusalem kosong sampai pukul tiga sore, jadi aku punya waktu leluasa. Entah berapa jam tadi aku berdiam dan berjalan keliling menikmati keindahan arsitektur serta kekayaan sejarah Dome of the Rock.
Sambil mengambil foto Kubah Emas, beberapa menit aku berdiri di pelataran menunggu Leila. Mungkin ia masih di sini, mungkin juga sudah pergi. Kami tak bisa berkomunikasi karena tak punya akses internet. Ketika ia tak kunjung kelihatan, akhirnya kuputuskan untuk berjalan sendiri menuju Masjid al Aqsa. Kulihat barisan orang-orang bergegas ke arah sana. Waktu Dzuhur memang segera tiba.
Sebelum sampai ke Yerusalem, berkat bantuan seorang teman, Mirjam Lucking, doktor antropologi asal Jerman yang sedang mengambil postdoc di Hebrew University, aku bisa terhubung dengan Ishaq Rajabi, seorang pemuda Arab Palestina yang tinggal di Silwan, kompleks pemukiman Arab persis di samping al Aqsa. Sehari setelah kedatanganku, Ishaq datang menjemput ke hotel. Dengan berjalan kaki, ia mengajakku menyusuri lorong-lorong kota Yerusalem. Ia bercerita bagaimana kompleks perbelanjaan mahal Yahudi di Yerusalem Barat yang kami lewati dulunya adalah pemukiman orang-orang Arab yang pergi atau diusir setelah perang 1948. Tak seorang Arab pun kini tinggal, apalagi bisa memiliki properti di daerah itu.
Sebaliknya, di Yerusalem Timur yang sebetulnya hanya merupakan 20% dari keseluruhan luas kota itu, makin banyak orang Yahudi yang masuk dan membeli properti dengan berbagai cara. “Di bawah tekanan ekonomi yang berat, banyak diantara kami yang akhirnya menjual rumah. Apalagi mereka mau membeli dengan harga tinggi. Tapi setelah berpindah tangan, jangan harap properti itu bisa kembali ke tangan kami orang-orang Arab,” katanya.
Ia juga mengajakku mengeksplorasi kompleks pertokoan dan tempat-tempat bersejarah yang ada di dalam tembok Kota Tua Yerusalem serta makan di sebuah restoran di sana. Siangnya, dengan menyetir mobilnya, Ishaq begitu berbaik hati membawaku keliling kota Yerusalem. Sambil bercerita mengenai sejarah Yerusalem yang amat kaya dan situasi masyarakat Palestina hari ini, Ishaq membawaku untuk melihat panorama kota Yerusalem dari berbagai sudut pandang di puncak bukit. Ia bahkan mengajakku keluar kota untuk melihat kehidupan di Bethlehem yang berada di bawah pemerintahan Otoritas Palestina. Kunjunganku ke Bethlehem akan kutulis khusus di bagian lain.
Makanya ketika datang kembali ke al Aqsa siang itu aku sudah tahu peta dan cukup punya pengetahuan yang membuat kunjunganku terasa lebih bermakna. Aku segera bergabung bersama para jama’ah lain di dalam masjid. Ada yang shalat sunat, ada yang tadarus, ada yang duduk tafakkur atau ngobrol dalam lingkaran kecil. Anak-anak Palestina tampak berlarian gembira di halaman maupun di dalam masjid. Kulihat juga ada beberapa rombongan jama’ah dari berbagai negara yang berdatangan.
Setiap hari, jumlah rata-rata orang yang datang ikut jama’ah shalat lima waktu rupanya hanya beberapa ratus orang. Pada hari jum’at jumlah mereka jauh lebih besar. Tapi puncaknya adalah pada bulan Ramadan seperti sekarang dan hari raya ‘Id, ketika jumlah jama’ah bisa mencapai ratusan ribu hingga shaf shalat pun meluber memenuhi sebagian besar halaman kompleks al Aqsa sampai ke sekitar Dome of the Rock.
Akhir-akhir ini jumlah itu merosot akibat kebijakan keamanan pihak militer Israel yang amat ketat. Atas nama keamanan, orang-orang Arab yang tinggal di wilayah pendudukan Israel di Tepi Barat dan Jalur Gaza, khususnya “daerah A” yang dikelola oleh Otoritas Palestina, dipersulit masuk wilayah Israel, termasuk datang ke kompleks al Aqsa. Hukum Israel pun melarang warga Israel untuk masuk ke wilayah Arab itu. Tak heran, jama’ah shalat di al Aqsa tidak seramai yang seharusnya, meski ganjaran setiap amal ibadah di sana, seperti tersebut dalam hadits Nabi “bernilai 500x lipat” dibanding tempat lain.
Perlu dicatat, meski sejak Perang 1967 seluruh wilayah Yerusalem berada di bawah kekuasaan Israel, demi kesepakatan minimal untuk menjaga perdamaian “status quo” dengan dunia Islam dan negara-negara Arab yang tak boleh ditawar lagi, pengelolaan kompleks al Aqsa atau Haram al Sharif dipegang oleh yayasan Jerusalem Islamic Waqf yang berada di bawah pemerintah Yordania. Sejak sebelum Israel berdiri, yang menjadi pengelola al Aqsa memang adalah kerajaan Yordania. Seluruh urusan administrasi sehari-hari dan pengelolaan segala bentuk ibadah atau kegiatan di sana menjadi tanggung jawab yayasan Waqf tersebut.
Meski demikian, segala urusan keamanan dikendalikan sepenuhnya oleh Israel. Pemerintah Israellah yang menentukan siapa yang boleh dan tidak boleh masuk (termasuk individu atau kelompok Muslim Palestina yang masuk daftar hitam mereka) serta kegiatan di kompleks Haram al Sharif. Dengan kata lain, Yayasan Waqf Yordania itu lebih mirip “panitia” yang otoritasnya bisa diintervensi sewaktu-waktu oleh pihak Israel. Itulah yang membuat para pemuka Muslim berselisih pendapat, apakah sebaiknya umat Islam berkunjung atau tidak ke al Aqsa. Di Mesir, misalnya, meski Yusuf Qaradawi memberikan fatwa larangan kunjungan, Grand Mufti Mesir Syekh Gomaa justru menganjurkannya (Lucking, 2019). Selain ada anjuran Nabi, jika al Aqsa makin sepi dari kunjungan, ia makin tampak kurang penting bagi dunia Islam dan makin ada alasan bagi orang-orang Yahudi untuk mengambil alihnya.
Karena kemelut politik yang tanpa pangkal dan ujung itu, istilah al Aqsa bagi orang Islam Palestina kini bukan hanya merujuk pada bangunan masjid, tapi seluruh jengkal tanah dan segala isinya, baik yang di atas maupun di bawah permukaan tanah. Itulah pengertian yang dipegang teguh oleh orang-orang Arab Palestina, tampaknya sejak munculnya ancaman pengambil-alihan kompleks tempat suci itu oleh orang-orang Yahudi garis keras. Pemerintah Israel dan mayoritas orang Yahudi—70% penduduk negara itu sekuler—sebetulnya tidak begitu ambil pusing dengan status teologis Temple Mount kecuali sebagai komoditas politik dan obyek wisata.
Dengan pengertian itu, orang-orang Arab Palestina menolak segala macam bentuk intervensi dan negosiasi yang berisiko memberi peluang bagi pihak Israel, termasuk ekskavasai arkeologis, usulan pengaturan jadwal bergilir dan sebagainya. Al Aqsa adalah hak milik mutlak umat Islam yang tak boleh diganggu-gugat. Mereka akan mempertahankannya dengan segala daya meski harus bertaruh nyawa.
Al Aqsa memang adalah bangunan suci yang setiap sudut dan jengkal ruangnya penuh dengan gumpalan sejarah. Bagi umat Islam, aura spiritual bangunan ini jauh lebih terasa. “Itu masjid para malaikat,” kata Ibuku lewat sambungan telepon ketika kuberitahu beberapa hari sebelumnya. Dalam tradisi Islam, kami pecaya, di sanalah dulu Nabi Muhammad berdiri sebagai imam shalat, memimpin para nabi lain dan malaikat sebelum naik ke langit untuk mi’raj.
Selain masjidil Haram di Makkah, ini pula satu-satunya masjid yang disebut namanya dalam al Qur’an. Sebelum Ka’bah, ke sanalah dulu qiblat pertama shalat umat Islam. Dalam berbagai hadits, Nabi juga menganjurkan umatnya untuk mengunjungi masjid al Aqsa, selain masjidil Haram di Makkah dan masjid Nabawi di Madinah.
Setelah selesai mengikuti shalat jama’ah aku berjalan keliling. Luas bangunan utama masjid al Aqsa adalah sekitar 4.600 meter persegi dengan ukuran 83 x 56 m dan bisa menampung hingga 5000 jama’ah. Dengan kubah terbuat dari timah dan berwarna perak kelabu, masjid ini melengkapi keindahan Dome of the Rock di sebelahnya. Rupanya yang disebut masjid al Aqsa itu adalah gabungan beberapa masjid yang saling tumpang-tindih dan didirikan dalam kurun waktu yang berbeda. Masjid yang terbesar, al Jami’ al Aqsa atau yang disebut juga Masjid Qibli dengan arsitektur megah itu dibangun oleh Sultan Abdul Malik bin Marwan pada akhir abad ketujuh. Tapi, akibat perang dan terutama gempa besar yang meruntuhkan nyaris seluruh bangunan, bentuk yang ada sekarang adalah renovasi warisan Khalifah Ali al Zahir dari dinasti Fatimiyah pada 1035.
Ketika orang Kristen mengalahkan kaum Muslimin pada masa perang Salib, masjid ini sempat dijadikan sebagai istana mereka. Knight Templar juga memfungsikan sebagai markas utama. Sama seperti Dome of the Rock, bangunan yang sekarang sudah banyak mengalami metamorfosa dari bangunan semula yang dulu direbut kembali dari tangan penguasa Kristen oleh Salahuddin al Ayyubi. Façade masjid di bagian depan yang sangat indah adalah konstruksi yang dibuat dinasti Fatimiyyah, yang kemudian diperluas oleh Tentara Salib, dinasti Ayyubiyah dan Mamluk.
Di pojok Barat Daya bangunan utama, di sisi yang berlawanan dengan The Wailing Wall yang ada di bawah sana, terletak masjid Buraq, sebuah bangunan musholla berukuran kecil. Konon dulu di situlah Nabi Muhammad menambatkan Buraq sebelum singgah untuk shalat di al Aqsa. Sedang di bagian ruang bawah tanah sisi Tenggara terdapat Musholla Marwani yang cukup luas dan bisa menampung hingga 7000 jama’ah lebih. Tempat ini disebut juga Kandang Kuda Sulaiman, sebab pada masa perang Salib tempat ini memang sempat dijadikan kandang kuda oleh tentara Salib yang mengambil-alihnya. Di berbagai bagian dinding batu tua itu terdapat ratusan lubang dengan pola mirip yang merupakan bekas alat penambat kuda para laskar Salib. Tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa tempat itu merupakan bagian peninggalan Kuil Nabi Sulaiman.
Bulan April lalu, hampir bersamaan dengan kebakaran yang menghanguskan Nortre Dame di Paris, mushalla ini sempat mengalami kebakaran tapi segera bisa diselamatkan.
Di dalam masjid besar itu, di sisi kiri, terdapat masjid ‘Umar, yang jauh lebih kecil dan sederhana. Tapi ia berusia jauh lebih tua. Itulah mushalla sederhana yang dulu didirikan oleh Khalifah Kedua, Umar bin Khattab sebagaimana disebut oleh sejarahwan arsitektur K.A.C. Creswell. Perlu diketahui, masjid ini berbeda dengan masjid Umar di dekat Gereja Makam Kudus. Masjid Umar yang terakhir itu dibuat oleh seorang sultan dari dinasti Ayyubiah pada akhir abad ke-12 untuk memperingati tindakan bijak Umar bin Khattab yang tidak mau dipersilakan sembahyang di dalam gereja ketika ia menaklukkan Yerusalem agar kelak umat Islam tetap menghormati gereja dan tidak sewenang-wenang mengubah gereja menjadi masjid. Nah, persis di bawah masjid ‘Umar itulah terletak masjid yang paling tua, al Aqsa al Qadim. Di situlah dulu Nabi Muhammad shalat berjama’ah bersama para Nabi dan malaikat.
Di bawah lantai masjid al Aqsa al Qadim yang purba itu masih terdapat ruang bawah tanah lagi yang bisa kita lihat melalui suatu lubang bertutup kaca. Para sejarawan arsitektur dan arkeolog dunia sebetulnya memiliki banyak penemuan yang menarik mengenai situs dan bangunan kuno ini. Tahun 2012 arkeolog Robert Hamilton yang menekuni situs Temple Mount sejak gempa bumi Jericho 1927, misalnya, menyatakan bahwa di bawah masjid al Aqsa ditemukan reruntuhan dari mosaik Bizantium Kristen dan Kuil Sulaiman Kedua.
Tapi karena muatan politis yang sangat kuat, sampai sekarang tampaknya dunia Islam tidak tertarik untuk melakukan ekskavasi arkeologis tuntas guna merekonstruksi sejarah yang amat tua dan saling-silang di tempat ini. Hanya penggalian arkeologis Israel yanga terus gencar dilakukan, khususnya di wilayah yang berada di luar tembok kompleks al Aqsa.
Persis di sebelah kanan mihrab, berdiri tembok besar yang terbuat dari batu-batu raksana kuno berukuran satu setengah tinggi manusia. “Inilah batu peninggalan Nabi Sulaiman,” kata ta’mir masjid yang mengantarku. Ketika berada di tempat itu, aku tak bisa berhenti terus menyentuh-nyentuhnya sambil tertegun. Jika demikian, inilah tempat suci yang terus diintai oleh orang-orang Yahudi?
Berziarah bagi seorang beragama adalah tindakan menyatukan pengetahuan dan keyakinan dengan pengalaman nyata. Lewat ziarah, iman, emosi, informasi, imajinasi dan persepsi bertemu menjadi pengalaman. Berziarah adalah mengalami secara ketubuhan wujud agama yang ditubuhkan. Lewat ziarah, agama menjadi lebih nyata. Kisah yang diwariskan turun-temurun ribuan tahun dan menjadi pengetahuan, bahkan keyakinan kini bisa dilihat, disentuh, dirasakan dan dialami secara langsung.
Begitu memasuki area bawah tanah masjid al Aqsa al Qadim aku merasa seperti terhisap memasuki lorong sejarah ribuan tahun itu. Lorong bawah tanah itu terbuat dari tembok batu purba yang berasal dari periode sebelum dinasti Umayyah yang membangun masjid di bagian atas.
Di dekat mihrab masjid al Aqsa al Qadim aku shalat sunat dua raka’at entah berapa kali. Bisa sujud langsung di tempat di mana Nabi Muhammad sujud empat belas abad silam membuatku merasa seperti butiran debu yang begitu beruntung dihela angin sejarah atas kehendak Sang Pengatur Semesta. Kubayangkan betapa sudah tak terhitung jumlah kening umat Islam dari berbagai penjuru dunia dan dari bebagai zaman yang pernah khusyuk bersujud di tempat ini dalam doa-doa terbaik.
Aku tidak tahu kenapa tiba-tiba air mataku telah menitik dan terus mengalir deras selama aku shalat di sana, entah berapa lama. Di bawah naungan sejarah dan kisah-kisah esoteris yang amat dahsyat, aku berdiri, ruku’ dan sujud seperti bayangan. Waktu entah pergi, entah membeku. Aku bahkan hampir tidak bisa mengucapkan doa yang benar-benar terumuskan. Aku hanya menghadap dan berharap, semoga aku, anak keturunanku, keluargaku dan masyarakatku bisa mengikuti jejak orang-orang shaleh yang meneladani Sang Nabi, supaya hidup kami bermanfaat dan selamat dunia-akherat.
(Bersambung)