Sedang Membaca
Kiai Najmuddin Kapurejo: Kiai Tirakat, Kiai Lakon

Mahasiswa sekaligus Santri Aktif Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.

Kiai Najmuddin Kapurejo: Kiai Tirakat, Kiai Lakon

Foto: saat penulis mewawancarai Kiai Najmuddin

Jalan melompong. Langit hitam dipadati gumpalan awan kelabu. Terang matahari tak mampu mengusir kabut tebal yang menerkam. Hujan pun turun deras. Meski dengan benturan dahsyat di sertai angin yang membadai, sedikit pun tak membuat surut kami berdua dari Ponpes Nurul Jadid berangkat menuju Ponpes Salafiyah Kapurejo, Pagu, Kediri.

Akhirnya, setelah tujuh jam lima belas menit, sore menjelang maghrib, kami berdua tiba di area Pesantren, tepatnya di Dusun Kapurejo, Desa Pagu, Kecamatan Pagu yang tampak sangat sederhana berperawakan tua.

Dari kejauhan terlihat pintu gerbang pesantren terbuka. Beberapa hilir para santri sedang menyapu didepan masjid. Kami mendatanginya dan bertanya “Kiai Najmuddin ada di dhalemnya mas?. Alhamdulillah beliau ada mas,” jawabnya sambil menunjuk dhalem (rumah). Singkat cerita, kami pun diantar menuju dhalem Kiai Najmuddin yang sangat sederhana itu.

Kesederhanaan itu juga tampak pada sosok Kiai Najmuddin, dengan memakai baju putih, sarung hitam kecoklatan dan kopyah putih. Seusai mengucap salam, kami dipersilahkan masuk. Tak lama kemudian kami mengutarakan maksud untuk meliput Pesantren Kapurejo yang terkenal dengan “karakter kemasyarakatan dan tirakat santrinya”.

Berdasarkan penuturan Kiai Achmad Najmuddin, menantu pengasuh kedua, “Pesantren Kapurejo ini didirikan oleh Raden Mas Ronowidjojo atau Ki Ronowijoyo, Perwira Resimen Sentot Prawirodirdjo yang merupakan keluarga Prawirodirdjan alias Kiai Hasan Muchyi, yang diperkirakan sekitar tahun 1800.” Terangnya.

Kiai Muchyi adalah salah satu pengikut Pangeran Diponegoro yang mengungsi ke Kediri setelah berakhirnya perang Jawa tahun 1930. “Saat itu, Laskar Ponegoro mengalami kekalahan. Akhirnya banyak yang mengungsi ke daerah-daerah kecil untuk bersembunyi, termasuk Kiai Hasan Muchyi. Karena itu, jika melihat keberadaan Kiai Muchyi, bisa dideteksi Pesantren Kapurejo sudah ada akhir abad19.” Sambung Kiai Najmuddin.

Rupanya, di masa Kiai Muchyi, pesantren Kapurejo sudah mengajaran kitab-kitab kuning dan al-Qur’an dengan metode sistem bandongan. Akan tetapi, saat itu masih belum ada madrasah. Madrasah baru ada ketika Kiai Hasyim Asy’ari datang dan menetap di Kapurejo, dengan mempersunting putri bungsu Kiai Muchyi yaitu, Nyai Masrurah.

Baca juga:  100 Tahun Soeharto (1): Bocah dan Doa

Tak hanya itu, Kiai Najmuddin juga menyampaikan silsilah kepengasuhan pondok dari dulu sampai sekarang. Setelah Kiai Muchyi berpulang ke sisi Allah Swt., kepemimpinan dilanjutkan oleh putranya yakni, Kiai Ilyas, yang fokusnya mengurusi ngaji kitab dan al-Qur’an bersama adik iparnya, yaitu Kiai Yasir, yang kebagian mengurusi madrasah.

Kepemimpinan selanjutnya dipegang oleh Kiai Mahfud yang merupakan putra Kiai Ilyas. Dalam mengemban amanah pesantren, Kiai Mahfud tidak sendirian, tapi juga dibantu sepupunya yaitu, Kiai Shodiq (putra Kiai Yasir) yang tugas utamanya mengurus Madrasah Diniyah dan persoalan ilmu lakon (kanuragan).

Memasuki tahun 2012 Kiai Mahfud wafat. Akhirnya, kepengasuhan utama dilanjutkan oleh adik iparnya yaitu, Kiai Ahmad Najmuddin sampai sekarang yang juga dibantu oleh putra Kiai Mahfud yaitu, Gus Muhyiddin. Sementara madrasah, sepeninggal Kiai Shodiq (1921-1999) dilanjutkan oleh putranya yaitu, Gus Hamdani Bik sampai sekarang.

Pesantren Kapurejo ini juga memiliki unit pendidikan. Mulai dari Sekolah Diniyah Ula yang disebut Madrasah Islam Salafiyah (MIS) ditempuh selama enam tahun, dan Madrasah Diniyah Wustho disebut Tarbiyah Islam Mu’allimin (TIM) ditempuh selama empat tahun.

Sistem mengajar di Sekolah Diniyah menggunakan kurikulum sendiri, dalam hal ini lebih pada salafnya yang mengajarkan syariat Islam secara murni tanpa ada penambahan dan pengurangan. Baru pada tahun 1998, Pesantren Kapurejo bekerja sama dengan Nahdlatul Ulama, didirikanlah kemudian MTs dan MA yang pengelolaannya diserahkan kepada pihak NU.

Seperti pesantren pada umumnya, yakni adanya pengajian kitab kuning yang diampuh langsung oleh kiai dan ustad senior (atas perintah kiai). Dari kitab-kitab kecil seperti al-Mabadhi’ Fiqh, hingga kitab-kitab besar seperti al-Iqna’, Fathu al-Mu’in, Fathu al-Wahab, Shahih al-Bukhari. Namun, yang menarik dari pesantren ini adalah menyatu kental dengan kehidupan masyarakat. Pendek kata “menyantrikan masyarakat dan menjadikan masyarakat santri”.

Baca juga:  Mengenal Syarifah Fatimah: Wali Perempuan di Pekodjan Semarang

Menjaga Karakter Kemasyarakatan

Syahdan, Pesantren Kapurejo adalah pesantren tertua di Pagu, Kediri, Jawa Timur. Masyarakat mengenal pesantren ini dengan karakter kemasyarakatan dan tirakat santrinya, yang fokusnya mendalami ilmu-ilmu lakon atau kanuragan. Iya betul, menanamkan pendidikan karakter kemasyarakatan dan ilmu lakon sejak usia dini adalah ciri khas Pesantren Kapurejo.

Karena itu, tak heran jika para santri, alumni, dan masyarakatnya selalu rajin kerja bakti, gotong royong, mandiri, pekerja keras, tak terkecuali juga ahli ilmu lakon. Implementasi dari karakter kemasyarakatan dapat dilihat dari kompaknya santri, alumni, dan masyarakatnya bergerak dalam hal apapun.

Kiai Najmuddin mengatakan, “sekiranya jika di Pesantren ada perbaikan dan pembangunan gedung, semua masyarakat kompak membantu tanpa minta upah sedikit pun. Begitu juga sebaliknya, di penghujung saat musim panen padi masyarakat, semua para santri berbondong-bondong berkeluyur membantunya. Paparnya.

Masih tentang soal kekompakan. Menariknya menurut penulis, meski tidak ada perintah langsung dari pengasuh, di pesantren Kapurejo, kerja bakti dan gotong royong antara santri, alumni, dan masyarakat sudah terjadwal layaknya mata pelajaran disekolah. Bagaimana tidak menarik, karena tidak semuanya pesantren membolehkan santrinya berbaur dengan masyarakat. Tentu masing-masing pesantren memiliki kebijakan sendiri.

Bahkan, para alumni pesantren Kapurejo membuat kelompok triwulan sesuai dengan angkatannya masing-masing. Biasanya para alumni itu ngumpul satu bulan satu kali membahas terkait masalah pondok ini. Semuanya berjalan begitu saja tanpa ada yang mengaturnya.” Jelas Gus Irul, putra Kiai Najmuddin.

Yang jelas alasan santri berbaur dengan masyarakat; pertama, santri adalah bagian dari masyarakat itu sendiri; kedua, santri setelah boyong (pulang) dari pesantren akan terjun kemasyarakat. Makanya dibiasakan mengenal dan mengikuti kehidupan masyarakat mulai sekarang agar supaya nanti tidak kaku saat terjun kemasyarakat.” Imbuhnya Gus Irul.

Tirakat dan lakon 

Tidak hanya itu, di Pesantren Kapurejo belajar ilmu lakon (ilmu kanuragan) adalah sebuah keharusan, bahkan kewajiban. Karenanya, para santri yang akan selesai dan lulus pendidikanya akan dibekali ilmu-ilmu lakon.

Baca juga:  Ulama Banjar (42): KH. M. Janawi

Para santri biasanya akan diberikan beberapa amalan termasuk puasa empat puluh hari, puasa mutih, puasa ngebhleng selama tiga hari (bukanya saat pagi hari). Apalagi dulu waktu musim ninja masa Pak Harto, disini ramai orang asma’an berijazah ilmu-ilmu kanuragan,” ungkap Nyai Azizah, cucu Kiai Ilyas.

Masyarakat menilai, khususnya warga sekitar, bahwa pesantren dengan luas kurang lebih dua hektar ini, cukup memberikan kontribusi besar dengan adanya penanaman pendidikan karakter kemasyarakatan dan tradisi ilmu lakon. Tercatat santri yang berdatangan mondok mulai dari Jawa hingga luar Jawa, seperti Kalimantan, Bali, hingga Nusa Tenggara, terlebih para alumninya sudah mampu berkiprah dimasyarakat.

Akhiran, penting di catat, dibalik itu semua, ternyata pesantren Kapurejo juga menyimpan monumen sejarah yaitu, dhalem (rumah) peninggalan Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari (1871-1947) yang menjadi “ikon” Pesantren ini.

Ajaibnya, bangunan rumah itu sama sekali tidak berubah, persis utuh diwaktu masa ada Mbah Hasyim. Hanya saja, ketika ada yang rusak diperbaiki dan tanpa digantinya selagi masih bisa dipakai. Namun, setelah penulis menyisiri rumah itu, hampir semuanya tidak ada yang di rubah, mulai dari kamar pribadi Mbah Hasyim dan Nyai Masrurah, tempat shalat hingga kamar mandinya Mbah Hasyim utuh seperti sedia kala.

Tanpa terduga tak kalah menariknya, dhalem peninggalan Mbah Hasyim yang sangat sederhana dan cukup tua yang kini menjadi tempat belajar para santri itu, sudah berusia lebih dari satu abad.

Saat Belanda mengirimkan beberapa kompi pasukan untuk memporak-porandakan pesantren Tebuireng, yang akibatnya hampir seluruh bangunan pesantren dan kitab-kitabnya dihancurkan serta dibakar, maka rumah di Kapurejo menjadi tempat singgah Mbah Hasyim dan Nyai Masrurah, sembari mengatur strategi untuk melawan penjajah. Perlakuan refresif Belanda terus berlangsung hingga masa-masa revolusi fisik Tahun 1940-an. Wallahu a’lam bisshawab.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top