Bagi aktivis pergerakan mahasiswa, nama Tan Malaka tentu tidak asing. Penulis sendiri saat masih aktif di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Rayon Ushuluddin Komisariat UIN Walisongo Semarang (2013) pernah mengadakan sekolah kebangsaan, yang salah satu materinya membedah perjalanan dan pemikiran tokoh pergerakan kemerdekaan yang pandai menyamar dan menjomblo sampai akhir hayat ini.
Tan Malaka mempunyai banyak nama samaran. Salah satunya: Husain. Dengan nama ini pula, Gus Dur bertemu dengan Tan Malaka.
Kata Gus Dur dalam tulisan Membaca Sejarah Lama (18) di buku Kumpulan Kolom dan Artikel Abdurrahman Wahid Era Lengser, sering kali datang seorang tamu ke rumahnya di Jl. Diponegoro Jakarta. Waktu itu Gus Dur berumur lima tahun.
Gus Dur sering membukakan pintu. Kata Gus Dur, tamu itu menanyakan apakah ayahnya (Kiai Wahid Hasyim) berada di rumah. Jika Gus Dur menjawab positif (ada), tamu itu pun meminta Gus Dur memberitahu ayahnya, bahwa Pak Husain ingin bertemu.
“Lelaki berbaju biru, dengan kulit hitam yang datang setelah magrib itu, kemudian dirangkul oleh ayah penulis dan mereka berciuman sangat hangat, seperti laiknya dua orang bersaudara yang sudah lama tidak bertemu” tulis Gus Dur menggambarkan pertemuan ayahnya dan Pak Husain, yang Gus Dur sendiri waktu itu belum tahu, siapa sebenarnya teman ayahnya itu.
Gus Dur baru mengetahui teman ayahnya adalah Tan Malaka pasca empat puluh tahun dari pertemuan itu, setelah ia diberi tahu ibunya, Nyai Solichah Bisri Syansuri, sebelum wafat.
Baca juga:
- Kenangan pada Alquran, dari Tan Malaka hingga Pram
- Midah, Perempuan Muda yang Bertahan Hidup di Jakarta
- Tahun 1990an, Hari-Hari Terberat Gus Dur
Perihal kedekatan Tan Malaka dengan Kiai Wahid Hasyim ini, ditulis pula oleh intelektual muda NU yang rajin menulis buku, Ahmad Baso. Malahan, menurut Baso tidak hanya dengan Kiai Wahid, tapi juga dengan Hadratussyaikh Kiai Haji Hasyim Asy’ari.
Kata Ahmad Baso yang ditulis di status Facebooknya (18/01/2016), Tan Malaka akrab dengan Kiai Wahid Hasyim di Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), bahkan GPII beraliansi dengan kaum kiri yang dibangun Tan Malaka.
Setelah perjuangan 10 November 1945, Tan Malaka juga jejer pandito kepada Hadratussyaikh Kiai Haji Hasyim Asy’ari di pondok Tebuireng Jombang, dari magrib hingga subuh, 12/13 November 1945. Begitu tulis Baso di akun Facebooknya (11/10/2017) merujuk karya Harry Poeze, Verguisd en Vergeten: Tan Malaka, de linkse beweging en de Indonesische Revolutie, 1945-1949 halaman 145-146 terbitan Leiden, KITLV, 2007.
Baso juga menuliskan (17/01/2016) sebuah data, yang mungkin jarang diketahui orang tentang Tan Malaka. Dengan merujuk karya Harry Poeze berjudul Tan Malaka jilid 4 halaman 41, ia menulis:
“…Setelah lepas dari penjara Madiun dan berjuang melawan kaum komunis Madiun dan tentara Belanda pasca agresi kedua, Tan Malaka mulai “nampak sebagai seorang kijahi”, karena mulai bersarungan dan berpeci hitam. Demikian komentar koran Kawan Rakjat, pertengahan Oktober 1948..”
Baso menulis pula (28/01/2018), di masa perang gerilya awal 1949, menjelang kematiannya, Tan Malaka suka mengoleksi jimat para kiai. Data itu Baso peroleh dari Verguisd en Vergeten, Volume 3, halaman 1454 karya Herry Poeze, seorang peneliti Tan Malaka yang memulai risetnya sejak tahun 1970.
Jika bersandar kepada kalender masehi, dua hari lalu adalah haul pahlawan nasional yang bernama lengkap Datuk Sutan Ibrahim Tan Malaka ini. Ia wafat tanggal 21 Februari 1949 di Selopanggung Kediri Jawa Timur, di usia 51 tahun. Mari kita kirim surat al-Fatihah kepada beliau, dan semoga kita bisa melanjutkan perjuangannya.