Sedang Membaca
KH A. Wahab Hasbulloh, Hadrah ISHARI, dan Seni Ulama Nusantara
Avatar
Penulis Kolom

Tinggal di Pesantren Tambakberas, Jombang. Pernah belajar di UIN Sunan Ampel dan mengambil S3 di UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang.

KH A. Wahab Hasbulloh, Hadrah ISHARI, dan Seni Ulama Nusantara

Jauh sebelum selawat Albanjari yang akhir-akhir ini popular dan semarak di seantero negeri, saya mengenal seni hadroh ISHARI ketika masa kecil menjadi salah satu peserta khitan masal yang diadakan oleh panitia ulang tahun pesantren.

Para sesepuh menabuh rebana dengan diiringi suara selawat menjelang para penganten sunat itu didatangi satu persatu oleh calak, si tukang khitan tradisional. Bagiku -dulu- suara selawat hadrah itu kurang merdu dan didukung tabuhan rebana yang monoton menjadikan hadroh tidak mampu menghadirkan suasana khitan itu semarak. Intinya penampilan selawat ISHARI tidak menarik!

Seni hadrah yang populer dengan nama terbangan (karena menggunakan alat musik rebana/terbang) itu kukenal kembali ketika adik bungsuku khitan dan Abah ‘nanggap’ puluhan orang jamaah selawat hadrah untuk membaca selawat hadrah berikut tarian radad yang diselingi tepukan tangan dan sesekali suara lengkingan para jamaah yang berbaris rapi menghadap pemimpin yang membaca selawatnya.

Ternyata lantunan selawat diiringi irama rebana yang dikenal dengan seni hadrah itu telah membudaya pada masyarakat islam nusantara jauh sebelum kemerdekaaan negeri ini.

Lantunan selawat itu bukan hanya sekedar selawatan, tetapi lebih dari itu, selawat ISHARI bermula dari sebuah amaliyah Thariqah Mahabbaturrasul dengan mensenandungkan maulid syaraful anam dan syair-syair Diwan Hadrah.

Diajarkan pertama kali oleh Habib Syeh Botoputih Surabaya, seorang ulama sekaligus mursyid tarekat pada tahun 1830 yang kemudian populer dikalangan para santrinya dan masyarakat dengan nama Hadrahan atau Terbangan. Secara turun-temurun kegiatan hadrahan ini ditradisikan oleh murid-murid para mursyid tarekat Mahabbaturrasul dan menjadi seni tradisi masyarakat muslim Jawa.

Baca juga:  Nasihat Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy'ari Saat Menikmati Makanan

Pada tahun 1918 selawat Hadrah ini dikembangkan kembali oleh KH Abdurrahim bin Abdul Hadi di Pasuruan. Dari sinilah lahirlah kelompok-kelompok hadrah yang didirikan oleh para santrinya yang menjadikan selawatan Hadrah ini dikenal dengan Hadrah Durahiman.

Pada masa penjajahan, di mana kebebasan berkumpul masyarakat pribumi itu diawasi ketat, kegiatan kesenian hadrah berperan penting dalam aktifitas konsolidasi para ulama yang membahas masalah-masalah keummatan, karena izin yang diberikan oleh pemerintahan penjajah untuk mengadakan kesenian hadrah ini dimanfaatkan untuk musyawarah para ulama.

Setelah masa kemerdekaan, ketika gerakan penyebaran paham komunisme berkembang pesat, termasuk penyebaran melalui media kesenian dan budaya, maka atas inisiatif KH Abdul wahab Hasbulloh yang saat itu menjadi Rais Am PBNU, kelompok-kelompok hadrah yang sudah eksis melaksanakan pembacaan shalawat hadrah itu diorganisir untuk menandingi kelompok-kelompok kesenian dan budaya milik PKI.

Pada tahun 1959 berdirilah organisasi ISHARI, Ikatan Seni Hadrah Republik Indonesia yang berkantor pusat di Surabaya. Melalui kegiatan-kegiatan ISHARI inilah upaya perlawanan budaya terhadap paham komunisme dilakukan oleh para ulama sekaligus untuk membentengi masyarakat santri dari pengaruh paham komunisme yang disebarkan oleh PKI. Maka lengkaplah perlawanan para ulama terhadap komunisme yang dilakukan melalui jalur fisik, head to head para jawara santri berkelahi secara fisik, melalui jalur politik yang diwakili partai NU dan melalui jalur budaya dengan seni Hadrah ISHARI. Ini juga membuktikan bahwa persetujuan Kiai wahab atas konsep nasakomnya bung karno itu adalah strategi cerdas beliau untuk menghancurkan PKI dari dalam.

Baca juga:  Sabilus Salikin (46): Tarekat Malamatiyah (lanjutan)

Selawat hadrah ISHARI memang tidak serancak selawat Albanjari atau semenarik Tari Saman Aceh, yang juga sama-sama tarian yang diiringi selawat pujian pada Nabi. Namun, selawat Hadrah ISHARI adalah sakral yang tidak bisa dimodifikasi dengan tambahan unsur entertainment.

Pelafalan bacaan selawatnya harus menggunkan cengkok suara khusus, pukulan rebananya juga tidak bisa dimodifikasi agar lebih rancak dan meriah sehingga bisa lebih enak didengar.

Bahkan gerakan tarian radadnya dengan anggukan kepala dan gerakan badannya telah baku yang mengilustrasikan penulisan lafaz Allah Jalalah maupun gerakan tarian tangan yang mengilustrasikan penulisan lafaz Muhammad. Kenapa?

Karena selawat hadrah ISHARI adalah bagian dari amaliyah tarekat Mahaabbaturrasul yang hanya bisa dirasakan keindahan dan kenikmatannya ketika sudah ikut terjun dalam pembacaan shalawat dan mengikuti gerakan tarian radadnya.

Seni Hadrah ISHARI adalah kesenian islami kekayaan Indonesia yang telah menjadi bagian sejarah masyarakat santri menghadapi penjajahan dan juga komunisme. Seni Hadrah ISHARI adalah warisan budaya Islam Nusantara yang harus kita lestarikan dan kita dukung perkembangannya. Apalagi untuk menghadapi gerakan radikalisme agama yang marak di tengah masyarakat muslim Indonesia saat ini, maka perlu diadakan kegiatan-kegiatan kebudayaan islami seperti seni hadrah ISHARI ini untuk menampilkan simbol-simbol tradisi Islam moderat dan Islam ramah yang hal itu merupakan wajah Islam Indonesia.
Untuk arwah Mbah yai wahab dan para muasis ISHARI..alfatihah..

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
3
Ingin Tahu
1
Senang
2
Terhibur
1
Terinspirasi
2
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top