Sedang Membaca
Hijrahnya Para Kekasih Allah (4): Kisah Raja Tilimsan Menjadi Penjual Kayu Bakar
Rizal Mubit
Penulis Kolom

Guru Ngaji di Kampung. Pengajar di Universitas Kiai Abdullah Faqih Manyar Gresik, Jawa Timur. Alumni Pusat Studi Qur'an Ciputat dan Pascasarjana IAIN Tulungagung prodi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir. Menulis sejumlah buku bertema keislaman. Peneliti Farabi Institute.

Hijrahnya Para Kekasih Allah (4): Kisah Raja Tilimsan Menjadi Penjual Kayu Bakar

Whatsapp Image 2021 06 01 At 23.02.22

Yahya bin Yughman adalah seorang raja Tilimsan atau Tlemcen. Kerajaan Tlemcen adalah kerajaan Moor yang pernah berdiri di wilayah yang kini merupakan bagian dari Aljazair barat laut. Wilayah kerajaan ini terbentang dari Telmcen hingga belokan sungai Chelif atau Aljir. Pada puncak kejayaannya wilayah kerajaan ini mencapai sungai Moulouya di barat, Sijilmasa di selatan dan sungai Soummam timur.

Nama raja Yahya tidak seterkenal keponakannya, Syekh Al-Akbar Muhyiddin ibn Arabi. Yahya bin Yughman wafat tahun 638 H. Pada masanya raja Yahya adalah sosok pemimpin yang kharismatik. Setiap kali keluar kerajaan, ia selalu disertai pengawal lengkap dan meriah. Pegawai istana dengan berbagai macam tugas dan prajurit berkuda mengiringi Raja Yahya. Tak hanya itu, pengawalan raja juga diramaikan dengan bendera dan umbul-umbul kerajaan. Penduduk yang daerahnya dilewati raja akan segera berhamburan ke jalan untuk menyaksikan “karnaval” raja yang menghibur pandangan mata.

Dalam salah satu kesempatan, perjalanan raja yang meriah tersebut melewati sebuah perkampungan. Semua mata menatap ke pada Raja Yahya. Namun di salah satu sudut desa, ada seseorang yang tak tertarik sama sekali dengan kemeriahan yang dipamerkan raja. Bahkan orang itu malah memalingkan matanya.

“Siapa gerangan laki-laki itu, Pengawal? Dia sama sekali tak tertarik denganku. Agaknya ada yang aneh dengannya.” kata Raja.

Baca juga:  Kisah-kisah Hikmah (5): Seorang Pencuri dan Nelayan

Sendika Dawuh, Paduka Raja. Dia adalah wali Allah. Namanya Abdullah al-Tunisi. Dia juga seorang ahli hukum (ahli fiqih) yang zuhud.” jawab pengawal.

Raja Yahya semakin penasaran. Dia pun mendekati Abdullah.

Setelah jaraknya dekat, Raja Yahya bertanya. Karena mengerti bahwa wali Allah tersebut adalah seorang ahli fikih dan seorang yang zuhud, pertanyaannya seputar fikih.

“Ya Syekh, Aku ingin mengajukan pertanyaan untukmu.” kata raja.

“Silakan.”

“Apakah busana kerajaan yang kupakai ini, sah jika kukenakan saat salat?”

Sang raja memang biasa mengenakan baju kerajaan berlabur emas, mutiara, dan permata.

Mendengar pertanyaan itu, Syekh Abdullah bukan langsung menjawab, malah tertawa.

Raja pun bingung. “Loh. Mengapa kau tertawa, Syekh? Aku bertanya serius.”

“Maafkan saya Ya Raja. Saya tertawa karena kebodohanmu. Kok bisa ada raja dengan kekuasaan yang megah, ternyata tak tahu masalah yang remeh.”

Jawaban singkat itu membuat raja Yahya tersadar. Raja terdiam.

“Engkau memang diliputi kemewahan ya Raja. Sangat mewah. Namun engkau ibarat seekor anjing yang mulutnya berlumur darah setelah makan bangkai. Ketika anjing itu akan buang air kecil, ia angkat kakinya agar tak mengenai kakinya. Padahal engkau sendiri sebenarnya adalah bejana yang penuh barang haram. Tapi anehnya kau malah bertanya tentang pakaian.” kalimat yang diucapkan Syekh Abdullah merasuki hati Raja Yahya. Dia merasa hidupnya tak berguna lagi jika tak berubah.

Baca juga:  Kisah Gus Dur dan Kiai Spesialis Kepala Desa

Raja Yahya turun dari kudanya lalu menanggalkan busana kerajaan dan segala perhiasan raja yang dikenakannya.

“Aku ingin mengikutimu, Syekh. Aku ingin belajar padamu.” kata Raja.

Syekh Abdullah tak menolak permintaan raja.

Raja Yahya meninggalkan segala kemewahan kerajaan dan memutuskan menjadi orang biasa. Dia lalu mengikuti Syekh Abdullah ke mana pun pergi agar bisa nyantri dengan sepenuh hati.

Setelah tiga hari lamanya berada di rumah Syekh Abdullah, Yahya bin Yughman masih sama seperti hari pertama. Dia terus menangisi kesalahan yang telah dilakukannya selama hidup. Terutama kesalahan atas kemewahan dan kemegahan yang berlebihan selama menjadi raja.

Pada hari berikut, Syekh Abdullah memberikan tali pengikat kayu kepada Yahya.

“Ya Raja, Engkau sudah cukup lama berada di sini. Sudah waktunya untukmu mencari rezeki dengan usahamu sendiri. Bangun dan carilah kayu bakar!”

Raja Yahya berangkat mencari kayu bakar di hutan. Dia tak bisa membendung air matanya. Dia terus menitikkan air mata sambil memunguti kayu satu per satu. Tangannya yang tak terbiasa kerja keras merasakan sakit terkena kayu hingga lecet-lecet dan ‘ngapal’.

Setelah terkumpul, kayunya diikat dan dipikul di atas kepala. Raja Yahya berangkat ke kota untuk menjual kayu yang sudah dikumpulkannya.

Baca juga:  Kisah Aisyah yang Selalu di Hati Nabi

Semua orang pun melihat dengan tatapan heran. Jika sebelumnya mereka melihat dengan kekaguman. Hari itu mereka melihat dengan belas kasihan. Beberapa di antaranya melihat sambil menangis. Raja Yahya tak mempedulikan tatapan orang-orang.

Sejak hari itu, Raja Yahya telah menjadi seorang hamba yang ahli ibadah yang zuhud. Bahkan Syekh Abdullah Al-Tunisi selalu menyarankan orang-orang yang sowan kepadanya agar minta didoakan oleh Raja Yahya.

“Dia adalah raja yang zahid zuhud. Mintalah didoakan oleh Raja Yahya.”

Semoga kita selalu mendapatkan petunjuk Allah untuk selalu berbuat baik dan menjadi lebih baik. Amin.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top