Fiqh al-Sirah al-Nabawiyah adalah buku sejarah yang ditulis oleh Syekh Said Ramadhan al-Buthi dalam rangka memberikan bantahan terhadap para orientalis yang menulis sirah Nabi Muhammad dengan sudut pandang sains modern. Lebih dari itu, sebagian dari mereka menulis sejarah hidup Nabi hanya untuk mencari-cari kesalahan dan menghina beliau.
Di bagian pendahuluan, al-Buthi menyebut nama Muhammad Husain Haikal dengan bukunya “Hayah Muhammad” sebagai salah satu penulis yang merekam perjalanan hidup Nabi Muhammad melalui kacamata ilmu pengetahuan. Ini bukan persoalan remeh yang bisa dibiarkan begitu saja. Sebab, kata al-Buthi, bila sains modern yang digunakan untuk membaca sirah nabawiyah, maka dampaknya tidak akan ada kejadian-kejadian supranatural atau mukjizat (selain al-Qur’an) sebagaimana yang dijumpai dalam hadis-hadis shahih.
Padahal –jelas al-Buthi lebih lanjut– tidak seharusnya seorang muslim sejati hanya meyakini mukjizat satu-satunya yang dimiliki Nabi Muhammad adalah al-Qur’an. Sepanjang ia melihat rekam jejak hidup Nabi sebagai sebuah keniscayaan, maka sudah seharusnya ia juga meyakini mukjizat-mukjizat lain yang dimiliki Nabi SAW,. Sementara, bila ia tidak mengimani sirah Nabi itu berarti dengan kata lain ia juga menolak kemukjizatan al-Qur’an. Hal ini dikarenakan, ragam mukjizat yang dimiliki Nabi selalu beriringan dengan kemukjizatan al-Qur’an. Tentu saja, ini tidak akan alpa dari orang yang membaca sirah nabawiyah dengan hati dan pikiran yang jernih.
Diakui atau tidak, karya Syekh Said Ramadhan al-Buthi ini merupakan salah satu warisan tekstual yang sudah sepatutnya menjadi kebanggaan umat Islam. Di mata saya, setiap sejarah yang ditulis al-Buthi dalam buku ini mirip sebuah kristal yang memancarkan berbagai ragam pelajaran yang sangat kaya. Bagaimana tidak? Setiap kali tuntas menulis sebuah kisah, al-Buthi senantiasa menambahkan “al-Ibar wa al-‘Idzoh”, pelajaran atau hikmah dan nasihat yang bisa diambil dari sejarah terkait. Pada bagian inilah al-Buthi menyisipkan argumentasi dan bantahan-bantahannya kepada kaum orientalis. Di samping itu, ulama yang digelari dengan Ghazali al-Ashr, Imam Ghazali-nya abad ini, juga menyertakan persoalan-persoalan hukum yg berkait kelindan dengan sirah nabawiyah.
Salah satu bagian dalam Fiqh al-Sirah al-Nabawiyah yang berisi bantahan al-Buthi adalah kisah pernikahan baginda Nabi dengan Sayyidah Khadijah, seorang perempuan cantik, kaya raya dan bernasab mulia. Pada masa itu, Bunda Khadijah adalah pebisnis besar yang memiliki banyak karyawan. Konon, bisnis yang dikelola Sayyidah Khadijah jauh lebih besar dari pada bisnis yang dijalankan oleh kaum Quraish pada umumnya.
Mendengar kabar ada seorang pemuda mulia yang jujur dan terpercaya bernama “Muhammad”, Khadijah kepincut untuk menjadikannya sebagai salah satu karyawan yang akan dikirim ke Syam. Bak gayung bersambut, Muhammad muda tidak menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Ia menerima tawaran itu dan berjanji akan pulang dengan membawa keuntungan besar.
Benar saja, Muhammad menapati janjinya dengan pulang membawa keuntungan yang berlipat ganda. Sepanjang perjalanan, ia ditemani Maisarah, seorang budak laki-laki yang ditugasi untuk menemani Muhammad menuju Syam. Tak diduga, selama di jalan Maisarah menyaksikan banyak kejadian di luar nalar yang dialami Muhammad. Sebuah keistimewaan yang membuatnya tak henti-henti berdecak kagum kepada sosok Muhammad. Apa yang ia lihat selama perjalanan mendampingi Muhammad itu kemudian diceritakan kepada Khadijah. Dari sinilah benih-benih cinta Khadijah mulai tumbuh. Ia mendambakan Muhammad untuk menjadi pendamping hidup di sisa usianya yang tidak lagi muda.
Ternyata cinta Khadijah tidak bertepuk sebelah tangan. Muhammad yang kala itu usianya jauh di bawah Khadijah juga menaruh hati kepadanya. Bila sudah cinta usia bukanlah sebuah persoalan serius yang harus dipersoalkan. Atas dasar cinta akhirnya mereka berdua sekata untuk mengikat hubungan suci dengan tali pernikahan.
Dari kisah pernikahan Nabi Muhammad dengan Sayyidah Khadijah ini, jelas al-Buthi, setiap orang akan melihat Nabi sebagai pemuda yang tidak mementingkan fisik luar sebagai pertimbangan untuk menikah. Sebab, bila rasulullah berlaku seperti anak-anak muda seusianya maka beliau akan lebih memilih perempuan yang lebih muda atau minimal sama secara usia. Namun, sekali lagi baginda lebih memilih Bunda Khadijah -yang usianya terpaut 15 tahun di atas beliau– karena kemulian dan kecerdasan yang tidak dimiliki oleh wanita lain pada umumnya.
Pernikahan ini berjalan teduh dan bahagia hingga akhirnya Sayyidah Khadijah wafat di usianya yang ke 65 tahun. Selama menjalin hubungan itu tak sedikitpun terlintas di benak Nabi Muhammad untuk menduakan Bunda Khadijah. Padahal bisa saja Nabi menikahi perempuan manapun yang beliau suka selayaknya kebiasaan orang-orang Arab kala itu.
Menurut Syekh Said Ramadhan al-Buthi, kisah di atas (seharusnya) menjadi tamparan keras bagi kaum orientalis yang menuduh baginda Nabi Muhammad sebagai laki-laki hiperseks dengan libido tinggi. Melalui pernikahan Nabi, mereka menggambarkan rasulullah sebagai pribadi yang “ngacengan” dan isi pikirannya hanya soal seks. Para orientalis itu mendaku sebagai orang yang paling mengerti sejarah. Padahal sejatinya pengetahuan mereka tentang sejarah masih amat sangat dangkal sekali. Mereka hanya belajar di permukaan kemudian membuat kesimpulan yang diduga akan menjatuhkan kewibawaan Islam di mata dunia. Tetapi ternyata tesis yang mereka buat malah makin menegaskan bahwa sejatinya mereka tak tau sejarah.
Bagaimana mungkin mereka menggambarkan Nabi Muhammad sebagai laki-laki hiperseks? Sedangkan hingga usianya yang ke 25 tahun Nabi masih menjaga kehormatannya. Tentu ini bukan perkara mudah di tengah-tengah masyarakat secara moral tidak sehat. Seorang laki-laki hiperseks juga tidak akan mau menikah dengan janda yang usianya jauh di atasnya dan hidup bersama tanpa sedikitpun keinginan untuk berpoligami.
Sementara itu, pernikahan rasulullah (pasca Sayyidah Khadijah) dengan Sayyidah Aisyah dan istri-istri yang lain memiliki kisah dan hikmah tersendiri yang (seyogyanya) makin memantapkan keimanan setiap muslim sejati kepada baginda Nabi Muhammad SAW,. Pastinya, pernikahan-pernikahan itu digelar bukan untuk menuruti keinginan nafsu birahi (sebagaimana tuduhan kaum orientalis). Alasannya sederhana, bila Nabi hanya ingin memuaskan nafsu saja beliau akan menikahi banyak perempuan di usia mudanya. Namun kenyataannya Nabi berpoligami di usianya yang sudah senja. Dan itu dilakukan setelah sekian lama beliau bermonogami dengan Sayyidah Khadijah.
Orang yang membaca dan mempelajari sirah nabawiyah dengan hati dan pikiran yang bersih akan mudah memahami pernikahan Nabi sebagai bukti nyata bahwa beliau bukan laki-laki hiperseks sebagaimana tudahan orang-orang orientalis. Faktanya, Nabi memang disetting oleh Allah sebagai manusia sempurna (al-insan al-kamil) baik luar (fisik) maupun dalam. Jauh dari hal-hal yang dapat mengurangi kesempurnaannya. Wallahu A’lam.
Banyuwangi, 11 Oktober 2022.