Mohammad-Nasif
Penulis Kolom

Alumni Pesantren Liroboyo, Kediri

Mengenal Kitab Pesantren (28): Syarah Jurumiyah Bernuansa Tasawuf

Syarah Jurumiyah

Mendengar nama kitab Jurumiyah, mungkin yang tergambar dalam pikiran kita adalah sebuah kitab tentang ilmu alat atau ilmu gramatikal Arab. Begitu juga saat mendengar istilah Syarah Jurumiyah, tentunya yang tergambar adalah penjelasan kitab Jurumiyah yang tentunya membahas tentang gramatikal arab, sesuai kitab matannya. Tapi pembaca akan merasa kecele tatkala membaca syarah jurumiyah karya Ibn Ajibah, yang justru membicarakan ajaran tasawuf dalam kitab Jurumiyah.

Kitab Jurumiyah adalah kitab yang membahas gramatikal arab karya Abu Abdillah Muhammad ibn Muhammad ibn Dawud as-Shanhaji; seorang ulama’ nahwu (gramatikal arab) kelahiran Pes yang wafat tahun 723 H. Kitab Jurumiyah merupakan kitab nahwu tingkat dasar yang biasanya dipelajari di pesantren. Kitab ini memiliki ukuran sangat tipis.

Banyak kisah yang menceritakan kekeramatan kitab ini. Salah satunya, diungkapkan Imam al-Hamidi, konon Imam as-Shanhaji setelah mengarang kitab Jurumiyah, beliau melemparkannya ke laut sembari berkata” “Apabila kitab ini dikarang dengan ikhlas demi Allah, maka tidak akan basah”. Ternyata benar tidak basah. Padahal kitab-kitab zaman dahulu biasa ditulis dengan tinta bak yang mudah hilang bila terkena air.

Selain itu, konon kitab Jurumiyah dibaca oleh ulama’ Makkah sebagai semacam wirid untuk menggali berkah kitab tersebut. Ini semua menggambarkan adanya keyakinan bahwa penulis kitab Jurumiyah adalah seorang kekasih Allah yang tentunya faham tentang ajaran tasawuf dan kebetulan mengarang kitab tentang Nahwu. Tak heran bila ada ulama’ yang mengarang syarah jurumiyah tapi tidak untuk menguraikan ilmu nahwu yang dikandungnya, tapi ilmu tasawuf yang dikandungnya.

Baca juga:  Belantika Banser dan Humor-Humor Tak Bertepi

Syarah Jurumiyah Bernuansa Tasawuf

Ulama’ yang menyusun syarah Jurumiyah dan mengulas ajaran tasawuf dalam kitab tersebut adalah Imam Ahmad ibn Muhammad ibn Ajibah, seorang sufi sekaligus ahli tafsir yang ahli dalam berbagai disiplin ilmu, asal Pes dan wafat tahun 1224 H. Syarah tersebut berjudul an-Futuhat al-Qudsiyyah. Syarah tersebut kemudian diringkas dalam kitab berjudul Munyatul Faqir al-Mutajarrid Wasiratul Murid al-Mutafarrid Mukhtashar Syarah Ibn Ajibah ala Matni Jurumiyah karya Imam ‘Abdul Qadir Kuhin. Seorang ulama’ Maroko asal Pes yang wafat tahun 1254 H. Dalam kitab ini juga tidak disebutkan judul dari kitab syarah karya Ibn Ajibah. Dan dari kitab resume inilah, penulis berusaha menghadirkan beberapa redaksi kitab untuk menggambarkan bagaimana seorang sufi memberi syarah atas sebuah kitab nahwu.

Imam ‘Abdul Qadir Kuhin mengungkapkan latar belakang mengapa beliau memilih meringkas kitab syarah Ibn Ajibah:

Aku melihat Imam Ibn Ajibah –semoga Allah menridhainya- telah mengumpulkan dalam kitab syarah tersebut, uraian keterangan yang terkait dengan kaidah-kaidah nahwu sebagai penjaga lisan, serta uraian petunjuk terkait permasalahan-permasalahan tasawuf sebagai penjaga hati, dengan bahasa yang indah serta mangagumkan. Bahasa yang dinilai bagus oleh setiap orang yang ada pada posisi rendah dalam ajaran tasawuf. Kelebihan tersebut disebabkan ilmu-ilmu ketuhanan yang telah Allah letakkan pada hati Imam Ibn Ajibah, serta keterbukaan-keterbukaan hati yang Allah alirkan padanya. Setiap wadah yang menyesap isinya akan nampak pada ujungnya. Dan setiap apa yang dikandung hati manusia, tentu akan nampak pada mulutnya.

Bersama fakta yang ditemukannya tersebut, Imam Abdul Qadir pun mengambil uraian-uraian terkait permasalahan tasawuf dan menyendirikannya dalam kitabnya. Sebab inilah yang akan dipakai oleh orang yang hendak mempelajari ajaran tasawuf.

Baca juga:  Novel Cap Pare

Kalam Menurut Ahli Tasawuf

Dalam menguraikan Matan Jurumiyah berupa “kalam adalah lafadz yang tersusun, berfaidah serta dengan bahasa Arab”, disebutkan:

Artinya, kalam menurut ahli tasawuf adalah lafadz yang tersusun dari maqal (ucapan) serta hal (keadaan). Dengan gambaran pengucapnya adalah orang yang hal-nya bangkit, dan maqal-nya mengarah kepada Allah. Ucapannya memberi faidah atau membekas pada hati para pendengarnya. Baik berupa ilmu, cahaya atau rahasia-rahasia Allah. Dalam Kitab al-Hikam disebutkan: ‘cahaya-cahaya para sufi mendahului ucapan-ucapan mereka. Ketika ada penerangan, maka sampailah ungkapan. Maka dengan hanya meletakkannya di hati, dapat memunculkan keinginan serta kerinduan pada hadrah qudsiyah, atau rasa takut yang mencegah dari perbuatan maksiyat.

Dari ungkapan tersebut dapat difahami bagaimana konsep kalam dalam ajaran tasawuf memiliki perbedaan arti dengan konsep kalam dalam gramatikal arab, meski memiliki kemiripan dalam teori. Kalam dalam ajaran tasawuf tidak sekedar ucapan yang tersusun dari jumlah fi’liyah maupun ismiyah, tapi tersusun dari keadaan hati serta ucapan yang mengarah mendekat kepada Allah. Dengan ini, apa yang mereka sampaikan dapat mengena pada hati pendengarnya. Sebab yang muncul dari seorang sufi tidak sekedar suara dari lisan, tapi cahaya yang muncul dari kedekatan hati kepada Allah. Wallahu a’lam bisshawab.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
6
Senang
2
Terhibur
1
Terinspirasi
3
Terkejut
1
Scroll To Top