Muhammad Raafi
Penulis Kolom

Saat ini sedang menyelesaikan studinya di Jurusan Ilmu Sejarah UNY. Selain itu ia juga tercatat sebagai santri pondok pesantren Nailul Ula Center, Yogyakarta. Sejak 2018, juga aktif berkomunitas di Indonesia Buku dan Warung Arsip.

Berdakwah dengan Bercanda ala Nahdliyin

Ulama Bercanda Santri Tertawa

Judul Buku: Ulama Bercanda, Santri Tertawa

Penulis: Hamzah Sahal

Penerbit: Tanda Baca

Tahun Terbit: Desember 2019 Jumlah Halaman: 112

Bercanda ada resikonya, lebih-lebih ketika di internet. Salah-salah berucap bisa terkena pidana. Tengok saja, kasus komika Tretan Muslim dan Coky Pardede. Berniat menyebarkan toleransi, mereka malah mendapat somasi. Sebab, lawakannya berupa satir, yakni memasak daging babi dicampur krim kurma. Ada juga mubaligh yang niatnya menghibur justru dikira mencela. Tengkok saja Gus Muwafiq ketika menyoal zaman kecil Rasulullah layaknya anak kecil pada umumnya.

Biarpun melucu banyak resikonya, terutama ketika menyinggung agama, tak sedikit pula akun-akun media daring yang tetap menggunakan lawakan untuk menyebarkan ajaran agama. Salah satunya akun media sosial @NUgarislucu yang moncer di lini twitter dan instagram. Situs NU Online pun menyediakan rubrik humor.

NU memang telah lama mendapat stigma lucu. NU dikenal sebagai lumbungnya ahli agama dan ahli bercanda. Bahkan suatu anekdot mengatakan, kadang pengajian dari kiai NU itu terlalu banyak guyonannya sehingga lupa akan materinya.

Namun, apakah terlalu banyak bercanda semacam itu justru menjauhkan dari penguasaan ilmu agama? Nyatanya, tradisi belajar di NU telah memunculkan sosok-sosok intelektual, dari mendiang Gus Dur hingga Gus Nadir. Mereka bukan hanya bijaksana, tapi juga lucu.

Gus Dur menjadi tokoh penting dalam dunia dakwah berbalut humor di Indonesia khususnya di NU. Dia pandai betul dalam berkelakar. Dari rakyat biasa hingga pejabat negara pernah jadi bahan lawakannya.

Sebagai contoh, ketika mengkritik Soeharto yang naik haji, Gus Dur melakukkanya dengan cara membuat lawakan soal orang terdekat Soeharto: Harmoko. Gus Dur mengatakan bahwa, ketika naik haji, setiap kali Harmoko melempar jumroh, batu yang dilemparkannya selalu kembali ke arahnya, sebab “Sesama setan dilarang saling melempar”.

Baca juga:  Dua Barista: Sehimpun Cerita Poligami, Bahwa Praktik Tak Semudah Teori

Humor semacam itu akan mudah ditemui dalam setiap halaman buku berjudul Ulama Bercanda Santri Tertawa.

Mengikat Humor Ulama

Hamzah Sahal, santri cum penulis muslim ini, adalah sosok yang mampu merekam ingatan atas kemahiran bercanda kaum sarungan. Hamzah merakit candaan para ulama dan kaum sarungan dalam tiga bagian.

Bagian pertama diberi judul “Kala Gus Dur Bercanda”. Pemilik nama Abdurrahman Wahid memang wahid dalam melancarkan humornya yang pedas, tapi sekaligus menggelikan. Itu tampak pada 14 judul artikel di bab ini.

Memasuki bagian kedua, pembaca akan disuguhkan dengan candaan kiai kaum Nahdliyin. Bab ini menunjukkan bahwa kiai, selain sering menyelipkan humor dalam tausiahnya, juga kerap melontarkan candaan ke sesama kiai. Bagian kedua ini terdapat 25 lawakan dengan judul utama Kala Ulama Bercanda

Bagian terakhir, bertajuk “Kala Santri Bercanda”, merupakan bab paling kurus. Pada bagian ketiga ini, terhimpun humor-humor umum seputar kebiasaan atau pengetahuan keIslaman dan budaya Nahdliyin.

Hamzah tetap melampirkan Gus Dur dalam bab ini. Itu sesuai dengan pepatah di lingkungan NU: “tidak ada kata mantan santri”. Sekalipun telah menjadi kiai, bahkan presiden, Gus Dur tetaplah santri dari kiainya. Tetapi karena bab ini hanya terdiri dari delapan judul, itu jelas menunjukkan bahwa santri kalah lucu dibandingkan kiainya.

Baca juga:  Inilah Kitab Pertama dalam Sejarah Islam

Di era digital ini, kita dihadapkan dengan serangkaian model dakwah. Yang sangat lazim dan tersebar di berbagai platform media kini cenderung menekankan pada isi materi. Kurang luwes jika ditelan mentah-mentah. Mereka yang mengusung ajaran kembali ke Al-Quran dan sunah, sering abai dengan cara dakwah yang luwes tanpa meninggalkan substansi.

Di tengah banjirnya pendakwah yang menampilkan kesan kurang ramah, buku ini seakan menjadi oase cara ulama membagikan ilmunya. Namun, oase ini barangkali hanya menyejukkan kelompok tertentu. Hal ini jelas karena konten dalam buku ini terkesan sangat segmented.

Tengok saja judul “Membahagiakan Santri dengan Dua Menit”. Suatu ketika di tengah kesibukan menerima para tamu, sang kiai pamit. Namun, tak sampai tiga menit ia kembali di hadapan para tamu.

“Kok sebentar, Kiai? Memang dari mana” tanya salah seorang tamu “Membahagiakan santri”, jawab kiai.

“Bagaimana caranya membahagiakan santri kok cuma dua menit?”

“Saya cuma bilang ke santri, ‘kang ngajine libur ya’,” jawab kiai, enteng. (hlm. 66)

Mereka yang belum pernah nyemplung ke dunia pesantren mungkin mengernyitkan dahi. Padahal jika pembacanya kaum sarungan pasti akan tertawa, minimal meringis.

Tidak Sekadar Kitab Kuning

Memang sejak Desember 2019, banyak buku dari kalangan Nahdliyin diterbitkan. Paling laris jelas “Menjerat Gus Dur”. Dalam sebulan sudah lebih dari tiga kali naik cetak. Ada pula tulisan Hairus Salim “Sang Kosmopolit” yang juga juga membicarakan soal Gus Dur.

Buku ini mencoba untuk mengikuti jejak-jejak dari buku-buku itu. Menarik dilihat, penerbit Tanda Baca tidak berafliasi dengan organisasi NU seperti misalnya NUmedia Digital Indonesia yang menerbitkan “Menjerat Gus Dur”. Tanda Baca jeli dalam melihat pangsa pasar kaum sarungan yang ternyata mempunyai daya beli cukup apik.

Baca juga:  Haidar dan Ulil Sang Apologia Islam

Memang ini bukan hal yang baru lagi dalam dunia literasi NU. Sebelumnya ulama muda seperti Gus Nadir pernah menerbitkan buku tentang wajah dan tafsir terhadap Islam dengan ramah. Langkah ini bisa Kita tengok pada bukunya yang juga menjulang di pasaran, seperti Islam Yes Khilafah No, Tafsir Al-Quran di Medsos, Saring Sebelum Sharing dan masih banyak lagi.

Kemudian para aktifis muda NU pun dekade terakhir ini mencoba mengenalkan wajah ramah Islam lewat platform media daring dan buku. Seperti Nu Online, gusdurian.net, atau buku karya Kalis Mardiasih yang mengusung wajah ramah dalam menyebarkan Islam.

Dengan diterbitkannya buku-buku dari kalangan Nahdliyin oleh berbagai penerbit, NU tidak lagi terjerat dalam stigma akan kitab-kitab klasik yang hanya bisa diakses dan dibaca kalangannya.

Dapat dikatakan, buku ini menjaga keeksisan dan niat baik dalam menyebarkan Islam dengan ramah. Meskipun secara eksplisit, barangkali pokok ajaran Islam yang mau disampaikan kurang bisa langsung dipahami, Hamzah mengingatkan bahwa, begini seharusnya wajah ulama dalam berdakwah. Ramah dan menyenangkan.

Humor sejatinya adalah pencair suasana. Bagaimana lawakan kita diterima dengan legawa oleh lawan bicara, tanpa membuatnya merasa direndahkan, menjadi kuncinya. Maka, bercanda pun ada seninya. Tanpanya, jangankan tertawa bersama, yang ada mungkin malah dihina-hina.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
4
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top