Sedang Membaca
Menyibak Makna Filosofi di Balik Tradisi Nyoteng Kolbuk: Antara Ritual dan Relasi Sosial
Roni Ali Rahman
Penulis Kolom

Mahasiswa UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember, pecinta tradisi.

Menyibak Makna Filosofi di Balik Tradisi Nyoteng Kolbuk: Antara Ritual dan Relasi Sosial

E Axcl2ucaicnrr

Tradisi adalah jembatan antara masa lalu dan masa kini, medium yang menyatukan warisan leluhur dengan kebutuhan zaman. Dalam konteks budaya agraris Nusantara, tradisi tidak sekadar simbol, tetapi juga menjadi cara masyarakat memahami hidup, alam, dan Tuhan. Di Bondowoso, tepatnya di Desa Sumber Wringin, tradisi Nyoteng Kolbuk menjadi salah satu bukti bagaimana ritual lokal terus bertahan sebagai ekspresi spiritual dan sosial masyarakatnya.

Tradisi ini lebih dari sekadar praktik turun-temurun; ia adalah refleksi mendalam tentang hubungan manusia dengan lingkungan sekaligus upaya menjaga harmoni sosial. Di tengah laju modernitas yang sering kali mengikis nilai-nilai kolektif, Nyoteng Kolbuk tampil sebagai pengingat akan pentingnya kebersamaan dan kearifan lokal. Artikel ini akan membahas pengertian dan filosofi Nyoteng Kolbuk serta bagaimana tradisi ini berkontribusi pada penguatan relasi sosial masyarakat Sumber Wringin.

Pengertian dan Filosofi Nyoteng Kolbuk

Di Desa Sumber Wringin, Bondowoso, tradisi Nyoteng Kolbuk adalah ritual yang menyatukan manusia, alam, dan Tuhan dalam satu harmoni. Secara etimologis, istilah ini berasal dari dua kata: nyoteng yang berarti membawa persembahan, dan kolbuk yang merujuk pada sumber air atau sumur kecil yang menjadi pusat prosesi. Prosesi ini dilakukan dengan membawa persembahan berupa hasil bumi, bunga, hingga makanan tradisional ke lokasi sumber air sebagai bentuk penghormatan.

Baca juga:  Mudik dan Pesan Piil Pesenggiri

Ritual ini umumnya dilakukan saat masyarakat membutuhkan hujan atau menjelang musim tanam. Ia bukan sekadar seremonial, tetapi juga bentuk permohonan kepada Tuhan agar diberikan keberkahan serta kelangsungan hidup. Filosofi mendalam terkandung dalam setiap elemen ritual ini, terutama air yang menjadi elemen utama. Air bukan hanya melambangkan kebutuhan fisik, tetapi juga menjadi simbol kehidupan, kesuburan, dan harmoni.

Keberadaan sumber air (kolbuk) dalam tradisi ini menggambarkan konsep keseimbangan kosmis. Dalam pandangan masyarakat Sumber Wringin, manusia bergantung pada alam, dan alam adalah manifestasi kuasa Tuhan yang harus dihormati. Filosofi ini selaras dengan prinsip keberlanjutan ekologi: alam tidak hanya dimanfaatkan, tetapi juga dijaga keberlangsungannya sebagai wujud syukur kepada Sang Pencipta.

Lebih dari itu, Nyoteng Kolbuk mencerminkan keberhasilan masyarakat setempat dalam menyelaraskan tradisi pra-Islam dengan nilai-nilai keislaman. Dalam doa yang dipanjatkan oleh sesepuh desa, terdapat gabungan antara elemen lokal dan Islami. Hal ini menunjukkan bagaimana tradisi ini mampu beradaptasi tanpa kehilangan akar budayanya. Kehadiran unsur-unsur Islam dalam ritual ini menjadi pengingat bahwa spiritualitas masyarakat tidak terpisah dari keseharian mereka yang agraris.

Relasi Sosial di Balik Nyoteng Kolbuk

Selain aspek spiritual, Nyoteng Kolbuk juga memiliki dimensi sosial yang sangat kuat. Tradisi ini berfungsi sebagai ruang untuk memperkuat relasi sosial antarwarga. Dalam masyarakat agraris seperti Sumber Wringin, ritual kolektif memainkan peran penting dalam menjaga solidaritas dan gotong-royong. Istilah tengka dalam bahasa Madura, yang berarti kerja sama atau saling bantu, menjadi kunci keberlangsungan tradisi ini. Persiapan ritual melibatkan seluruh lapisan masyarakat. Sebagian warga mengumpulkan hasil bumi, sementara yang lain menyiapkan sesajen dan bunga. Peran ini mempererat hubungan antarwarga sekaligus membentuk pola kerja kolektif yang harmonis. Nyoteng Kolbuk menjadi semacam “ruang sosial” di mana masyarakat berbagi cerita, pengalaman, bahkan merencanakan kerja sama di bidang lain seperti pertanian.

Baca juga:  Pertanu, Laku Selawat Lewat Tari

Tradisi ini juga memiliki dimensi politik kultural yang menarik. Dalam era modern yang cenderung homogen, masyarakat Sumber Wringin menjadikan Nyoteng Kolbuk sebagai bentuk resistensi budaya. Dengan tetap melestarikan ritual ini, mereka menunjukkan bahwa warisan leluhur tidak hanya menjadi simbol identitas, tetapi juga alat untuk bernegosiasi dengan perubahan zaman. Keberhasilan tradisi ini bertahan hingga saat ini tidak lepas dari relasi sosial yang kuat. Peneliti budaya mencatat bahwa ketika masyarakat merasa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar, mereka cenderung melestarikannya.

Narasi kebersamaan yang selalu melekat dalam Nyoteng Kolbuk menciptakan rasa kepemilikan kolektif. Tidak ada individu yang merasa teralienasi; semuanya memiliki peran dalam menjaga keberlangsungan ritual ini. Di tengah modernitas yang sering kali menonjolkan individualisme, Nyoteng Kolbuk mengingatkan akan pentingnya nilai-nilai kolektif. Tradisi ini menunjukkan bahwa keberhasilan sosial tidak hanya bergantung pada teknologi atau kemajuan material, tetapi juga pada kekuatan relasi sosial yang dibangun di atas kebersamaan.

Nyoteng Kolbuk adalah tradisi yang mengintegrasikan dimensi spiritual, ekologis, dan sosial dalam harmoni yang indah. Sebagai warisan budaya, ia mengajarkan pentingnya hubungan manusia dengan Tuhan, alam, dan sesama. Di tengah tantangan modernitas, tradisi ini tetap relevan sebagai simbol keberlanjutan budaya. Bagi masyarakat Sumber Wringin, Nyoteng Kolbuk lebih dari sekadar ritual. Ia adalah cara untuk merawat relasi sosial, menjaga keseimbangan ekologis, dan mempertahankan identitas budaya. Lebih luas lagi, tradisi ini menjadi pengingat bahwa kearifan lokal memiliki potensi besar untuk mengajarkan nilai-nilai universal yang relevan bagi siapa saja yang ingin belajar dari kebijaksanaan leluhur.

Baca juga:  Merti Dusun, Metode Orang Jawa Berwudu dari Dosa

Bahan bacaan:

Suparlan, Parsudi. Kebudayaan dan Masyarakat. Jakarta: Pustaka Jaya, 1983

Koentjaraningrat. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia, 2000.

Scott, James C. The Moral Economy of the Peasant: Rebellion and Subsistence in Southeast Asia. New Haven: Yale University Press, 1976.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
1
Senang
2
Terhibur
1
Terinspirasi
1
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top