Sedang Membaca
Apa Itu “Islam Kaffah”?
M. Faisol Fatawi
Penulis Kolom

Pengajar di Fakultas Humaniora UIN Malang. Pegiat literasi di Kota Malang. Menerjemah banyak buku dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia. Menyelesaikan program doktoral di bidang Pemikiran Islam, UIN Sunan Ampel Surabaya, dengan disertasi tentang "Naratologi al-Qur'an".

Apa Itu “Islam Kaffah”?

Kita sering mendengar istilah “Islam Kaffah”. Belakangan, istilah ini lebih dipahami sebagai ajakan untuk mendirikan khilafah islamiyah (Negara Islam). Islam Kafah (KBBI menulis dengan “kafah”) berarti Islam yang menyeluruh (total).

Tidak dianggap kafah jika belum bisa mewujudkan syari’ah Islam di tengah kehidupan, dan hal itu hanya bisa ditegakkan dengan sistem khilafah islamiyah. Pengertian seperti ini muncul secara serampangan, dan jauh dari semangat pengertian yang sesungguhnya.

Istilah “Islam Kafah” disebut dalam QS al-Baqarah; 208, yaitu “ya ayyuha ladzina amanu udkhulu fissilmi kaffah”. Untuk mendapatkan pengertian yang benar, maka kita sejatinya merujuk kembali pada pengertian ayat tersebut. Bagaimana pengertiannya yang benar?

Ibnu Asyur, dalam kitab tafsirnya at-Tahriri wat-Tanwir, menjelaskan bahwa ayat 208 dari QS al-Baqarah tersebut tidak dapat dipisahkan dari konteks ayat sebelumnya. Ayat ini disebut setelah ayat sebelumnya menjelaskan tentang macam-macam sikap manusia terhadap agama (Islam); ada orang mukmin yang lisannya fasih syahadat kepada Allah tetapi perilakunya membuat kerusakan dan menyakiti apa yang ada di sekitarnya; sebagian yang lain mengabdikan dirinya untuk mendapat keridhoan Allah. Tindakan merusak dan menyakiti ini tentu dapat mengancam orang-orang yang damai. Oleh karena itu, ayat ini hadir mengajak orang-orang mukmin untuk masuk ke dalam as-silm. Lalu apa pengertian as-silm?

Jika merujuk pada beberapa tafsir, maka kata as-silm dipahami dalam dua pengertian yaitu kedamaian (keselamatan) dan agama Islam.

Kata as-silm memiliki arti kedamaian atau keselamatan. Ayat “ya ayyuha ladzina amanu udkhulu fissilmi kaffah” mengandung pengertian bahwa “wahai orang-orang yang beriman masuklah kedalam kedamaian (keselamatan) secara penuh”.

Pengertian as-silm dengan kedamaian ini diambil dari konteks kesesuaian ayat sebelumnya. Memang, sebagian mufasir memandang bahwa ayat “ya ayyuha ladzina amanu udkhulu fissilmi kaffah” merupakan kalimat pembuka (jumlah isti’nafiyah), tetapi tidak bisa dilepaskan dari konteks ayat sebelumnya.

Baca juga:  Polemik Negara Islam, dari Mulai Kartosoewiryo hingga Aidit

Ketika kata as-silm diartikan sebagai kedamaian (keselamatan), maka ayat “ya ayyuha ladzina amanu udkhulu fissilmi kaffah” mengisyaratkan kepada kita bahwa kita sebagai orang yang beriman hendaklah memasukkan dirinya kedalam kesadamaian (keselamatan). Seorang mukmin tidak boleh menyakiti dan mengganggu orang lain sehingga terjadi pertengkaran, permusuhan atau bahkan peperangan.

Sejatinya, keimanan itu harus total. Tidak setengah-setengah. Tetapi kenyataannya tidak semudah itu. Ada orang mukmin yang antara perkataan dan perbuatannya, saling berlawanan.

Lisannya menyatakan syahadat kepada Allah, tetapi perbuatannya merusak dan mengancam orang lain atau lingungan sekitarnya. Atau ada seorang mukmin yang secara lahir dan batin, mampu memegang teguh keimanan dan mempraktikkan dalam kehidupan.

Jenis yang pertama masuk dalam kategori munafik karena perkataannya melenceng dengan perbuatannya, sedangkan jenis yang kedua masuk kategori mukmin sejati.

Dalam konteks orang munafik, ajakan untuk masuk kedalam as-silm memberikan pengertian bahwa hendaklah mereka bersikap total kepada kedamaian; selaraskan perkataan dengan perbuatan. Jangan berskasi kepada Allah, tetapi perbuatannya menyakiti dan mengancam keberadaan orang lain. Pengertian ini selaras dengan maksud empat ayat (yaitu ayat 204 – 207) sebelum ayat “ya ayyuha ladzina amanu udkhulu fissilmi kaffah”.

Sedangkan dalam konteks orang mukmin sejati, pengertian as-silm berarti hendaklah mengabdikan diri pada kedamaian sebagai buah dari keimanan kepada Allah. Ajakan ini menjadi penegasan kembali kepada orang-orang mukmin bahwa dirinya harus merelakan dirinya untuk kedamaian (kesalamatan) bagi yang lain. Menurut Ibn Asyur, pengertian as-silm seperti ini bisa dihubungkan dengan ayat sebelumnya, yaitu wa qatilu fi sabilillah al-ladzina yuqatilunakum (QS al-Baqarah: 190).

Lebih rinci Ibnu Asyur menjelaskan bahwa ayat wa qatilu fi sabilillah al-ladzina yuqatilunakum (QS al-Baqarah: 190) menyerukan umat Islam untuk memerangi kaum musyrik Quraisy dan larangan untuk saling bermusuhan, setelah mereka (musyrik Quraisy) memerangi kaum muslimin dan mengusir paksa dari rumahnya.

Baca juga:  Apa Faktor yang Menyebabkan Perdebatan Alquran di India?

Kemudian ayat selanjutnya menjelaskan tentang hukum haji dan umroh serta amal ibadah yang perlu dilakukan sesuai anjuran agama. Maka, ayat “ya ayyuha ladzina amanu udkhulu fissilmi kaffah” menjelaskan kepada kaum muslimin untuk merelakan diri dengan kedamaian, yaitu berdamai dengan penduduk (musyrik) Mekkah, karena setelah Rasulullah saw mengadakan perjanjian Hudaibiyah tidak semua kaum muslimin menerima perjanjian itu.

Sebagian besar sahabat masih menaruh dendam dengan kaum musyrik Mekkah sehingga tidak rela berdamai dengannya. Atas dasar konteks kesesuaian ayat ini, maka makna as-silm mengandung pengertian perdamaian. Yakni, bahwa orang-orang mukmin diperintah oleh Allah untuk memasukkan dirinya pada kedamaian.

Sementara itu, jika makna as-silm dimaknai sebagai agama Islam, maka pengertian ayat “ya ayyuha ladzina amanu udkhulu fissilmi kaffah” menjadi “wahai orang-orang mukmin masuklah kedalam agama Islam secara penuh. Artinya, bahwa seorang mukmin harus memiliki ketaatan penuh terhadap agama Islam.

Wujud ketaatanya adalah “berdamai” dengan Allah dengan menjalankan segala perintah dan menjauhi larangan-Nya. Pengertian seperti ini sekaligus mengingatkan kepada orang-orang mukmin agar saling berdamai antar sesama; tidak kembali terjebak pada saling memusuhi (berperang) sebagaimana kebiasaan mereka pada saat masih Jahiliyah.

Menurut Ibnu Asyur, ayat ini seolah menjadi penyempurna bagi tananan nilai yang terkait dengan upaya untuk mendamaikan masyarakat Arab (pada saat itu) yang selalu terjebak dengan permusuhan dan peperangan. Karena watak permusuhan ini menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat Jahiliyah, maka tidak heran jika Rasulullah saw pernah mengingatkan: “Setelahku, kalian jangan kembali menjadi orang-orang yang ingkar (kuffar) yang sebagian kalian memukul tengkok yang lain”.

Baca juga:  Kontribusi Ulama Turki dalam Penafsiran Al-Qur’an di Nusantara

Sampai di sini dapat diambil benang merah bahwa makna as-silm terkait dengan nilai moralitas. Dalam pengertian perdamaian (keselamatan), kata as-silm mengisyaratkan pentingnya untuk memasukkan diri kedalam keseimbangan; keseimbangan antara syahadat ketauhidan dengan kenyataan amal perbuatan di satu sisi, dan keseimbangan untuk berdamai dengan antar sesama manusia di sisi lain.

Sedangkan dalam pengertian agama Islam, kata as-silm menjelaskan bahwa seorang mukmin harus memiliki kepasrahan (ketaatan) total dalam beragama Islam. “Udkhulu fissilmi kaffah” berarti perintah untuk memasukkan diri kedalam totalitas beragama Islam; memegang teguh kepasrahan dalam konteks hablum minallah dan ketaatan dalam konteks menjaga antarsesam (hablum minnas).

Sejak awal, Rasullah saw meneguhkan bahwa dirinya diutus untuk menyempurnakan akhlak. Innama bu’itstu li utammima makarim al-akhlaq (Saya hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak). Bukan untuk kepentingan politik (baca: mendirikan Khilafah Islamiyah). Persoalan akhlak jauh lebih penting dalam membangun tatanan masyarakat katimbang kepentingan politik.

Alquran sendiri mendefinisikan dirinya sebagai mau’idzah (nasehat), furqan (pembeda), dan dzikr (pengingat). Ini artinya, bahwa risalah yang diwahyukan kepada Rasulullah saw memperbaiki kebobrokan moral yang mendera masyarakat, yang berbasis pada ketauhidan. Jadi, konsep “Islam Kafah” itu lebih terkait dengan cara setiap mukmin untuk berdamai; berdamai dengan Allah (dengan tunduk pada-Nya) dan berdamai dengan sesama manusia.

Menjadi seorang muslim itu harus total; total dalam berhubungan dengan Allah (hablum minallah) dan total dalam berhubungan dengan sesama (hablum minanas) serta lingkungannya. Islam itu adalah akidah dan moral (akhlak), bukan akidah dan politik (khilafah). Totalitas dalam berislam (Islam Kaffah) akan dapat mewujudkan misi kerahmatan Islam yang dibawa oleh Rasulullah saw. Wallahu a’lam.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
1
Senang
2
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
3
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top