Sedang Membaca
Pesantren, Desa Perdikan, dan Masyarakat Petani di Abad 19
Misbahus Surur
Penulis Kolom

Editor di laman nggalek.co. Menulis buku Katalogue (Malang: PSM, 2019) serta Kronik Pedalaman (Yogyakarta: Interlude bekerja sama dengan Buku Langgar, 2020), pengajar di Jurusan Bahasa dan Sastra Arab, UIN Maliki, Malang

Pesantren, Desa Perdikan, dan Masyarakat Petani di Abad 19

Pada abad ke-19, konsep tanah perdikan (tanah bebas pajak dan kerja wajib) yang terwariskan sejak zaman kerajaan Hindu-Budha, tetap menjadi pegangan masyarakat di Jawa. Saat Islam masuk Nusantara dan bahkan ketika kekuasaan kaum kolonial Belanda merangsek, khususnya ke Jawa, kepala desa di tanah perdikan masih sering bertindak seolah-olah tanah desa adalah hak milik mereka (yang dianugerahkan oleh raja-raja dari masa sebelumnya). Sampai kemudian, memasuki abad ke-20, konsep kepemilikan tanah model tanah perdikan itu pelan-pelan diubah oleh kaum kolonial.

Di masa itu, misalnya, dari penelitian Fokkens (1886) dan Snouck Hurgronje (1959), dalam masyarakat Islam (masa kerajaan Islam), desa perdikan telah dibagi dalam beberapa macam. Di antaranya keputihan, mutihan atau putihan, sebuah definisi bagi desa yang dianggap lebih ”saleh” dari desa-desa lain pada umumnya. Sebab, di desa tersebut tinggal seorang atau beberapa orang guru agama (ulama, kiai) dan murid/santrinya, yang—menurut adat bawaan alur masa Hindu-Budha—dibebaskan dari kerja rodi (buat haji), begitu pula bebas dari pemungut pajak (mailala drawya haji).

Di masa kerajaan Islam, terdapat jenis “perdikan lain”, yang bisa dijumpai hampir di setiap kota kabupaten, yakni (pe)kauman (sebuah teritori atau pemukiman yang dihuni sekelompok orang yang diwajibkan atau diserahi tugas untuk memelihara masjid). Di antara fungsi desa perdikan di masa kerajaan Islam ini antara lain, dari sudut keagamaan, untuk memelihara berbagai macam makam, memelihara pesantren dan masjid. Dari ketiga fungsi ini, yang paling banyak adalah desa perdikan yang fungsinya memelihara masjid, disusul desa perdikan karena fungsi memelihara makam, lalu desa perdikan untuk memelihara pesantren (Karel A. Steenbrink, 1984: 167-168).

 

Kita akan melihat kultur pembagian tanah perdikan yang cenderung dekat dengan tradisi dan kebudayaan keagamaan itu pasca padamnya Perang Jawa (Perang Diponegoro) dan Perang Padri di Sumatera. Ihwal pemberian tanah milik dalam Islam juga tercantum dalam konsep wakaf.

Perwakafan tanah milik ini secara historis, dan dengan bentuk yang berbeda, dilanjutkan melalui praktik Undang-Undang Pokok Agraria, khususnya pasal 49. Pada tahun 1905 misalnya, pernah dikeluarkan sirkulir oleh Pemerintah Hindia Belanda yang termuat dalam BS No. 6196 tanggal 31 Juni. BS tersebut mengatur ihwal perwakafan masjid dan rumah suci. Undang-Undang Pokok Agraria di Zaman Kemerdekaan sendiri lahir bernomor 5 tahun 1960, merupakan unifikasi hukum tanah di seluruh Indonesia.

Baca juga:  Raden Saleh: Dicintai, Dihormati, tapi Dicurigai

Sementara di Nusantara sendiri telah ada beberapa bentuk wakaf ”tradisional” seperti huma, dari zaman Mpu Sindok, yang berlokasi di Ponorogo. Huma adalah tanah atau hutan yang diberikan oleh raja kepada rakyat untuk dipergunakan dan diambil manfaatnya, seperti untuk pengembalaan hewan, pengambilan kayu bakar, dan sebagainya. Di Jawa Barat juga ada pangangonan yang secara fungsi dan bentuk agak mirip dengan huma (Team Penulis JSP. Perwakafan di Indonesia; sejarah pemikiran, hukum, dan perkembangannya, Bandung: Yayasan Piara, 1995: 34).

Sebagaimana dicatat Michael Laffan, dulu sebagian besar pendukung-pendukung Diponegoro adalah santri dan kiai. Santri-santri itu adalah santri perdikan, karena itulah pengikut Diponegoro banyak membuat pondok (2015: 52 & 287). Kelak pasca kekalahannya tahun 1830, dan dibuang ke Makassar hingga meninggal, kerajaan Jawa Tengah yang berada dalam genggaman para sufi dan kaum mistik kian terikat kekuasaan Belanda yang sengaja menjauhkan kerajaan dari pengaruh Islam santri.

Selain cengkeraman hegemoni, Belanda dengan licik juga menebar isu seperti, karena keakraban dengan kaum santri, ia (pejabat, ningrat) dianggap bergaul dengan ”sampah”; sebagian cendekiawan setelahnya, kerap pula menyebarkan asumsi bahwa keraton dan (pondokan/pesantren) santri, selalu bertentangan (Michael Laffan, 2016: 52). Pasca-Perang Jawa, Islam yang semulanya sudah aktif berada di pusat, bergeser kembali ke pinggiran, di antaranya, ke wilayah-wilayah pondok atau pesantren yang berada di desa-desa. Kelak, sebagaimana dicatat Laffan, masih banyak kiai yang terus melanjutkan dialog peradaban dan kebudayaan dengan Mekah. Dan, lahirnya organisasi santri yakni Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama (NU) di antaranya, juga bermula dari dialektika ini.

Saat itu, pesantren, mengutip Ricklefs, yang merupakan institusi kunci, menjadi fitur terpenting di dalam kehidupan masyarakat Jawa abad ke-19. Bahkan, ada pendapat yang mengatakan bahwa pesantren merupakan bentuk kuno dari kehidupan perdesaan Jawa. Meskipun, pendapat Ricklefs, secara umum pesantren baru muncul kira-kira sebelum abad ke-18 (Ricklefs, 2013: 49).

Baca juga:  Semua Pemikiran akan Fana, Termasuk Konservatisme

Dari tinjauan Laffan, pasca Perang Jawa dan Perang Padri, yang banyak melibatkan kaum muslim baik santri maupun wahabi, ulama kian menjauh dari pusat pemerintahan (keraton). Penyingkiran itu ternyata tidak membawa kemerosotan Islam, khususnya pada lembaga-lembaganya, malah membawa angin segar pada status tanah perdikan. Karena wilayah perdikan diabsahkan serta dilindungi oleh kolonial. Dengan bergulirnya Tanam Paksa (Cultuur Stelsel), kelompok minoritas juga memiliki tanah luas. Di sini, termasuk guru-guru agama beserta orang-orang tanggungan mereka yang mampu mempertahankan status bebas pajak.

Pada 1855, pengamat Belanda pernah mencatat bahwa banyak kompleks perdikan bisa dikatakan yang paling baik dan paling kaya dengan pemukim yang paling banyak. Kata pengamat yang lain, ini adalah akibat dari Islamisasi Jawa secara berkelanjutan. Ini bukan isapan jempol, karena tahun 1882 pernah disurvei bahwa sebanyak 244 perdikan dengan ”wilayah sakral” yang, juga sering menikmati akses tak terbatas pada perdagangan kopi, mendaftarkan keberadaan perdikan tersebut (Michael Laffan, 2015: 54).

Di masa selanjutnya, wilayah kuasa para ulama dibatasi pada lembaga-lembaga Islam semacam masjid dan madrasah (pondok pesantren), di mana mareka mengabdi sebagai fungsionaris agama. Ulama yang dahulu sering muncul sebagai gerakan pembaharuan sosial dan politik, di masa itu sekadar mengurus pesantren.

Padahal, menurut penelitian Hiroko Horikoshi (1976: 36), ulama dulunya punya kecenderungan menampakkan kehadirannya dalam tiap krisis politik dan sosial tak lepas dari dua alasan: pertama, adanya kenyataan bahwa ulama secara historis menganggap dirinya sebagai titik vokal kesadaran moral Islam; kedua, kenyataan bahwa ulama mengabdi pada lembaga masjid dan madrasah (termasuk pesantren) tempat jamaah mereka berkumpul. Setelah kolonialisme masuk, peran pertama sering dijauhkan dari ulama. Ulama sekadar terkungkung pada peran kedua.

Masih menurut catatan Hiroko Horikoshi (1976: 71), ulama sering muncul pada saat ada krisis sosial dan politik yang mengganggu keamanan sebuah desa. Lebih-lebih ketika fungsi lembaga desa terancam oleh otoritas dari luar, maka mereka sering bertindak selaku wakil masyarakat setempat (pada sebuah desa). Ulama desa bisa dikatakan patron masyarakat. Orang-orang di desa memandang ulama (kiai) sebagai pembimbing spiritual, moral, serta keagamaan dan pimpinan yang melindungi dari ancaman-ancaman yang mengacaukan dari dunia luar.

Baca juga:  Cipto Mangunkusumo dan Keengganannya pada Feodalisme

Saat itu memang peran-peran represif kolonial, dengan mendesakkan pengaruh-pengaruh sekuler, sebagaimana ditulis Sartono Kartodirdjo dalam Ratu Adil (1984), di antaranya adalah pemisahan terhadap peran-peran politik dan keagamaan secara tegas. Para pemimpin agama tidak lagi diperlukan untuk menunjang wibawa pemerintah dan seterusnya. Karena itu, tidak mengherankan kalau terjadi reaksi dengan membuat kekuatan oposisi terhadap perubahan-perubahan yang ditempa oleh kekuasaan penjajah.

Di situlah banyak muncul, peran politik para kiai dan santri dalam, antara lain, membangkitkan resistensi kaum tani terhadap penguasa-penguasa jajahan dan juga priyayi—yang kebetulan menjadi antek dan agen-agen kolonial. Tentu saja di sana ada perubahan sifat-sifat kepemimpinan serta kemunculan rencana-rencana pendidikan kepesantrenan yang berbasis pondok (pendidikan-pendikan di perdesaan) dan kultur-kultur tarekat. Sebab, akibat penetrasi kolonial itu, kiai dan ulama kehilangan banyak pengaruh politik dan kepercayaan di tingkat elite masyarakat Jawa, tetapi justru faktor baiknya, bisa mentranformasikan pengaruhnya di kalangan rakyat biasa (di desa-desa).

Pasca-afiliasi kaum elite dengan penjajah, wibawa mereka (ulama) didapatkan kembali pada kaum tani. Kepercayaan yang besar masyarakat petani (agraris) itu kelak memberikan kekuatan karismatik yang besar pada kiai. Terlebih, karena wibawa mereka terbentuk dalam kekhasan institusi: pendidikan pedesaan yaitu pesantren, dan keagamaan berupa tarekat (Sartono Kartodirjo, 1984: 52-53).

Seorang kiai yang wibawa dan martabatnya tinggi, dapat dengan mudah menarik para pemuda dari berbagai desa untuk memasuki pendidikan pesantren. Kelak pendidikan di pesantren yang berdasarkan ke-tawadhu-an dan disiplin tarekat, kerap menanamkan suatu solidaritas internal yang mendalam (Sartono Kartodijo, 1984: 53). Lalu, kenapa pesantren-pesantren kuno itu menempati desa-desa perdikan? Jawabannya, dengan mengutip Lombard, karena pesantren mengakulturasi bentuk-bentuk pendidikan keasramaan sebelumnya. Pesantren kata Lombard (2008: hal. 48) menempati desa-desa perdikan karena semacam menjadi pewaris dharma-dharma (padepokan) kuno di zaman sebelumnya.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top