Yerusalem menanggung beban tak kasatmata di kota tempat tiga agama berdoa: sejarah yang dilubangi, dirakit ulang, dan dijual kembali dengan bahasa kekuasaan. Batu-batu tuanya, yang menampung ayat-ayat dan darah dalam porsi yang sama, tetap dingin tatkala sejarah diulang dan dihapus.
Di antara lorong-lorongnya yang sempit, tempat aroma roti dan airmata bercampur dengan dupa, berdiri sebuah kota yang selalu menjadi milik orang lain, tetapi jarang dimiliki oleh mereka yang hidup di dalamnya.
Tahun 1899. Wali kota Yerusalem bernama Yusuf Diya al-Khalidi menulis sepucuk surat. Dunia masih berdansa antara sinar gas dan nasionalisme yang menggelegak. Al-Khalidi, seorang Muslim Turki Utsmani yang fasih berbahasa Ibrani dan Latin, mengirimkan sebuah peringatan. Bukan kepada Sultan. Bukan pula kepada paus atau imam besar. Melainkan kepada seorang Yahudi sekuler dari Wina: Theodor Herzl, sang perancang negara yang belum ada.
Surat itu ringkas, putih hati, dan menggigil. Ia tidak memaki, tidak menuduh. Ia hanya memohon: berhati-hatilah. Sebab tanah ini bukan kosong. Tanah ini bukan kertas putih tempat impian bisa dilukis ulang. Tanah ini hidup dengan pasar, anak-anak, pohon zaitun, dan doa yang sudah membumbung lebih dulu ke langit sebelum kedatangan proyek-proyek besar. Surat itu, seperti banyak surat dari mereka yang tidak memegang kuasa, nyaris tak pernah dibaca (Mahler & Abdul Hadi, 2025).
Yusuf Diya al-Khalidi bukan sekadar wali kota Yerusalem. Ia adalah produk dari zaman yang belum tahu sedang hamil oleh petaka. Seorang intelektual Utsmani yang melihat modernitas bukan sebagai proyek militer, tapi sebagai kemungkinan hidup bersama. Ia pernah belajar di Wina, membaca Goethe dan Talmud, mendalami Plato sambil membaca Al-Ghazali. Ia percaya bahwa dunia bisa berbicara lintas iman, asal mau mendengarkan.
Maka ia menulis kepada Herzl, dengan kehormatan dan keprihatinan yang seimbang. Ia mengakui hak historis Yahudi atas Palestina, bukan sebagai klaim eksklusif, tapi sebagai bagian dari warisan bersama. Namun ia juga memperingatkan: bahwa realitas lebih kuat dari doktrin, dan bahwa tanah ini telah dihuni oleh masyarakat Arab selama berabad-abad. Bahwa membawa pulang sebuah bangsa ke rumah orang lain, tanpa mengetuk pintu, adalah permulaan dari derita (Mahler & Abdul Hadi, 2025).
Jawaban Herzl datang tak lama kemudian. Kalimat-kalimatnya tertata, sopan, dan diplomatik. Ia menyebut al-Khalidi sebagai “orang petah lidah”. Akan tetapi di balik hormat itu, tersimpan keangkuhan yang diam.
Herzl tidak menyangkal isi surat, tapi ia menolak maknanya. Ia bicara ihwal “koeksistensi”, “kemajuan”, dan “pengembangan ekonomi”, seperti para kolonial selalu bicara sebelum membangun rel kereta dan pagar pembatas. Montefiore (2011) menyebut momen ini sebagai titik ketika dua dunia gagal saling mengerti: satu berbicara tentang rumah, satu lagi tentang proyek.
Apa yang terjadi ketika peringatan datang, namun tidak didengar? Sejarah, seperti biasanya, menulis jawabannya dengan darah. Empat dekade setelah surat itu, Deklarasi Balfour dikirim ke tangan Rothschild. Sebuah surat dari bangsawan Inggris kepada bankir Yahudi, menyatakan bahwa Inggris mendukung berdirinya “tanah air Yahudi” di Palestina. Tanpa menyebut orang Arab. Tanpa menyebut bahwa tanah itu bukan kosong, tapi penuh kehidupan. Surat Balfour adalah kebalikan sempurna dari surat al-Khalidi: bukan peringatan, melainkan pengabaian (Filiu, 2014).
Tahun 1948, ketika negara Israel dideklarasikan, lebih dari 700.000 orang Palestina terusir. Mereka tidak hanya kehilangan tanah. Mereka kehilangan status sebagai subjek sejarah. Mereka menjadi pengungsi dari narasi yang menolak keberadaan mereka sejak dalam prolog. Cattan (1981) menyebut surat al-Khalidi sebagai “gugatan waras atas mimpi gila”, satu-satunya suara moderat yang mencoba mencegah tragedi sebelum tragedi itu menjadi abadi.
Gaza
Jika Yerusalem adalah jantung yang diperebutkan, maka Gaza adalah paru-paru yang terus-menerus ditekan.
Dalam setiap serangan udara, dalam tiap blokade, dalam setiap anak yang terlahir lalu mati sebelum sempat mengucap “mama”, Gaza adalah gema dari surat yang diabaikan. Filiu (2014) menyebut Gaza sebagai “palimpsest luka”, tempat di mana sejarah tidak menua, tetapi menganga. Meyer (2019) menyebut bahwa semua kekuatan yang mencoba “mengatur ulang” Gaza, tanpa mendengarkan penduduknya, berakhir dengan kegagalan berdarah.
Surat al-Khalidi, meski tidak menyebut Gaza secara eksplisit, hidup di dalamnya. Sebab apa yang ia peringatkan bukan hanya tentang tanah, tapi tentang prinsip: bahwa proyek, betapa pun canggih dan didanai, tidak akan pernah berhasil jika dibangun di atas pengingkaran.
Kiwari surat itu disimpan dalam arsip, dibaca oleh segelintir sejarawan, dipajang sesekali dalam seminar. Namun ia jarang dibacakan seperti doa. Jarang diperlakukan sebagai renungan. Dunia membaca surat itu seperti menatap prasasti: dengan rasa hormat kosong. Dumper dan Badran (2025) menyebut surat ini sebagai satu-satunya komunikasi resmi antara Herzl dan pejabat Utsmani yang mengandung peringatan tanpa permusuhan. Sebuah dialog yang gagal menjadi dialog karena satu pihak tidak mau mendengarkan.
Herzl menyimpan surat itu, tapi tidak pernah menyampaikannya kepada Sultan Abdul Hamid II. Dalam pikirannya, surat itu hanyalah riak kecil dalam sungai besar sejarah. Ia percaya pada takdir politik, bukan pada etika lokal. Maka, surat itu tetap menjadi surat. Bukan kebijakan. Bukan debat publik. Hanya suara yang dibungkam oleh mesin waktu.
Kemudian, ada bahasa. Bahasa, kata al-Khalidi, bisa menjadi jembatan. Tapi Herzl menjadikannya pagar. Dalam surat balasannya, ia menulis tentang “cahaya peradaban” yang dibawa ke Timur. Ia bicara dalam bahasa kolonial yang dilapisi gula. Namun di dalamnya ada ancaman: terimalah kami sebagai pembawa kemajuan, atau kami akan tetap datang, dengan atau tanpa persetujuanmu.
Al-Khalidi tahu bahwa bahasa bisa menjadi arsenal. Ia menulis dalam semangat Utsmani yang menggabungkan rasionalisme dan welas asih. Akan tetapi jawabannya datang dari romantisme kolonial Eropa. Dan dua dunia ini tidak pernah benar-benar berbicara satu sama liyan. Mereka hanya berdampingan dalam kebisuan sejarah.
Yerusalem. Kota yang disebut suci, tapi diperlakukan seperti lahan kosong. Said Aljoumani dan Hirschler (2023) meneroka bahwa kota ini selama berabad-abad menjadi pusat ilmu, bukan hanya iman. Naskah astronomi, puisi, tafsir hukum, dan filsafat hidup di dalam temboknya. Tetapi surat al-Khalidi jarang masuk katalog. Terlalu politis, kata sebagian. Terlalu getir, kata lainnya. Maka ia disimpan dalam rak sejarah yang tidak disentuh: artefak yang lebih aman diam daripada berbicara.
Namun waktu, di Yerusalem, bukan penyembuh. Ia adalah pengulang. Sejak surat itu ditulis, kota ini telah melihat perang demi perang, pendudukan demi pendudukan. Tapi kalimat al-Khalidi “Tanah ini telah dihuni” tidak pernah kehilangan ketajamannya. Setiap kali rumah diratakan di Sheikh Jarrah, surat itu terbangun kembali, seperti hantu yang menolak dikubur.
Palestina adalah tragedi yang tidak pernah diumumkan secara resmi. Ia hidup di jantung dunia, tapi tak pernah masuk peta secara utuh. Setiap tahun, konferensi perdamaian digelar. Setiap tahun, kutukan terhadap pemukiman ilegal dilontarkan. Akan tetapi setiap tahun juga, anggaran militer tetap mengalir. Maka perjuangan Palestina berubah menjadi bacaan sunyi. Ia disebut, tapi tidak disuarakan. Seperti surat al-Khalidi, ia menjadi teks yang dibaca tanpa didengar.
Rashid Khalidi, keturunan langsung al-Khalidi, kiwari meneruskan warisan itu dari ruang kuliah. Dalam pengajarannya, ia memperlihatkan surat leluhurnya, lalu berkata: “Kami sudah bilang dari awal. Tetapi dunia menolak mendengar.” Dalam tulisannya, ia menyebut bahwa perjuangan Palestina bukan sekadar soal kebenaran, tetapi soal siapa yang diperbolehkan mengklaim kebenaran (Khalidi, 2020).
Di kota tempat begitu banyak doa dipanjatkan, begitu sedikit yang benar-benar didengarkan. Yerusalem menjadi panggung bagi deklarasi, bukan percakapan. Ia direnggut oleh negara, oleh agama, oleh obsesi simbolik. Namun siapa yang peduli pada orang-orang yang tinggal di dalamnya? Tukang roti di Bab al-Amud, anak-anak yang menendang bola di bawah bayang-bayang menara pengintai, ibu-ibu yang menunggu izin di pos militer. Mereka tak disebut dalam deklarasi. Mereka tidak muat dalam brosur diplomasi.
Surat al-Khalidi adalah suara dari mereka. Suara yang tidak bicara tentang tanah yang dijanjikan, tapi tentang tanah yang telah ditempati. Tentang rumah, bukan proyek. Tentang manusia, bukan simbol.
Surat itu tidak menolak Yahudi. Ia menolak kolonialisme. Walakin dalam narasi Zionisme, yang menyamakan trauma dengan hak absolut, perbedaan itu dihapus. Tanah dijanjikan dijadikan argumen atas pengusiran. Seperti membangun perlindungan dari trauma dengan cara menciptakan trauma baru. Pertanyaan yang diajukan al-Khalidi, “bisakah keadilan dibangun di atas penindasan?” tidak pernah dijawab. Ia hanya disisihkan.
Setiap kali kita mengabaikan pertanyaan itu, surat itu akan bangkit dari arsipnya. Laksana puisi yang ditulis ulang oleh sejarah. Seperti doa yang belum selesai.
Kiwari, dalam dunia yang dibanjiri algoritma, di mana sejarah digantikan oleh infografis dan empati oleh kebisingan, mungkin surat itu akan dipajang dalam museum masa depan dengan keterangan: “Inilah suara yang diabaikan sebelum dunia terbakar.” Kita akan menatapnya sambil mengangguk bijak, lalu kembali menekan tombol drone.
Mungkin al-Khalidi akan disebut “primitif penuh asa” karena ia percaya pada etika, bukan strategi. Akan tetapi justru di zaman seperti inilah, harapan yang penuh kerendahan hati menjadi bentuk perlawanan paling radikal. Sebab dunia bisa melupakan. Namun surat itu belum selesai dibaca.