Banjarmasin yang saya kenal adalah wilayah yang tidak ramah untuk bermain bola. Tidak banyak ruang terbuka yang bisa dipakai sejak saya masih anak-anak walau untuk sekedar memainkan bola. Mungkin hanya lapangan sekolah dan jalan raya yang paling sering kami, bersama kawan-kawan sebaya, pakai untuk melampiaskan kegemaran kami pada sepakbola. Itupun kami harus berbagi dengan mobil, sepeda motor hingga orang berjalan kaki, karena yang biasanya kami pakai adalah jalanan umum.
Belum lagi soal berapa kaca jendela atau kemarahan orang tua yang harus kami hadapi. Pengalaman inilah yang kami rasakan saat bermain bola di jalan atau lapangan sekolah di Banjarmasin. Lahir di wilayah rawa, kami juga harus berlapang dada jika suatu waktu hujan lebat mengguyur tempat kami atau lagi terjadi pasang air, karena jika itu terjadi maka air pasti menggenang di lapangan atau jalan yang sering kami pakai.
“Kami hanya memiliki lapangan bola kecil yang memang tidak diperuntukkan bermain sepakbola, jadi kadang saat musim panen tiba maka beberapa petak sawah kami gunakan untuk bermain” begitu kenang salah seorang teman.
Dia melanjutkan ceritanya, kegembiraannya tersebut hanya berlangsung sekitar 2-3 bulan saja karena harus lahan tersebut kembali dipakai untuk bercocok tanam. Inilah yang menyebabkan ada beberapa tiang gawang masih terpasang di tengah hamparan sawah di beberapa daerah. Mungkin sering kita tidak sadar, selain kaos Partai atau pemilihan kepala daerah maka kaos bola juga sering dipakai kala para petani turun ke sawah atau orang-orangan sawah.
Sekarang antara lapangan sepakbola dan lahan persawahan memiliki nasib tak jauh berbeda, harus tergusur dan area sawah malah harus diambil paksa karena petani yang banyak terlilit masalah. Problematika petani soal lahan memang tidak bisa dibanding dengan kesulitan kami mencari lapangan bola, karena berapa banyak mereka yang harus kehilangan sawah baik karena terjual atau terpaksa dijual.
Persoalan tanah menjadi perbincangan nilai dan uang sejak mulai dikenalnya konsep Land Rent, yang terkait dengan tekanan penduduk. Tokoh pertama yang mengemukakan adalah David Ricardo, dalam buku “The Principles of Political Economy and Taxation” yang diterbitkan tahun 1921. Di dalam karyanya, Ricardo mengaitkan antara proses produksi dengan jumlah penduduk yang semakin bertambah.
Di sana dijelaskan bahwa permintaan terhadap sumber data produksi meningkat sedemikian rupa, agar manusia bisa mempertahankan kehidupan. Dari luas lahan yang berkualitas bagus justru terbatas, sedangkan permintaan meningkat. Pandangan mazhab klasik merumuskan penyebab sengketa lahan didasari oleh kepadatan penduduk di atas tanah yang paling subur terus meningkat, dan organisasi ekonomi tidak disesuaikan dengan tuntutan peningkatan kepadatan penduduk tadi.
Penjelasan di atas memang belum menyentuh persoalan sengketa tanah di Indonesia. Sengketa tanah di Indonesia dalam beberapa catatan saya baca, banyak yang menyebutkan mulai terjadi sejak kehadiran pemerintahan kolonial ata penjajah. Rentang sejarah yang panjang dalam polemik agraria di Indonesia tidak dijelaskan secara rinci kalau dihadirkan dalam esai sederhana ini.
Ambillah Orde Baru sebagai titik awal, dalam melihat betapa krisis tanah di Indonesia. Di bentang kepulauan Indonesia di masa Orde tersebut, kita disajikan kehadiran Negara dan pemodal sebagai musuh rakyatnya dalam persoalan agraria tersebut. Banyak dari kebijakan Negara kala itu malah memperlihatkan perselingkuhan mereka dengan para pemodal.
Negara dengan kebijakannya bukan melindungi pemodal untuk mengambil tapak-tapak bagi industri, walau harus berdiri di atas lahan yang produktif digarap petani. Di tahun 1995 saja, akhir masa Orde Baru, Kompas pernah mengulik berapa luas lahan yang hilang. Mereka menyebutkan sekitar sembilan ratus ribu hektar lahan pertanian yang berubah fungsi menjadi non-pertanian, mayoritas Industri.
Friksi terkait tanah ini tidak sedikit melahirkan perlawanan rakyat hingga sekarang. Polemik tanah yang masih berlanjut hingga sekarang, malah bisa dibilang tidak banyak berubah hingga sekarang. Kita mungkin sudah mengetahui kasus-kasus tanah yang terjadi sejak tahun 1980-an telah menggunakan dua metode, yaitu mekanisme manipulasi dan kekerasan.
Bentuk manipulasi yang dilakukan biasanya berupa: klaim kepemilikan berdasar musyawarah, pemalsuan tanda tangan, menyuap pimpinan petani/penduduk, hingga memberi stigma perlawanan dengan cap PKI atau anti pembangunan (kalau sekarang baca: anti-investasi). Sedangkan bentuk kekerasan bagi mereka yang melawan adalah intimidasi, teror, penyiksaan, pengunaan mekanisme hukum acara pidana, pembakaran, penghilangan hingga penggunaan senjata yang merenggut korban.
George Aditjondro malah pernah menyebutkan ekspresi perlawanan konflik tanah tidak bisa lagi hanya dipandang sebagai sengketa tanah ‘an sich’. Ia melihat sengketa tanah adalah puncak gunung es dari sengketa lain yang mendasar, seperti sengketa antar sistem ekonomi, antar mayoritas-minoritas, warga negara versus negara hingga persoalan ekologi yang lebih rumit lagi.
Rumit dan menakutkan mungkin terlintas dalam imaji kita soal persoalan tanah di Indonesia. Lahan atau tanah sebagai arena pertarungan rakyat terhadap penguasa terus bertransformasi hingga sekarang. Kita lihat ke belakang, di mana saat rakyat melawan kolonialisme yang telah membawa tiga bencana, pencaplokan tanah, tekanan pajak dan pengerahan tenaga kerja wajib. Kondisi ini akhirnya tidak dapat lagi diterima oleh kalangan petani hingga menciptakan perlawanan pada pemerintah kolonial dan tuan-tuan tanah.
Gerakan sosial dari perlawanan petani tersebut meninggalkan beberapa ciri, millerianisme (ajaran-ajaran akan datangnya zaman keemasan), mesianisme (kepercayaan pada Ratu Adil), nativisme (gerakan untuk kembali ke adat kuno) dan perang suci (ajaran-ajaran untuk berjihad). Keempat ciri ini menurut Sartono Kartodirjo sentiasa muncul dalam setiap pemberontakan petani.
Sekarang tanah produktif untuk memenuhi kehidupan masyarakat harus dirasakan sebagai kemewahan yang harus dijaga hingga kapanpun. Kala masih anak-anak, kami mungkin melihat lahan yang bisa dipakai bermain sepakbola sebagai kemewahan, bisa dijadikan sebagai pelajaran. Arkian menjaga tanah sebagai unsur penting dalam kehidupan masyarakat harus dijaga lebih dari melihat tanah lapang untuk bermain bola.
Kita harus belajar dari seorang Salim Kancil yang berjuang tak kenal takut untuk mempertahankan tanah produktifnya, di tengah berbagai kesulitan yang dihadapinya. Jangan sampai terbuai dengan segala bujuk rayu dari para pemodal untuk menggantikan kemewahan lain, itulah pelajaran dari Salim Kancil.
Untuk penutup, saya pernah diceritakan teman tentang langgar di tempat tinggalnya. “Langgar kami di pinggir sungai itu dipindah ke tanah seberangnya, karena kemarin kala Tongkang (pengangkut batubara) menabraknya” kata teman saya. Memang langgar tersebut menjadi baru, tapi baginya ada pelajaran melankoli dari kejadian tersebut, yaitu “kekuatan uang kadang bisa menutupi kesedihan masyarakat karena langgar tersebut dibangun sedikit demi sedikit dari hasil uang yang mereka himpun. (RM)
Fatahallahu alaihi futuh al-arifin