Syihab Al-Din Yahya Ibn Habasy Ibn Amirak Abu Al-Futuh Suhrawardi bukanlah nama asing di kalangan mistikus Islam. Pecinta ilmu-ilmu mistis ini lebih dikenal sebagai Suhrawardi, tokoh filsuf paling penting dalam sejarah perkembangan filsafat iluminasi. Kota kecil di Persia barat laut, satu kampung dekat Zinjan, telah menjadi saksi lahirnya Syuhrawardi pada tahun 549 H/ 1153 M.
Karena kecakapannya, Suhrawardi memiliki sejumlah gelar yang mewakili deretan kisah hidupnya hingga ia terbunuh di tiang gantung, berikut kuniyah yang disematkan kepada Suhrawardi; Syaikh al-Isyraq; Master of Illuminasiont, Al-Hakim (Sang Bijak), Al-Syahid (Sang Martir), dan al-Maqtul (Sang Terbunuh) (Diambil dari tesis Lukman Junaidi, Ilmu Hudhuri: Konsep Ilmu Pengetahuan dalam Filsafat Iluminasi Suhrawardi, Universitas Indonesia (UI), Depok, Juni 2009, hlm. 18)
Suhrawardi belajar di Maragha, kota yang juga melahirkan Nasrhir al-Din al-Thusi, pembangun observatorium pertama dalam sejarah Islam. Suhrawardi belajar filsafat, hukum, dan teologi kepada Majd al-Din al-Jili, bersama Fakhr al-Din al-Razi.
Setelah itu, ia pergi ke Isfahan untuk memperdalam studinya kepada Fakhr al-Din al-Mardani dan Zahir al-Din al-Qari, dengan mengkaji al-Basya’ir al-Nasyiriyyah karya Umar bin Sahlan al-Sawi. Terakhir Suhrawardi berguru kepada al-Syaifir Iftikhar al-Din, guru Suhrawardi yang paling berpengaruh, seperti dikatalan Hossein Ziai.
Suhrawardi mengakhiri pertualanganya di Suriah. Dari Damaskus, ia menuju Aleppo dan mengabdi kepada Pangeran al-Malik al-Zhahir Ghazi, gubernur Aleppo—yang juga dikenal sebagai Malik Zhahir Syah—putra Sultan Ayyubiyyah Shalah al-Din. Karena Suhrawardi bisa meluluhkan perhatian hati sang raja di istana, para hakim dan fuqaha Aleppo tidak senang terhadapnya.
Lantas muncul surat yang ditulis oleh hakim terkenal Qadhi al-Fadhil. Ia menuntut Suhrawardi dieksekusi mati untuk mengakhiri nasib pemikiranya yang mengancam terhadap ideologi masyarakat awam. (Sayyed Hossein Nasr, Ensiklopedi Tematik Filsafat Islam, Terj. Bandung:Mizan, 2003. hlm. 546).
Meski perjalanan hidupnya tidak begitu lama, Suhrawardi meninggalkan banyak karya tulis ilmiah. Menurut Husein Nasr, ia meninggalkan sekitar 50 judul karya tulis ilmiah yang ditulisnya dalam bentuk bahasa Arab dan Persia, meliputi belbagai bidang dengan metode yang berbeda-beda.
Ada empat buku besar tentang doktrinasi yang ditulis dalam bahasa Arab oleh Suhrawardi. Kumpulan buku tersebut membentuk kelompok yang membahas filsafat peripatetik, yang terdiri atas; al-Talwîhât, al-Muqâwimât, dan al-Muthârahât yang ketiganya berisi pembenaran filsafat Aristoteles, sedang yang terakhir adalah Hikmah al-Isyraq (The Theosophy of the Orient of Light) kitab yang sangat menggetarkan jagat filsafat illuminasi. (Syihab ad-Din Yahya as-Suhrawardi. Hikmah al-Isyraq, ter. Muhammad Al-Fayyadl, Sufi Books, Yogyakarta, 2003, dan Seyyed Hossein Nasr, Tiga Mazhab Utama Filsafat Islam, terj. Ach. Maimun Samsuddin, IRCiSoD, Yogyakarta, 2014).
Barakah itu semacam ladzunni
Ketika pertama kali menginjakkan kaki di dunia pesantren, saya mulai mengenal “barakah” atau ngalap barakah dari para kiai. Sejenak saya berfikir bahwa barakah itu semacam ilmu ladzunni (knowledge by presence); ilmu yang diperolah tanpa proses belajar, sebuah ilmu melalui jalur alternatif yang diberikan langsung oleh Allah kepada diri manusia.
Sampai hari ini, ketika saya mengenal dunia akademik yang lebih sistematis, terstruktur, dan rigid, ditopang dengan megahnya gedung-gedung kampus yang menjulang, dan banyaknya bahan bacaan, saya bertanya: mungkinkah ilmu semacam “barakah” dapat diperoleh?
Jika pengertian barakah itu sebagaimana dipahami masyarakat pesantren, sungguh mustahil seorang mahasiswa menemukan barakah tanpa ada proses pengabdian diri terhadap seorang guru/dosen. Mengabdi berbeda dengan belajar.
Seorang mahasiswa/murid ketika mengabdi berarti menghamba, tidak ada proses transfer ilmu pengetahuan sama sekali dari sang guru kepada murid. Mungkinkah seorang murid mendapat ilmu lazdunni tanpa ada proses belajar? Jika jawabannya seperti dikemukakan oleh Suhrawardi mengenai ilmu hudhuri, maka selalu bisa.
Mempercayai keabsahan ilmu ladzunni (saya tak membedakan antara lazdunni/hudhuri, namun saya menggunakan hudhuri) selalu mengundang debat. Saya seperti tersesat pada rimbun definisi-definisi, yang sulit diurai secara sistematis, runut, dan mudah dipahami.
Banyak mistikus muslim terjebak dalam pelbagai metafora ketika menuangkan tulisan-tulisan mereka tentang ilmu hudhuri. Mereka bergumul dengan bahasa yang sulit dimengerti, nyaris menghilangkan esensinya, terlingkupi rasa emosional yang membuncah.
Ilmu hudhuri yang dikemukakan oleh Suhrawardi menjawab dahaga saya dalam kurun waktu yang sangat lama ketika masih kewalahan bertanya-tanya perihal ilmu ini. Melalui pengamatan-pengamatan yang ditulis oleh Suhrawardi, saya sedikit tercerahkan. Selalu ada ruang terbuka untuk menggapai ilmu hudhuri bagi siapa saja yang menginginkannya.
Melalui tiga variabel utama, Suhrawardi membagi secara gradasi, secara tahap demi setahap untuk mencapai ilmu hudhuri. Pertama, model penelitian observatif; menggunakan pengamatan inderawi. Kedua, model penelitian demonstratif; menggunakan analisa-analisa logis hingga terhubung pada epistemologi eluminatif. Ketiga, pendekatan yang mengandalkan kekuatan hati saat berinteraksi langsung dengan objek yang hadir dalam kesadaran tertentu.
Upaya itulah yang bisa menemukan secuil pengakuan Suhrawardi atas fungsi-fungsi pancaindra secara lahiriah.
Seorang peneliti Suhrawardi, Amroeni Drajat (2005), dalam bukunya Suhrawardi: Kritik Falsafah Peripatetik Ilm al-Hudhuri, menuturkan belbagai kelemahan pengetahuan semantis dan empiris. Amroeni menegasikannya dengan tawaran model lain yang dikemukakan oleh Suhrawardi berupa ilm al-hudhuri (ilmu kehadiran); sebuah capaian pengetahuan sejati tanpa melalui perantara. (Amroeni Drajat, Suhrawardi: Kritik Falsafah Peripatetik, Yogyakarta: LKiS, 2005, hlm. 150-165).
Saya rasa, Amroeni Drajat terlalu tergesa-gesa untuk memberikan kesimpulan yang demikian.
Bagi pembaca yang ingin belajar ilmu hudhuri, perlu untuk sekadar mengetahui bahwa konsepsi keilmuan Suhrawardi tidak serta merta meninggalkan ilmu hushuli (eksoterik). Bertumpu pada kebenaran yang mutlak dari Tuhan, Suhrawardi tidak bisa membedakan obyek-obyektif dan obyek-subyektif, karena semuanya menyatu. Oleh karena itu, ilmu hudhuri hadir dalam “jiwa subyek yang mengetahui” sehingga sulit untuk dibantah kebenarannya.
Bentuk ilmu hudhuri yang paling sederhana adalah kesadaran diri (selfconsciousness) dan yang paling tinggi adalah pengetahuan mistis berdasarkan pengalaman spiritual langsung. Bentuk kesadaran diri terdiri dari dua bagian, meliputi kesadaran diri tentang identitasnya sebagai seseorang, dan kesadaran akan dirinya sebagai sebuah “ada” (wujud). Kesadaran diri ini adalah kesadaran yang paling mendasar, bukan timbul karena perenungan.
Barangkali demikian ilmu yang diperoleh dengan cara-cara mengalap barakah dari seorang guru di pesantren. Hal itu terjadi melalui pengamatan hingga menemukan kesadaran intuitifnya secara mukasyafah dan musyahadah tanpa intervensi. Wallahua’lam…
Catatan: ladzunni dalam judul diganti menjadi laduni, sesuai ejaan bahasa Indonesia, sedangkan di dalam tulisan tetap ladzunni dengan huruf dicetak miring