Pemecatan Laksamana Sukardi dan Jusuf Kalla oleh Gus Dur berdampak panjang. Hampir seluruh media massa saat itu menyalahkan tindakan Gus Dur. Bisa dibilang, media saat itu ikut menghantam Pemerintahan Gus Dur, tak banyak sumber yang dikutip dari pihak Gus Dur. Justru, para anggota DPR mendapat porsi lebih di media massa.
Merasa Gusar dengan pemberitaaan. Gus Dur mengungkapkan bahwa kegaduhan politik tersebut berasal dari sisa-sisa kekuataan rezim Orde Baru yang tidak suka dengan kebijakannya. 1 Januari 2000, Gus Dur dalam kesempatannya menghadiri Froum Rembuk Nasional (FRN) di Denpasar, Bali menyatakan akan menangkap beberapa anggota DPR yang memprovokasi suasana politik.
“Hari ini saya telah menandatangani izin kepolisian untuk memeriksa beberapa anggota DPR yang terlibat dalam berbagai kerusuhan,” tegas Gus Dur.
Beberapa nama yang dimaksud Gus Dur adalah 40 nama yang disebut oleh Gus Dur sebagai musuh-musuh politiknya. Seperti dalam Buku Menjerat Gus Dur, yang dikutip dari Majalah Gatra 3 Juli 2000, dari 40 nama tersebut dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok.
Pertama, eks-Orde Baru adalah Soeharto dan keluarga serta kroni-kroninya seperti Feisal Tandjung, Ginandjar Kartasasmista. Kedua, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Connection, terdapat 10-15 nama seperti Fuad Bawazier, Akbar Tandjung, dan Achmad Tirto Sudiro. Ketiga, kelompok Pro Habibie, seperti Wiranto. Keempat, mereka yang tersangkut masalah hukum seperti Syahril Sabirin.
Tak pelak, aksi Gus Dur menimbulkan reaksi yang cukup keras. Fuad Bawazier mengatakan tindakan Gus Dur itu sebagai sebuah represi. “Tindakan represif adalah pekerjaan bodoh, pemerintah bisa menggali kuburannya sendiri,” seloroh Ketua KAHMI saat itu. Selain itu, Ade Komaruddin mengatakan, pernyataan dan sikap Gus Dur hanya sebuah manuver Gus Dur untuk mempertahankan kekuasaannya.
Sementara itu, Ginandjar Kartasasmita, Wakil Ketua MPR dari Partai Golkar merasa geli atas pemberitaan tersebut. Ginandjar membantah ingin menjatuhkan Gus Dur, meski dalam beberapa diskusi diakuinya memang ada wacana untuk menjatuhkan Gus Dur.
Dia merasa tak pernah berbicara dengan tokoh-tokoh politik untuk menggerakkan massa, mendorong situasi ke arah ketidakstabilan. “Gus Dur menggunakan isu KKN untuk melabeli siapapun yang tidak sejalan dengan idenya,” kata bapak dari Agus Gumiwang Kartasasmita ini.
Bukan tanpa sebab Gus Dur mengincar Ginandjar. Ginandjar dianggap sebagai salah satu kroni terkuat Orde Baru yang masih berkuasa setelah reformasi. Jeffrey A. Winters mencatat bahwa Ginandjar merupakan anggota Tim Sepuluh yang merumuskan dan mengendalikan kebjakan perekonomian domestic pasra-era booming minyak pada 1978.
Dalam riset yang dilakukan untuk menyelesaikan buku Menjerat Gus Dur, beberapa temuan dan wawancara menguatkan dugaan keterlibatan Ginandjar dalam menjatuhkan Gus Dur. Dan peran yang dimainkan Ginandjar sangat besar. Hanya saja, Ginandjar tak merespons permintaan untuk memberikan klarifikasi.
Hal ini menunjukkan sulit dan rumitnya menjalankan pemerintahan di era transisi. Gus Dur tak hanya memiliki tugas untuk menjaga persatuan, menguatkan ekonomi, tetapi juga harus melawan kekuatan Orde Baru yang memanfaatkan reformasi untuk kembali berkuasa.