Sedang Membaca
Islam Agraris: Masjid, Makam, dan Sumur

Guru Sejarah. Alumnus Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga, Surabaya. Saat ini sedang menempuh pendidikan pascasarjana di Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam, UIN Sunan Ampel Surabaya.

Islam Agraris: Masjid, Makam, dan Sumur

Whatsapp Image 2020 06 30 At 1.46.59 Pm

Prof Nur Syam dalam desertasi Tradisi Islam Lokal Pesisiran (Studi Konstruksi Sosial Upacara Pada Masyarakat Pesisir Palang, Tuban Jawa Timur) menjelaskan bahwa dalam tradisi masyarakat Jawa, terdapat tiga lokus penting yang dikeramatkan yaitu masjid, makam, dan sumur. Kemudian Prof Nur Syam dalam konteks desertasinya menjelaskan bahwa masjid merupakan tempat bertemunya kegiatan ritual ibadah kepada Allah, dan melalui masjid wong NU dan wong Muhammadiyah bisa bertemu dalam satu keperluan. Dan untuk di makam menjadi ruang pertemuan wong NU dan wong Abangan, lalu untuk di sumur juga medan pertemuan antara wong NU dan wong Abangan saat kegiatan nyadran atau sedekah bumi. Lantas berdasarkan pada riset tersebut, penulis menganalisis bahwa ada kesamaan pola dengan bentuk keislaman masyarakat Dusun Belung yang latar belakangnya Islam Agraris.

Pada Dusun Belung memang terlihat adanya suatu pola yang berhubungan dengan pemusatan ruang-ruang spiritual yang meliputi masjid, makam, sumur. Masjid secara fungsi normatif menjadi tempat ibadah sholat lima waktu, sholat jumat, serta sholat hari raya dan secara fungsi kebudayaannya juga menjadi lokasi bagi banyak ritus yang dijalankan oleh masyarakat Dusun Belung, diantaranya seperti slametan, megengan. Lalu untuk makam bisa diketahui dari rutinan masyarakat Dusun Belung yang diadakan sebulan sekali, yang berisi kegiatan yasinan-tahlilan di kompleks makam sesepuh dusun dan dipimpin oleh kyai setempat.

Selanjutnya berkaitan dengan sumur, penulis temukan melalui dialog dengan salah satu tokoh Dusun Belung, yang bercerita bahwa dibelakang Pondok Pesantren Malangsari terdapat sebuah sumur tua yang dibuat Mbah Kyai Hasan Murawi (leluhur Dusun Belung), dan sumur tua tersebut biasanya diambil airnya oleh warga dusun untuk pengobatan serta kesembuhan. Maka berdasarkan pada kesamaan pola keislaman yang ada, diketahui bahwa Islam Pesisiran dan Islam Agraris berada dalam posisi yang saling beririsan serta tercakup dalam kontruksi epistemologi kejawen, yang bisa disebut pula sebagai Islam Jawa, dan semua rangkaian ritus yang ada dari masjid,makam,sumur, penulis mengistilahkannya sebagai spiritual kultural.

Kemudian mengacu pada pengamatan penulis terkait masjid di Dusun Belung, bisa dipahami bahwa tidak ada jamaah lain selain dari kalangan wong NU sendiri, dan sepanjang penulis mengamati pada konteks Dusun Belung, tidak ditemukan adanya penyebutan wong Abangan bagi mereka yang aktif ke makam maupun yang meyakini keberkahan sumur tua. Sehingga  pada hakikatnya semua terikat pada identitas yang sama yaitu wong NU, dan realitas tersebut menjadi pembeda dengan apa yang ditemukan Prof Nur Syam saat penelitian desertasinya di wilayah Tuban, Jawa Timur.

Baca juga:  Masjid Mantingan, Warisan Pejuangan Perempuan

Masjid, Makam, dan Sumur sebagai Manifestasi Teologis Islam Agraris

Sanuri dalam buku Teologi, Hukum Islam, dan Tren Modernitas menjelaskan bahwa teologi merupakan ilmu tentang Tuhan dan semua ciptaan Nya (John Fok), lalu teologi adalah diskusi tentang Tuhan atau konsepsi manusia tentang Tuhan, yang menyangkut rasionalitas tentang Tuhan (Lewis Johnsons). Maka berangkat dari definisi-definisi tersebut bisa disimpulkan bahwa pembicaraan tentang teologi akan selalu berhubungan dengan eksistensi Tuhan beserta segala dimensi yang meliputi wujud materi maupun rohani. Sehingga menurut penulis, dalam konteks artikel ini, komponen pararel berupa masjid, makam, sumur juga merupakan manifestasi teologis Islam Agraris, sebab eksistensi dan penafsiran tentang kuasa Tuhan berjejaring erat dengan elemen-elemen sakral yang terdapat pada ruang agraris.

Kemudian dalam buku Falsafah Hidup Jawa, Suwardi Endraswara menjelaskan terkait dengan objek makam,  yang sebenarnya berhubungan dengan tradisi berziarah yang sejak lama dilakukan  masyarakat Jawa, dan biasanya yang di ziarahi adalah makam-makam para tokoh yang seringkali berstatus sebagai agamawan, bangsawan, sesepuh, serta sosok yang punya kesaktian di Tanah Jawa, dan para tokoh tersebut bisa digolongkan sebagai roh suci, serta bisa berhubungan dengan manusia, bahkan bisa ikut memberi safa’at.

Berdasarkan penjelasan tersebut, dimana roh seseorang yang sudah meninggal dianggap tetap bisa terhubung dengan manusia-manusia yang masih hidup, sesungguhnya hal itu berkaitan dengan konsep roh dan tawasul. Dalam Kitab ArRuh karya Imam Ibnu Qoyyim dijelaskan tentang interaksi antara manusia yang masih hidup dengan manusia yang telah wafat, melalui sebuah periwayatan hadist yang disampaikan oleh Ibnu Abdil Bar , bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda:

Baca juga:  Melongok Jam Bencet di Mejid Gedhe Solo

“Seorang muslim yang melewati makam saudara yang dikenalnya saat di dunia lalu ia mengucapkan salam kepadanya maka Allah akan mengembalikan ruh kepada orang yang sudah meninggal dunia itu hingga ia menjawab salam (saudara) nya.”

Sehingga berdasarkan hadist tersebut bisa dipahami bahwa orang yang sudah meninggal dunia bisa mengetahui orang yang datang menziarahi makamnya sekaligus menjawab salam yang ditujukan kepadanya, dan tentang tawasul menurut M.Syakur Dewa dalam buku Dalil-Dalil Rujukan Amaliah NU dijelaskan bahwa tawasul adalah menjadikan para Nabi dan orang-orang sholih sebagai perantara untuk tercapainya sebuah tujuan dan yang mewujudkan serta mentakdirkan tetap Allah SWT.

Masjid, Makam, Sumur sebagai Kerangka Ekologi Transendental

Apa yang tampak dari aktivitas ritus yang berjalan di masjid, makam, sumur bisa kita maknai sebagai bentuk sikap sufistik, yang penulis posisikan sebagai ekologi transendental. Hal ini dikarenakan adanya sikap spiritual yang meliputi unsur-unsur yang ada di lingkungannya, dan diantara unsur tersebut adalah sumur. Kemudian menurut penafsiran penulis, sumur menjadi sesuatu yang penting bahkan sakral karena terintegrasi erat dengan kebutuhan dasar manusia yaitu air bersih, dan dengan adanya sumur, maka manusia mampu memenuhi hajat hidupnya baik yang bersifat materi maupun rohani.

Sehingga suatu komunitas masyarakat bisa bertumbuh, berkembang, sekaligus bertahan diantara faktor penunjangnya karena sumur. Penafsiran penulis tersebut juga berangkat dari hasil penelusuran serta analisis, pada beberapa sumur tua di Surabaya, diantaranya ada di daerah Kandangan, Candi Lontar, Gadel.

Baca juga:  Ngaji Filsafat di Masjid (5): Mensiasati Pandemi, Menginsafi Diri

Bambang Irawan dan Rosmaria Sjafariah dalam buku Sufisme dan Gerakan Enviromentalisme: Studi Eco Sufism Di Pondok Pesantren Ath Thaariq Garut, Jawa Barat, juga menjelaskan salah satu nilai-nilai dalam ekosufisme adalah takhalli, yang berarti manusia mulai menyadari bahwa lingkungan dimana ia tinggal mempunyai hak untuk dijaga serta dirawat kelestariannya. Sehingga berdasarkan pada penjelasan tersebut, aktivitas ritus yang berusaha untuk menjaga serta meyakini barokah dari sebuah sumur pada dasarnya adalah bagian dari tafsiran luas ekosufisme.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top