Sedang Membaca
Humor Pesantren, dari Kiai Wahab hingga Gus Dur
Hamzah Sahal
Penulis Kolom

Founder Alif.ID. Menulis dua buku humor; Humor Ngaji Kaum Santri (2004) dan Ulama Bercanda Santri Tertawa (2020), dan buku lainnya

Humor Pesantren, dari Kiai Wahab hingga Gus Dur

Humor Pesantren, dari Kiai Wahab Hingga Gus Dur

Humor, di kalangan pesantren dan NU, bukan saja menjadi alat penyegar suasana dan pemecah keseriusan, tapi juga menjadi ‘dalil’ atau argumentasi untuk mematahkan dalil-dalil kawan atau lawan bicara. Oleh karena menjadi dalil, dalam memainkan humor mereka serius, bukan cuma iseng.

Di NU dan pesantren, humor telah menjadi ‘tanda’, sebagaimana sarung atau kopyah. Bahkan ada yang berseloroh begini, humor itu menyempurnakan ke-NU-an dan kesantrian seseorang, persis seperti salat sunah rawatib yang menyempurnakan sembayang wajib. Subhanallah!

Almarhum Gus Dur sering dianggap jago pelontar humor, bahkan dinilai kiai pertama yang mengenalkan humor ala NU dan pesantren ke dunia luar. Bukan. Gus Dur bukan kiai pertama yang memperkenalkan humor ke dunia luar, meski memang sepertinya sampai hari ini, kiai yang bernama asli Abdurrahman Ad-Dakhil ini kualitas humornya kelas wahid, tidak ada bandingnya.

Lalu siapa orang pertama yang mengenalkan humor pesantren atau NU ke dunia luar? Saya tidak tahu. Susah menjawab pertanyaan ini, dan mungkin tidak penting juga untuk dijawab.

Tapi, kiai seperti almarhum Abdul Wahab Hasbullah, pendiri NU, terkenal pandai berkelakar. Ia bukan saja ingin melucu, tapi juga menjadikan humor sebagi dalil. Mbah Wahab, yang terkenal hukum fiqihnya longgar sering diprotes kiai-kiai, ditanya dalilnya kenapa melakukan ini dan itu.

Atas protes atau pertanyaan-pertanyaan yang susah dijawab, Mbah Wahab hanya menjawab, “Kayak Muhammadiyah saja tanya dalil.” Kiai-kiai hanya tertawa mendengar jawab tersebut, tapi tidak berani bertanya lagi.

Saat Mbah Wahab menyerukan keharaman jadi ambtenaar Belanda dulu, para kiai bertanya, kenapa haram?

Mbah Wahab tidak menjawab pertanyaan dengan serentetan ayat-ayat Alquran, hadis atau teori-teori hukum, melainkan cukup dengan memlesetkan ambtenaar dengan antum fin nar, kalian di neraka!

Baca juga:  Islam Banjar dan Politik (5): Tradisi, Haji, dan Negara dalam Pengalaman Urang Banjar

Mendengar plesetan itu, kiai-kiai terpingkal-pingkal, dan menyetujui keharaman menjadi ambtenaar. Mbah Wahab tentu bisa saja mengutip Alquran muhammadun rosulullah asyiddau ‘alal kuffar… Tapi beliau tidak melakukannya. Mengapa? Saya tidak tahu, jika ketemu dengannya kelak di hari akhir, kita tanya saja.

Nah, ngomong-ngomong humor sebagai dalil, belum lama ini ada humor isinya, NU mesti konsolidasi dengan TNI, berkaitan dengan urusan PKI. Humor tersebut dikeluarkan moderator, Adnan Anwar, peluncuran buku Benturan NU-PKI. Moderator, sepertinya ingin mendekatkan NU dengan TNI dengan menambahi hurut T di depan NU: TNU.

Kira-kira sang moderator bilang begini, TNU dan TNI harus konsolidasi untuk menghadang orang-orang yang ingin mendeskreditkan TNI dan TNU berkaitan persitiwa 1965. Peserta diskusi tertawa mendengarkan guyonan TNI-TNU.

Secara vokal TNI-TNU memang mirip. Sudah benarlah menurut ‘kaidah-kaidah’ plesetan. Tapi, menurut saya, humor tersebut berselera rendah, apalagi bila dijadikan dalil kedekatan NU dan kalangan tentara, atau setidaknya dalil tersebut lemah banget, tidak masuk akal isinya. Dalam pelajaran hadis, humor TNU-TNI setingkat dengan hadits palsu seperti “Terong itu obat dari segala penyakit.”

Bagaimana tidak lemah banget, wong hubungan NU dan ABRI di masa Orba penuh tragedi. Orba/ABRI, setelah membasmi PKI, yang ingin dibasmi adalah NU, atau setidaknya adalah Partai Nahdlatul Ulama. Saya memang baru lahir tahun 1979, tapi saya meyakini bahwa cerita kiai-kiai, pesantren, NU itu di-kuyo-kuyo Orba/ABRI, adalah benar adanya. Tulisan-tulisan di koran-koran akhir tahun 70-an hingga awal tahun 80an dan cerita-cerita para saksi hidup masih mudah kita dapat.

Baca juga:  20 Tahun Pembantaian Guru Ngaji di Banyuwangi (2/2)

Peristiwa-peristiwa yang paling genting adalah pemilu 1971 dan 1977. Setelah dua pemilu itu kekerasan pada NU memang berkurang, tapi kekerasan-kekerasan dalam bentuk lain terus berlangsung sepanjang sejarah Orba, yang paling populer adalah orang NU susah menjadi pegawai negeri.

Saya punya cerita bagaimana seorang kiai tingkat kecamatan begitu trauma dengan tentara, bahkan kepada pejabat sipil tingkat kecamatan. Kiai ini, sebut saja kiai Ahmad (kalau saya bilang mau wawancara, dia menolak), sering menjadi sasaran kebrutalan tentara dalam mengampanyekan Golkar. Ketika ada anggota Koramil atau pejabat kecamatan datang ke rumahnya, kiai kita ini selalu meminta istrinya menemani ngobrol dengan tamu-tamu itu. Agar aman katanya. Jika ada istri, ABRI atau pejebat kecamatan tersebut tidak akan bicara yang serius-serius. Tentu kita tahu, di lingukungan kiai, seorang istri tidak lumrah ikut menemani tamu, kecuali tamu keluarga, itu pun ruangannya terpisah, laki-laki dengan laki-laki di depan. Sementara itu ibu-ibu dengan ibu-ibu atau anak-anak di dalam.

Berdasarkan fakta-fakta yang ada, saya kira susahlah membangun cerita bahwa NU dan ABRI ada dalam satu gerbong, apapun namanya gerbong itu. Benar bahwa NU tidak menafikan peran tentara dalam sebuah negara bernama NKRI ini, tapi untuk menyatukan, tunggu dulu. Dan humor pun, yang biasanya dapat menghanyutkan orang untuk ikut larut dengan ketawa-tawa, tidak akan mempan menghilangkan ingatan tentang ABRI. Jadi hambar sekali plesetan TNI-TNU itu, tak ada maknanya.

Para santri, kiai dan NU sejati sudah lebih dulu menyimpan humor Gus Dur di bawah ini sebagia dalil bagaimana perilaku tentara kita:

Baca juga:  Ngaji Rumi di Hari Nan Fitri: Menjadi Umat Penuh Rahmat

Ketika pemerintah Mesir menemukan mumi baru, diadakanlah sayembara untuk mengidentivikasinya, kapan mumi tersebut hidup? Jerman, China, Inggris, Amerika mengirimkan tim sejarawan dan arkelog seniornya. Mereka profesor dan doktor semua. Indonesia turut serta, yang dikirim bukan arkeolog dari UGM atau UI, melainkan lima anggota TNI, satu berpangkat kapten, satu letnan dua, dua sersan, dan satu kopral.

ketika penelitian selesai, panitia menggelar jumpa pers untuk mengumumkan siapa yang akurat hasil hasil penelitiannya.

Jerman lebih dahulu maju. Jubir mereka menyimpulkan bahwa mumi tersebut kira-kira lahir pada tahun 2002 SM. Selanjutnya China. Dengan mantap salah seorang dari mereka maju dan membagi-bagikan kertas bertuliskan huruf kanji. Katanya, mumi tersebut lahir pada tahun 2010 SM, lebih tua delapan tahun dari kesimpulan tim Jerman. Sementara Amerika dan Inggris punya kesimpulan sama bahwa mumi Mesir lahir pada tahun 2008.

Ketika giliran tim Indonesia maju, kapten yang menjadi ketua tim bicara dengan penuh percaya diri. Dia bilang, “mumi ini lahir pada hari Jumat Kliwon, pukul 1 dini hari, tahun 2310 SM. Tanggal dan bulan tidak bisa disebutkan sekarang. Tapi kami tahu, siapa orangtua mumi itu, alamat rumahnya, dan sekolahnya.”

Kontak, seisi auditorium tepuk tangan. Setelah tepuk tangan reda, seorang wartawan bertanya, “Bagaimana Anda melakukan penelitian ini, sehingga hasilnya lengkap begitu?”

Sang kapten menjawab, “Kami tamparin mumi tersebut, setampar-tamparnya. Awalnya tidak mengaku, tapi ketika kami ancam dengan setruman, mumi sial itu buka mulut.”

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top