Setelah perdebatan panjang Syeikh Siti Jenar dengan Dewan Wali terkait dengan keimanan dan jalan spiritual, paham wujudiyah yang dianggap menyimpang oleh para wali meredup dan tertidur lama dalam dinamika ibadat umat Islam di Nusantara. Baru beberapa dekade kemudian muncul kembali wacana wujudiyah yang dianggap sebagai paham panteisme dalam wacana keislaman Nusantara. Tokoh yang berhasil menyeruak ke permukaan dengan paham tasawuf falsafi ini dari Fansur, Hamzah Fansuri namanya. Dianggap tokoh yang berhasil memendarkan gagasan wujudiyah sampai pada puncaknya di Nusantara.
Prinsip-prinsip yang didedarkan para Walisongo dan para muridnya di seluruh negeri telah mereduksi jalannya tasawuf falsafi yang ada di Nusantara. Mereka menganggap tasawuf falsafi penuh dengan penyimpangan-penyimpangan yang tidak dibenarkan. Jika memang terdapat penyimpangan di dalam ajaran tasawuf falsafi yang bertujuan melepaskan kewajiban dan syariat. Maka itu dianggap sebagai tahap pertama dalam perkembangan tasawuf falsafi di Nusantara, sehingga layak disebut sebagai tahap pengenalan.
Seperti yang sudah didedarkan di atas, Hamzah Fansuri tampil sebagai mujadid dalam tahap perkembangan berikutnya bagi tasawuf falsafi, yakni di mana dalam hal ini disebut sebagai tahap kebangkitan tasawuf falsafi. Di tangannya cahaya tasawuf falsafi yang sempat meredup kembali bercahaya dengan terang benderang. Lewat tangan Hamzah Fansuri juga tasawuf falsafi hanya berpijak pada gagasan mengikuti Ibn Arabi yang dianggap lengkap dan sempurna, sehingga mengagungkan murid-murid Ibn Arabi dan para pengikutnya.
Hamzah Fansuri dianggap orang pertama yang memunculkan tasawuf falsafi di Indonesia yang bersih dan murni dari penyimpangan, bahkan secara sempurna dari rujukannnya dari sumber-sumber Arab yang islami (Alwi Shihab, 2009:138). Sebab, pada tahap pertama perkembangan tasawuf falsafi ini belum terorganisir dengan baik dan masih dalam perkembangan individu-individu muslim belum menyebar secara luas di masyarakat muslim. Bahkan ada anggapan bahwa tasawuf falsafi yang dikembangkan pada generasi pertama masih bercambur baur dengan ajaran Syi’ah.
Perlu diketengahkan di sini bahwa gagasan tasawuf Hamzah Fansuri tidak dipengaruhi oleh gagasan Martabat Tujuh yang tersebar di India sana. Bahkan di dalam karya-karya sang sufi, tidak sedikitpun memperlihatkan keterhubungan dengan tasawuf di India abad ke-16 dan 17. Hamzah Fansuri dengan jelas langsung mengaitkan gagasan-gagasan tasawufnya dengan sufi kenamaan dari Persia seperti Yazid Bustami, Mansur Hallaj, Fariduddin Attar, Imam al-Ghazali, Ibn Arabi, Rumi, Hamdan Magribi dan lain sebagainya.
Kita misalnya dalam perkataan Bismillah terdapat dua makna Cinta Tuhan, yakni rahman dan rahim. Rahman dan rahim berasal dari perkataan yang sama yakni Rahman (rahmat). Rahman adalah rahmat Tuhan yang bersifat esensial (dzatiyah) dan rahim adalah rahmat Tuhan yang bersifat wajib (wujud). Dikatakan esensial karena Rahman memberikan rahmat-Nya kepada semua makhluk secara universal bahkan atas segala manusia. Di lain hal rahim, rahmat yang perlu diberikan secara wajib, wajib bagi orang-orang yang mecintai diri-Nya dengan penuh kesungguhan, yakni orang mukmin dan muttaqien, dan sungguh-sungguh melakukan mujahadah, sehingga akhirnya musyahadah dan mukasyafah.
Telah dikatakan bahwa rahman, yakni rahman dan rahim, sinonim dengan Cinta, dan Cinta sinonim dengan Wujud. Ini ditegaskan dalam syair didaktisnya:
Rahman itulah yang bernama Wujud// Keadaan Tuhan yang sedia ma’bud// Kenyataan Islam Nasrani dan Yahud// Dari rahman itulah sekalian maujud.
Dikatakan bahwa rahman merupakan perhimpunan sekalian ibarat, artinya hakikat dan sekalian ma’lumat (diketahui) yakni segala ciptaan-Nya. Tanpa rahman-Nya tidak mungkin segala sesuatu memperoleh kewujudan dan itulah sebabnya dikatakan bahwa wujud Rahman-Nya merupakan hakikat segala cipataan-Nya. Dengan begitu sebagai sang pencipta di atas segala-galanya, maka sudah seharusnya Tuhan itu dipuja.
Bahkan dalam bait selanjutnya yakni bait ke-6 yang berbunyi “Ma’bud itulah yang bernama haqiq// sekalian alam di dalamnya ghariq” menjelaskan bagaimana alam karam atau tercelup (ghariq) oleh keberadaan Yang Benar, sehingga semua itu tidak ada yang bebas dari Wujud aktual-Nya. Ketransendenan (tanzih) Yang Satu dengan demikian tidak merintangi partisipasi keberadaan-Nya (tasbih) di dalam yang banyak (Abdul Hadi, 1995:27). Dua baris yang di atas mengemukakan arti yang dikandung oleh kesatuan transenden (wadah al-wujud).
Sedangkan dalam dua baris terakhir pada bait ke-6 yang berbunyi “olehnya itu sekalian fariq// Pada kunhi-Nya tiada beroleh tari” dijelaskan bagaimana ketika dia bisa memisahkan diri (fariq) dari Yang Benar, tidak beroleh jalan (tariq) pulang kepada Wujud Rahmat-Nya yang asal, yakni Cinta-Nya. Bahkan terkiat dengan penampakan Yang Benar (tajalli) Yang Satu dinyatakan pada bait ke-7 yang berbunyi:
Haqiqat itu terlalu ‘iyan// Pada rupa kita sekalian insan// Ayna-ma tuwallu suatu Burhan// Fa tsamma wajhu’Llah pada sekalian makan.
Hamzah Fansuri mengutip ayat al-Quran surah al-Baqarah ayat 115 yang artinya “ke mana pun engkau memandang akan tampak wajah Tuhan”. Ayat ini sangat familiar di kalangan para sufi di dalam bait-bait syairnya, terutama mereka yang beraliran falsafi. Terutama mereka memaknai wajh sebagai wujud, yakni sebagai sifat-sifat dari Tuhan. Karena wajah Tuhan asal dari segala wajah yang ada di dunia ini maka dikatakan oleh Fansuri bahwa haqiqat Tuhan terlalu nyata (i’yan) pada rupa sekalian insan.
Tentu apa yang didedarkan sang sufi, menandakan bagaimana kemabukan dengan sang Cinta Sejati. Cinta yang akan selalu memberikan rahman-Nya kepada setiap makhluk tanpa terkecuali. Kemabukan ini yang kadang sulit dipahami oleh umat Islam yang beragama hanya dalam satu sisi semata yakni secara eksoteris. Padahal kedalaman spiritualitas yang akan menghasilkan kemabukan-kemabukan spiritual hanya bisa diperoleh melalui jalan esoteris yang langsung menusuk ke qalbu.